Pesantren
Bendung Radikalisme
Ahmad Khotim Muzakka ;
Mahasiswa
S-2 Center for Religious
and Cross-cultural Studies Pascasarjana UGM
|
REPUBLIKA,
11 September 2014
Pergerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dipimpin
oleh Abu Bakar al-Baghdadi tidak menyusut meskipun banyak negara mengecam
aksi brutal mereka. Dukungan oleh Abu Muhammad al-Indonesi kepada ISIS adalah
bagian kecil dari berhasilnya gagasan transnasionalisme merangsek ke
nusantara. Transnasionalisme merupakan gagasan yang mengusung "penghapusan" batas-batas negara.
Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, potensi dukungan dari
Muslim di Indonesia tentu sangat menggiurkan bagi ISIS. Terlebih, menurut
Martin van Bruinessen (2014), terdapat gejala pergerakan Islam "kembali
ke arah konservatif" (concervatife
turn). Maka itu, perlu kewaspadaan tingkat tinggi untuk bersiaga
kemungkinan terburuk berkembangnya embrio ISIS di Indonesia.
Sebagai tempat percaturan awal wacana keislaman, eksistensi
pesantren dan santri tidak dapat dipisahkan dalam diskursus ini. Florian Pohl
(2006: 389) mencatat, sejak peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001, citra pesantren
identik sebagai institusi yang mengembangkan radikalisme dan kekerasan.
Ditambah lagi dengan tragedi bom di Kuta, Bali, pada 2002 yang turut
menyumbang wajah buram institusi Islam Indonesia. Akibatnya, citra yang
terpotret dari pesantren oleh media kebanyakan berisi hal-hal negatif
tersebut, pada akhirnya melahirkan Islamofobia di kalangan Barat.
Atas dasar itu, dukungan yang diberikan orang Indonesia membawa
baju Islam sebagai identitas personal secara tidak langsung juga
"menyeret" identitas pesantren. Ini mengingat pesantren merupakan
lembaga tertua di Indonesia yang menjadi institusi pendidikan agama Islam.
Asumsi tersebut relevan diangkat ke permukaan karena tidak sedikit "para
teroris" yang memiliki kedekatan dengan berbagai pesantren tertentu.
Padahal, tak sedikit pesantren yang sudah terbuka terhadap
gagasan multikultural. Pendidikan multikultural di pesantren mestinya menjadi
basis utama setelah pendidikan agama Islam. Diharapkan, para alumninya dapat
merespons realitas Indonesia yang majemuk. Potensi perdamaian yang datang
dari pesantren, dengan demikian, sangat besar akan terwujud mengingat begitu
banyak pesantren tersebar di seantero negeri ini.
Rasa kebangsaan mesti dipupuk agar terjadi sinkronisasi antara
fakta pluralitas dan respons yang elegan terhadapnya. Sudah tidak saatnya lagi
kita berdebat tentang konsep negara yang tepat untuk mewujudkan kemanusiaan
bagi segenap warga Indonesia. Hal itu sudah dilakukan oleh para pendiri
bangsa. Kita, sebagai ahli waris, menjadi penerus estafet pemikiran dan
perjuangan itu meskipun memang bukan perkara yang mudah.
Penolakan atas ISIS yang dideklarasikan sejumlah pondok
pesantren di Karanganyar, Jawa Tengah, perlu mendapatkan apresiasi. Respons
tersebut mestinya diikuti oleh pesantren lain di Indonesia agar paham ISIS
tidak "seenaknya sendiri" menjajah ideologi Pancasila.
Dalam historiografi Indonesia, fundamentalisme beragama tidak
dapat dipisahkan dari proses tumbuh kembangnya bangsa ini. Lahirnya Pancasila
melewati debat panjang yang melibatkan para aktivis Islam yang getol
memperjuangkan gagasan negara Islam di Indonesia. Namun, berkat negosiasi
dari Sukarno dan para nasionalis lainnya, hal itu tidak terjadi.
Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi
"dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi
pemeluk-pemeluknya" merupakan fondasi awal menyatukan Indonesia yang
plural. Satu prestasi dari bangsa yang dibangun di atas berkah pluralitas dan
masyarakat multikultur.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin telah mengimbau masyarakat
untuk tidak ikut campur dalam masalah yang sedang diperjuangkan oleh ISIS di
sana. Secara terbuka, Lukman menyebut ideologi yang diperjuangkan berbeda
dengan Pancasila yang diterapkan di Indonesia. Namun, tidak bisa ditampik
terdapat sejumlah kalangan yang "merestui" langkah yang ditempuh
tersebut. Salah satu bukti konkretnya adalah ajakan untuk memberikan dukungan
di atas.
Oleh karenanya, diperlukan sikap tegas dari berbagai pihak agar
dukungan dari masyarakat Indonesia tidak membesar. Adanya indikasi dukungan
terhadap ISIS dari warga Indonesia harus diwaspadai sebagai upaya makar
terhadap negara. Hal itu mengingat cita-cita ISIS yang berkehendak mendirikan
khilafah yang berporos pada paradigma transnasional.
Gagasan transnasional berpotensi mengancam stabilitas Indonesia
karena bertentangan dengan semangat yang telah diembuskan oleh founding
fathers tentang nasionalisme. Nasionalisme memegang teguh cita-cita nasional
yang sanggup mempersatukan berbagai elemen yang berbeda dalam satu wadah.
Sedangkan, gagasan transnasional sejalan dengan definisi dari
Tomas Faist (2010: 9) merupakan konsep yang berupaya menyatukan orang dari
belahan dunia hanya berlandaskan pada latar belakang yang identik. Gagasan
transnasional yang dipadukan dengan perjuangan ISIS di tanah kelahirannya
yang sangat ekstrem bertentangan dengan semangat nasionalisme yang telah
berhasil dalam semangat keberagaman di Indonesia.
Upaya pencegahan terhadap perkembangan embrio ISIS di sini
teramat penting melihat fakta bahwa Indonesia dihuni oleh masyarakat yang
plural dan multikultur. Sangat disayangkan upaya-upaya yang bisa mengarah
pada dekonstruksi pluralitas tersebut dibiarkan berkembang baik tanpa dicegah
dengan cara yang terstruktur dan masif.
Peran pemuka agama sangat diperlukan untuk memberikan pencerahan
terhadap masyarakat luas. Pancasila sebagai landasan final bagi Indonesia
yang telah disepakati oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama berguna untuk
mengedukasi publik atas ancaman gagasan transnasional yang berpotensi
mengoyak keutuhan bangsa. Partisipasi dari pemuka agama bisa memuluskan usaha
pemerintah dalam mempertahankan keutuhan Indonesia yang multikultur. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar