“Scientific
Misconduct” Tren Mencemaskan
Ocky Karna Radjasa ; Guru Besar Ilmu Kelautan dan Ketua Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) Universitas Diponegoro (Undip), Semarang
|
KOMPAS,
10 Oktober 2014
Isu yang
kerap terkait kegiatan penelitian adalah plagiarisme, yang secara umum
didefinisikan sebagai mencuri ide orang lain lalu diaku karya sendiri. Kalau
dicermati, plagiarisme hanyalah bagian dari scientific misconduct, suatu pelanggaran kode etik standar ilmiah
dan perilaku etis dalam penelitian ilmiah.
Bagian
lain dari scientific misconduct adalah
fabrication dan falsification. Fabrikasi dapat disebut secara singkat sebagai
mengarang (make up), sementara falsifikasi
adalah memalsukan (changing the true
description).
Ketiganya
merupakan tantangan terhadap integritas ilmiah yang memang harus
dipertahankan. Integritas ilmiah, dalam arti luas, tidak dapat dipisahkan
dari penanganan yang bertanggung jawab dari keinginan manusia untuk
pengetahuan dan rasa ingin tahu manusia.
Selain
scientific misconduct, dikenal pula praktik-praktik riset yang dipertanyakan
(questionable research practices/QRP),
seperti konflik nama penulis, konflik kepentingan, serta publikasi ganda dan
etika riset. Pertanyaannya mengapa isu scientific
misconduct menjadi tren yang mencemaskan?
Hasil
penelitian Gawrylewski (2009) yang diterbitkan dalam jurnal The Scientist menunjukkan, fabrikasi
dan falsifikasi menduduki 61 persen diikuti oleh plagiarisme 35 persen dan
lain-lain 4 persen. Artinya, plagiarisme termasuk di dalamnya plagiarisme
diri sendiri (self plagiarism) bukanlah satu-satunya isu terkait dengan
integritas ilmiah.
Berbeda
dengan plagiarisme yang akan diketahui setelah tulisan ilmiah diterbitkan,
fabrikasi dan falsifikasi adalah kasus yang terjadi di dalam laboratorium
atau ruang pribadi.
Semua terlibat
Hal lain
yang lebih mencemaskan dari penelitian Gawrylewski terkait dengan peringkat
dari mereka yang melanggar integritas ilmiah atau melakukan scientific misconduct.
Sungguh
menyedihkan ternyata semua tingkatan dalam masyarakat ilmiah terlibat di
dalamnya, yaitu peneliti posdoktoral (26 persen), peneliti senior atau
profesor (21 persen), peneliti muda/profesor yunior (17 persen), mahasiswa
pascasarjana (16 persen), dan lain-lain (20 persen).
Pertanyaan
selanjutnya adalah mengapa ini bisa terjadi?
Beberapa
faktor ditengarai sebagai penyebab terjadinya scientific misconduct, semisal
publish or perish yang menjadi tekanan untuk menghasilkan publikasi pada
jurnal ilmiah bereputasi baik. Hal lain adalah adanya keinginan untuk tampil
di muka dibandingkan dengan lainnya.
Selain
itu, juga ada grant or gone, yaitu
peneliti dituntut bisa mendapatkan dana riset kompetitif eksternal atau dikeluarkan
jika tidak mampu. Namun, bisa juga merupakan masalah personal terkait dengan
integritas ilmiah.
Scientific misconduct
memiliki beberapa konsekuensi bagi pelakunya. Bisa berhenti kariernya atau
hancur reputasi serta kerugian finansial juga. Jejak rekam yang dibangun
bertahun-tahun diiringi kerja keras hilang dalam sekejap.
Salah
satu kasus fabrikasi menimpa Eric Poehlman, ilmuwan di bidang obesitas
manusia dan penuaan dari University of
Vermont, School of Medicine, Amerika Serikat.
Dia
mempresentasikan data yang curang dalam kuliah dan dalam makalah yang
diterbitkan dan ia menggunakan data ini untuk mendapatkan jutaan dollar dalam
bentuk hibah federal dari National
Institutes of Health (NIH). Kasus ini terungkap berkat laporan teknisi
laboratorium, Walter DeNino, di mana Eric Poehlman menjadi peneliti utamanya.
Konsekuensi
lain dari scientific misconduct adalah penarikan (withdrawal) artikel yang
telah terbit dari jurnal tertentu. Kasus ini dikenal dengan istilah
retraction atau retraksi, yaitu jurnal tertentu akan mengumumkan bahwa suatu
artikel ditarik dari publikasi dengan disertai alasan penarikannya. Namun,
tren interval waktu retraction yang
semakin pendek juga mencemaskan.
Ada blog
yang khusus berkaitan dengan retraction
yang disebut Retraction Watch. Menarik sekali, jika tahun 2002 dibutuhkan
waktu 55 bulan sampai suatu artikel masuk retraction,
maka pada tahun 2012 hanya butuh waktu empat bulan dari saat artikel
dikirimkan ke jurnal, di-review dan
dipublikasikan, hingga diindikasikan masuk kategori retraction.
Konsekuensi
lain yang akan dihadapi pelaku scientific
misconduct terkait dengan penerbitan artikel ilmiah pada jurnal ilmiah
bereputasi adalah banning
(pelarangan) untuk menerbitkan artikelnya pada jurnal tersebut selama 3-5
tahun disertai dengan pemberitahuan kasusnya kepada rekan sejawat serta
jurnal-jurnal ilmu terkait.
Penanganan
Bagaimana
kasus-kasus scientific misconduct
ini bisa dihindari atau dicegah? Kalaupun terjadi, bagaimana harus ditangani?
Oleh siapa? Melaporkan ke mana?
Edukasi
merupakan cara efektif mencegah terjadinya scientific misconduct. Perlu
guideline jelas tentang pelaksanaan riset yang bertanggung jawab. Kita harus
jujur bahwa pemahaman tentangscientific misconduct masih relatif rendah di
Indonesia. Penekanan terhadap isu plagiarisme lebih kuat meskipun kasus ini
memang terus mencuat.
Mentoring
aktif dari peneliti senior terhadap kolega dan yunior tentang pentingnya
praktik ilmiah yang baik serta integritas ilmiah harus dilakukan terutama
melalui contoh nyata para senior. Selanjutnya adalah pembentukan zero
tolerance environment terkait dengan pelanggaran guidelineyang disepakati
serta implementasi penalti yang jelas.
Pada
kasus scientific misconduct, perlu dibuat mekanisme pelaporan dan investigasi
yang jelas, dilengkapi dengan komite pengawasan untuk penyelidikan yang adil.
Upaya
yang paling tepat adalah membentuk Office of Research Integrity (Kantor
Integritas Penelitian) dengan mekanisme dan sistem terpadu yang memungkinkan
pencegahan dan penanganan kasus yang fair dan termonitor baik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar