Meluruskan
Pandangan Radikal
A Adib ; Wartawan Suara Merdeka
|
SUARA
MERDEKA, 02 September 2014
"Islam tidak pernah menentukan bentuk negara dan sistem
pemerintahan tertentu bagi pemeluknya"
PRESIDEN terpilih Joko
Widodo meminta ulama dan kiai Nahdlatul Ulama (NU) kembali meluruskan pandangan kaum radikal
melalui pendekatan agama. Dia menyampaikannya dalam sarasehan pramunas dan
prakonbes NU di Ponpes Al Hikam Depok, Sabtu (30/8). Adapun munas dan konbes
diagendakan awal November, antara lain akan membahas soal khilafah menyusul
berdirinya Islamic State (IS) yang semula bernama Islamic State of Irak and
Syria (ISIS).
Narasumber KH Masdar
Farid Mas’udi (Rais Syuriah), dan KH
Malik Madani (Khatib Aam PBNU) dalam draf menyampaikan pandangan supaya warga
nahdliyin dan umat Islam mengetahui permasalahan dan posisi mereka dalam
NKRI. Islam sebagai agama komprehensif telah memberikan panduan kepada
umatnya bahwa wajib hukumnya mendirikan negara dan membentuk pemerintahan.
Tanpa negara dan
pemerintahan kehidupan akan kacau. Keamanan dan ketertiban mustahil tercipta. Keniscayaan adanya negara ini
sejalan dengan kaidah hukum. Abu Hamid al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengibaratkan agama dan kekuasaan negara sebagai
saudara kembar. Agama merupakan fondasi, sedangkan kekuasaan negara
pengawalnya. Tanpa fondasi, sesuatu akan runtuh, sebaliknya sesuatu bila tak
memiliki pengawal bia tersia-siakan.
Taqi al-Din Ibn
Taimiyyah dalam as-Siyasah al-Syaríiyyah
fi Ishlah al-Raíi wa al-Raíiyyah menyatakan,
tugas mengatur dan mengelola urusan banyak orang (dalam pemerintahan dan
negara) termasuk kewajiban utama agama. Mustahil agama bisa tegak dan kokoh
tanpa dukungan negara.
Masalahnya, Islam
menghendaki bentuk negara dan pemerintahan seperti apa? Islam tidak pernah
menentukan bentuk negara dan sistem pemerintahan tertentu bagi pemeluknya.
Nabi Muhammad saw pun menyerahkan kepada umatnya untuk mengatur dan merancang
sendiri, sesuai dengan tuntutan perkembangan kemajuan zaman dan tempat.
Sebagai agama yang
sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat, Islam memungkinkan umatnya hidup
di bawah naungan negara, dari khilafah (kekhalifahan), mulk/mamlakah (kerajaan), imarah
(keamiran) hingga jumhuriyyah/jamahariyyah
(republik). Keberadaan masing-masing bentuk negara dan sistem pemerintahan
itu disesuaikan dengan kebutuhan tiap zaman dan tempat. Apa yang cocok untuk
suatu zaman dan tempat, belum tentu cocok untuk zaman dan tempat berbeda.
Khilafah adalah fakta sejarah yang dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin,
sepeninggal Rasulullah.
Al-Khilafah
al-Rasyidah adalah model ketika
kehidupan manusia belum berada di bawah naungan negara bangsa (nation states). Umat Islam
dimungkinkan hidup di bawah kendali seorang khalifah. Namun ketika manusia,
tak terkecuali umat Islam, pada abad terakhir sudah hidup di bawah naungan
negara-negara bangsa maka sistem khilafah untuk umat Islam kehilangan
relevansinya.
Seolah-olah Islami
PBNU menegaskan, ide
khilafah dalam wujud pemerintahan khalifah untuk umat Islam di dunia pada
masa sekarang adalah sebuah utopia. Umat Islam sedunia secara implisit telah
mencapai kesepakatan untuk hidup di bawah naungan berbagai bentuk negara dan
pemerintahan.
Contoh Kerajaan Arab
Saudi dengan al-Mamlakah al-Arabiyyah
al-Saíudiyyah),
UEA (al-Imarat al-Arabiyyah al-Muttahidah), Kerajaan Malaysia, Republik Islam
Iran, dan Republik Indonesia. Itu merupakan ijma sukuti dari umat Islam
sedunia tentang dibolehkan hidup di bawah bendera berbagai bentuk negara bangsa.
NKRI adalah hasil
perjanjian luhur kebangsaan (muíahadah
wathaniyyah) para pendiri negara
ini. Bentuk itu untuk mewadahi elemen bangsa yang majemuk berkait suku,
bahasa, budaya, dan agama. Untuk itu, menjadi kewajiban semua elemen bangsa
mencegah kemungkinan kemunculan bentuk negara lain. Umat Islam tak boleh
terjebak oleh kilau simbol dan formalitas nama yang seolah-olah atau terlihat
Islami. Ada adagium populer di kalangan ulama, ”Yang menjadi pegangan pokok adalah substansi, bukan simbol atau penampakan
lahiriah.”
Ali bin Abi Thalib
pada 15 abad lalu telah menggugah kesadaran pentingnya berpikir dan bersikap
substantif, tidak formalistik dan simbolik. Berkait keadilan sebagai salah
satu nilai substantif ajaran Islam terkait dengan kehidupan bernegara, Ibnu
Taimiyyah melalui al-Amr bi al-Ma`ruf
wa al-Nahy ëan al-Munkar antara lain mengutip dua kalimat mutiara
dari Ali.
”Sesungguhnya Allah akan menegakkan negara yang berkeadilan,
kendati negara itu nonmuslim. Allah tidak akan menegakkan negara yang zalim,
kendati itu negara muslim.î Adapun satunya,” Dunia akan lestari bersama
keadilan dan kekafiran, tapi dunia tidak bisa lestari bersama kezaliman dan
keislaman.” Abd al-Karim Zaidan meramu dalam kalimat sedikit berbeda dalam
kitab al-Fard wa al-Dawlah fi al-Syariíah al-Islamiyyah,” Negara yang
berkeadilan akan lestari kendati itu negara kafir. Negara yang zalim akan
hancur kendati itu negara Islam.”
Stabilitas kehidupan
tercipta di negara-negara Barat dan negara maju lain, dan sebaliknya
disintegrasi dan berbagai kekacauan di negeri-negeri muslim, khususnya sejak
datangnya Musim Aemi Arab (Arab Spring) dimulai dari Tunisia hingga fenomena
ISIS (yang kemudian menjadi IS).
Realitas itulah yang membuktikan kebenaran kalimat bijak Sayidina Ali. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar