Jumat, 12 September 2014

Pengebirian Hak Rakyat

Pengebirian Hak Rakyat

Tjahjo Kumolo  ;   Anggota DPR, Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan
SUARA MERDEKA, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

MAYORITAS fraksi di DPR menghendaki kepala daerah (bupati/wali kota/gubernur) kembali dipilih oleh DPRD, bukan dipilih langsung oleh rakyat sebagaimana berlaku sejak 2004, dalam pembahasan akhir RUU tentang Pemilihan Kepala Daerah (RUU Pilkada). Rancangan itu merupakan inisiatif pemerintah untuk mengganti aturan lama dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 jo UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah Daerah.

Peraturan lama mencantolkan pilkada pada UU tersebut. Rancangan itu sudah digodok di DPR sejak 2012, yang menargetkan pengesahannya pada medio September ini, sebelum masa bakti anggota periode 2009-2014 berakhir pada 30 September 2014. Pada Mei 2014, semua fraksi di DPR setuju pilkada langsung. Namun tanggal 2 September lalu, 6 fraksi berbalik haluan dan menghendaki pilkada oleh DPRD.

Enam fraksi tersebut adalah Fraksi Partai Demokrat, Fraksi Partai Persatuan Pembangunan, Fraksi Partai Gerindra, Fraksi Partai Golongan Karya, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera, dan Fraksi Partai Amanat Nasional. Adapun Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa, dan Fraksi Partai Hanura setuju pemilihan langsung oleh rakyat.

Putusan akan diambil pada tingkat pertama tanggal 11 September 2014. Lalu, pada 12 September 2014 pengambilan keputusan melalui rapat Ppripurna DPR. Sampai Selasa (9/9), Kemendagri yang diwakili Dirjen Otda Djohermansyah Djohan masih bersikukuh memilih opsi pilkada langsung, meski awalnya Kemendagri mendukung pilkada oleh DPRD.

Mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD berarti mengebiri hak rakyat dalam berdemokrasi. Mengacu Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945, kedaulatan ada di tangan rakyat dan dilaksanakan melalui UUD. Pun, vox populi vox Dei (suara rakyat suara Tuhan), sebuah ungkapan yang sering dikaitkan dengan William of Malmesbury (abad ke-12), dan surat Alcuin of York (735-804) kepada Charlemagne pada tahun 798.

Sebagai negara republik (dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat), pengisian jabatan politik-kenegaraan di Indonesia, seperti presiden dan kepala daerah, mestinya dilakukan secara langsung oleh rakyat melalui pemilu. Meskipun Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 menyebutkan gubernur, bupati, dan wali kota dipilih secara demokratis, kata ’’demokratis’’ harus dimaknai bahwa kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.

Indonesia juga menganut sistem pemerintahan presidensial, sebagaimana diamanatkan Pasal 6A  Ayat (1) dan Pasal 7 UUD 1945, yang bercirikan presiden dipilih oleh rakyat. Inilah bedanya dari sistem parlementer yaitu eksekutif dipilih oleh parlemen (DPR atau DPRD) berdasarkan perolehan kursi mayoritas di legislatif.

Pilkada Serentak

Negara yang berkedaulatan rakyat, dan berdasarkan Pancasila sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945, harus dimaknai utuh, tidak terbatas pada tafsir sepihak atas Sila Ke-4 Pancasila, ’’Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan’’, dengan mengembalikan pemilihan kepala daerah oleh DPRD sebagaimana sebelum 2004. Bila demikian tafsirnya, analoginya, andai kepala daerah dipilih DPRD, mestinya presiden pun dipilih MPR.

Dalam konteks ini, kita mengingatkan pemerintah dan DPR, di mana mayoritas fraksi belakangan berbalik arah akibat ketidakpuasan mereka terhadap hasil Pilpres 2014, pertama; rakyat adalah subjek, modal dasar, dan unsur terpenting dalam susunan negara, yang memiliki nalar dan nurani. Kedua; rakyatlah yang pertama dan utama memiliki hak politik dan hak pilih.

Ketiga; rakyat melalui reformasi telah terbukti dapat menggunakan hak politik dan hak pilihnya dengan baik. Keempat; pemerintah dan DPR jangan sekali-sekali mengalihkan hak pilih rakyat ke DPRD karena itu berarti kembali mengebiri hak rakyat. Kelima; pemerintah dan DPR jangan menjadikan praktik politik uang dan risiko konflik horisontal sebagai dalih untuk mengebiri hak politik rakyat. Keenam; DPRD adalah satu kesatuan dengan pemda dalam suatu daerah otonom, sebab itu rakyat akan menolak jika hak pilih mereka kembali diambil alih DPRD.

Bila alasannya pilkada langsung butuh biaya besar, itu tidak benar. Biaya bisa ditekan melalui penyelenggaraan pilkada serentak se-Indonesia dengan beban biaya dari APBN. Andai alasannya pilkada langsung rawan praktik politik uang, itu juga tidak benar. Dalam kasus politik uang, rakyat justru cenderung jadi korban, dan pelakunya adalah para aktor politik.

Pun tak ada jaminan bahwa pilkada oleh DPRD akan bersih dari politik uang. Pilkada oleh DPRD pada 1999-2004 terbukti banyak diwarnai praktik politik uang. Konflik horisontal yang menjadi dalih berikutnya juga tidak benar. Kalaupun dalam pilkada langsung terjadi konflik, itu sangat kasuistis dan dapat dilokalisasi. Pilkada langsung tak akan menjadi pemicu konflik horisontal secara permanen.

Penolakan kita terhadap pilkada oleh DPRD semata-mata demi menjamin hak politik rakyat, bukan atas dasar kekhawatiran bahwa pihak lawan politik akan memenangi pilkada di 31 provinsi, sementara parpol kami hanya akan menang di 2 provinsi, yakni Bali dan Kalimantan Barat, sebagaimana spekulasi sejumlah pihak.

Belum tentu spekulasi semacam itu menemukan kebenarannya, apalagi tak ada jaminan bahwa rival politik kami akan solid di daerah-daerah. Bila rapat paripurna DPR mengesahkan RUU Pilkada ini, kita akan bertemu di Mahkamah Konstitusi (MK) melalui judicial review.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar