Di
Manakah Menempatkan Olahraga?
Ferdinand Hindiarto ;
Dosen
Fakultas Psikologi Unika Soegijapranata,
General Manager PSIS Semarang 2012-2013
|
SUARA
MERDEKA, 11 September 2014
“Olahraga semestinya
ditempatkan di posisi yang sama pentingnya dengan pilar pembangunan lain”
CERITA mengenai kejayaan olahraga di negeri ini dalam beberapa
tahun terakhir sungguh menarik untuk direnungkanoleh segenap pemangku
kepentingan. Tradisi emas Olimpiade dimulai di Atlanta 1996 oleh Susi
Susanti-Alan Budi Kusuma akhirnya terhenti tahun 2012 di London. Bahkan dalam
Piala Thomas dan Uber 2012 di Wushan Tiongkok, tim Indonesia tidak lagi mampu
mencapai semifinal. Setelah Chris John menggantung sarung tinju, kita sudah
tidak lagi memiliki juara dunia tinju.
Dalam beberapa tahun terakhir, kita justru disuguhi
kejadian-kejadian dualisme kepengurusan dalam organisasi olahraga. Bahkan
induk olahraga nasional pun tidak mau kalah berebut kewenangan dan kekuasaan.
Pihak-pihak yang seharusnya bertanggung jawab dalam pengelolaan dan
pengembangan olahraga sibuk berebut legalitas dan kekuasaan.
Publik tentu masih ingat pelaksanaan SEA Games XXVI di Palembang
yang nyaris diundur karena ketidaksiapan panitia. Demikian juga PON XVIII di
Riau yang amburadul dalam beberapa aspek, khususnya sarana dan prasarana.
Rasa sesal dan sesak juga masih terasa ketika timnas sepak bola U-23 gagal
meraih emas dalam dua SEA Games terakhir. Bahkan untuk tingkat Asia Tenggara
pun sulit rasanya menjadi juara.
Maka tak heran ketika timnas U-19 menjadi juara Piala AFF tahun
lalu, masyarakat mengalami kegembiraan luar biasa, refleksi hausnya terhadap
prestasi olahraga. Pada momen seperti itulah masyarakat seolah-olah
terhipnotis magis oleh lagu ’’Indonesia Raya’’. Merinding mendengar dan
melihatnya. Olahraga mampu mengalahkan segala bentuk perbedaan, konflik,
masalah dan sebagainya, dan hanya ada satu rasa: bangga.
Untuk itu lewat artikel ini, saya mengajukan pertanyaan di
manakah menempatkan olahraga dalam rencana strategis pembangunan? Secara
formal pengembangan olahraga memiliki dasar hukum yang jelas melalui UU Nomor
3 Tahun 2005. Namun 9 tahun setelah regulasi itu disahkan, belum ada
tanda-tanda kemembaikan dunia olahraga.
Olahraga semestinya berdiri sejajar, dan ditempatkan sama
pentingnya dengan pilar pembangunan yang lain, seperti budaya, pendidikan,
kesehatan, infrastruktur dan lainnya.
Hanya dengan paradigma dan political will seperti itu dunia olahraga,
termasuk di Jawa Tengah menjadi kuat.
Tentu harus diikuti dengan eksekusi nyata dalam tataran operasional.
Menempatkan olahraga sebagai pilar pembangunan akan membawa
dampak positif yang beruntun bagi masyarakat. Dalam matra olahraga
pendidikan, jika mapel Olahraga dikelola serius akan berdampak pada beberapa
hal. Keseimbangan antara otak yang cerdas dan fisik yang sehat, media
membangun karakter peserta didik: sportif, patuh pada aturan, kerja keras,
teamwork, dan menyikapi kekalahan atau kemenangan secara sehat,
Modal dasar membangun olahraga di Indonesia dan juga Jateng
adalah political will dari
pemerintah. Melalui political will
maka olahraga akan ditempatkan sebagaimana mestinya, sebagai salah satu pilar
utama pembangunan dan dinamika kehidupan masyarakat. Dalam UU Nomor 3 Tahun
2005 disebutkan pemerintah memiliki kewajiban dan kewenangan. Idealnya,
pembangunan olahraga dilakukan melalui strategi yang mengintegrasikan tiga
matra olahraga: pendidikan, rekreasi, dan prestasi.
Sikap Sportif
Beberapa poin yang dapat disampaikan berkait strategi itu antara
lain bahwa prestasi bukan orientasi utama dan jangan menggunakan cara instan
dan tidak sportif untuk mencapainya. Prestasi adalah buah yang dipetik dari
pembangunan olahraga. Melalui olahraga rekreasi, tercipta masyarakat yang
terbiasa dengan ’’aroma’’ dan ’’iklim’’ olahraga. Perilaku hidup sehat, sikap
sportif, menghargai kerja keras atlet, kesediaan mendukung dan terlibat
mengembangkan bakat anak-anak dalam bidang olahraga adalah tujuan dari matra
ini.
Dengan membangun fasilitas-fasilitas olahraga di tiap komunitas
maka lingkungan beraroma olahraga ini tercipta dengan sendirinya. Fasilitas
itu dapat digunakan sebagai tempat siswa dalam berolahraga. Melalui matra
olahraga pendidikan, sekolah hendaknya menjadikan olahraga sebagai media
membangun karakter positif sekaligus menjadi media berkembangnya bakat
olahraga siswa.
Guru olahraga tak hanya memberikan pengetahuan tetapi yang lebih
penting menanamkan olahraga sebagai sendi kehidupan yang penting bagi
manusia. Jika di masyarakat dan di sekolah sudah tercipta ’’aroma’’ dan
”iklim” olahraga, saya yakin akan tumbuh subur bakat-bakat olahraga siswa.
Bakat itu akan berkembang melalui kompetisi berjenjang yang
dikelola profesional oleh induk organisasi.
Pada suatu hari, prestasi olahraga hadir dengan sendirinya.
Salah satu hal krusial yang sering terjadi di dunia olahraga
indonesia adalah manajemen yang kurang profesional. Yang lebih penting,
bagaimana membuat organisasi-organisasi itu
bekerja profesional mengingat di tangan merekalah pengembangan
prestasi dihasilkan. Tenaga profesional dan lepas dari kepentingan politik,
pengelolaan keuangan yang transparan dan akuntabel, manajerial yang mapan,
sarana dan prasarana memadai adalah syarat supaya organisasi olahraga bisa bekerja
secara profesional. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar