Jumat, 12 September 2014

Pesantren Bendung Radikalisme

Pesantren Bendung Radikalisme

Ahmad Khotim Muzakka  ;   Mahasiswa S-2 Center for Religious
and Cross-cultural Studies Pascasarjana UGM
REPUBLIKA, 11 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Pergerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang dipimpin oleh Abu Bakar al-Baghdadi tidak menyusut meskipun banyak negara mengecam aksi brutal mereka. Dukungan oleh Abu Muhammad al-Indonesi kepada ISIS adalah bagian kecil dari berhasilnya gagasan transnasionalisme merangsek ke nusantara. Transnasionalisme merupakan gagasan yang mengusung  "penghapusan" batas-batas negara.

Sebagai negara Muslim terbesar di dunia, potensi dukungan dari Muslim di Indonesia tentu sangat menggiurkan bagi ISIS. Terlebih, menurut Martin van Bruinessen (2014), terdapat gejala pergerakan Islam "kembali ke arah konservatif" (concervatife turn). Maka itu, perlu kewaspadaan tingkat tinggi untuk bersiaga kemungkinan terburuk berkembangnya embrio ISIS di Indonesia.

Sebagai tempat percaturan awal wacana keislaman, eksistensi pesantren dan santri tidak dapat dipisahkan dalam diskursus ini. Florian Pohl (2006: 389) mencatat, sejak peristiwa pengeboman World Trade Center pada 11 September 2001, citra pesantren identik sebagai institusi yang mengembangkan radikalisme dan kekerasan. Ditambah lagi dengan tragedi bom di Kuta, Bali, pada 2002 yang turut menyumbang wajah buram institusi Islam Indonesia. Akibatnya, citra yang terpotret dari pesantren oleh media kebanyakan berisi hal-hal negatif tersebut, pada akhirnya melahirkan Islamofobia di kalangan Barat.

Atas dasar itu, dukungan yang diberikan orang Indonesia membawa baju Islam sebagai identitas personal secara tidak langsung juga "menyeret" identitas pesantren. Ini mengingat pesantren merupakan lembaga tertua di Indonesia yang menjadi institusi pendidikan agama Islam. Asumsi tersebut relevan diangkat ke permukaan karena tidak sedikit "para teroris" yang memiliki kedekatan dengan berbagai pesantren tertentu.

Padahal, tak sedikit pesantren yang sudah terbuka terhadap gagasan multikultural. Pendidikan multikultural di pesantren mestinya menjadi basis utama setelah pendidikan agama Islam. Diharapkan, para alumninya dapat merespons realitas Indonesia yang majemuk. Potensi perdamaian yang datang dari pesantren, dengan demikian, sangat besar akan terwujud mengingat begitu banyak pesantren tersebar di seantero negeri ini.

Rasa kebangsaan mesti dipupuk agar terjadi sinkronisasi antara fakta pluralitas dan respons yang elegan terhadapnya. Sudah tidak saatnya lagi kita berdebat tentang konsep negara yang tepat untuk mewujudkan kemanusiaan bagi segenap warga Indonesia. Hal itu sudah dilakukan oleh para pendiri bangsa. Kita, sebagai ahli waris, menjadi penerus estafet pemikiran dan perjuangan itu meskipun memang bukan perkara yang mudah.

Penolakan atas ISIS yang dideklarasikan sejumlah pondok pesantren di Karanganyar, Jawa Tengah, perlu mendapatkan apresiasi. Respons tersebut mestinya diikuti oleh pesantren lain di Indonesia agar paham ISIS tidak "seenaknya sendiri" menjajah ideologi Pancasila.

Dalam historiografi Indonesia, fundamentalisme beragama tidak dapat dipisahkan dari proses tumbuh kembangnya bangsa ini. Lahirnya Pancasila melewati debat panjang yang melibatkan para aktivis Islam yang getol memperjuangkan gagasan negara Islam di Indonesia. Namun, berkat negosiasi dari Sukarno dan para nasionalis lainnya, hal itu tidak terjadi.

Penghapusan tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang berbunyi "dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya" merupakan fondasi awal menyatukan Indonesia yang plural. Satu prestasi dari bangsa yang dibangun di atas berkah pluralitas dan masyarakat multikultur.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin telah mengimbau masyarakat untuk tidak ikut campur dalam masalah yang sedang diperjuangkan oleh ISIS di sana. Secara terbuka, Lukman menyebut ideologi yang diperjuangkan berbeda dengan Pancasila yang diterapkan di Indonesia. Namun, tidak bisa ditampik terdapat sejumlah kalangan yang "merestui" langkah yang ditempuh tersebut. Salah satu bukti konkretnya adalah ajakan untuk memberikan dukungan di atas.

Oleh karenanya, diperlukan sikap tegas dari berbagai pihak agar dukungan dari masyarakat Indonesia tidak membesar. Adanya indikasi dukungan terhadap ISIS dari warga Indonesia harus diwaspadai sebagai upaya makar terhadap negara. Hal itu mengingat cita-cita ISIS yang berkehendak mendirikan khilafah yang berporos pada paradigma transnasional.

Gagasan transnasional berpotensi mengancam stabilitas Indonesia karena bertentangan dengan semangat yang telah diembuskan oleh founding fathers tentang nasionalisme. Nasionalisme memegang teguh cita-cita nasional yang sanggup mempersatukan berbagai elemen yang berbeda dalam satu wadah.

Sedangkan, gagasan transnasional sejalan dengan definisi dari Tomas Faist (2010: 9) merupakan konsep yang berupaya menyatukan orang dari belahan dunia hanya berlandaskan pada latar belakang yang identik. Gagasan transnasional yang dipadukan dengan perjuangan ISIS di tanah kelahirannya yang sangat ekstrem bertentangan dengan semangat nasionalisme yang telah berhasil dalam semangat keberagaman di Indonesia.

Upaya pencegahan terhadap perkembangan embrio ISIS di sini teramat penting melihat fakta bahwa Indonesia dihuni oleh masyarakat yang plural dan multikultur. Sangat disayangkan upaya-upaya yang bisa mengarah pada dekonstruksi pluralitas tersebut dibiarkan berkembang baik tanpa dicegah dengan cara yang terstruktur dan masif.

Peran pemuka agama sangat diperlukan untuk memberikan pencerahan terhadap masyarakat luas. Pancasila sebagai landasan final bagi Indonesia yang telah disepakati oleh tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama berguna untuk mengedukasi publik atas ancaman gagasan transnasional yang berpotensi mengoyak keutuhan bangsa. Partisipasi dari pemuka agama bisa memuluskan usaha pemerintah dalam mempertahankan keutuhan Indonesia yang multikultur.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar