Pemimpin
Baru dan
Tantangan
Krisis Ikan Era Perubahan Iklim
Alan F Koropitan ; Direktur Center for
Oceanography and Marine Technology, Universitas Surya, Dosen IPB
|
SINAR
HARAPAN, 02 September 2014
“Kita, sayangnya sudah
merencanakan suatu kondisi dunia baru dengan kenaikan suhu 4 derajat Celsius
dari normal”. Demikian ungkapan kekesalan Prof Mark Maslin, Ahli
Klimatologidari University College, London terkait hasil Pertemuan Para Pihak
(COP) ke-19 di Warsawa, akhir 2013. Mark menyayangkan tidak adanya pemimpin
negara yang benar-benar peduli untuk menempatkan kebijakan pada penyelamatan
planet Bumi ini dari level yang membahayakan.
Kekhawatiran
Mark sesungguhnya sangat beralasan. Ini karena konsensus yang digalang para
ilmuan yang tergabung Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) adalah
mencegah kenaikan suhu permukaan Bumi sebesar 2 derajat Celsius atau level
konsentrasi CO2 di atmosfer sebesar 450 ppm. Namun, hal ini menjadi rancu
karena ketidakjelasan pasca-Protokol Kyoto.
Inilah
yang ditakutkan karena keputusan perjanjian iklim yang baru dan mengikat
nanti dilakukan pada COP ke-21 tahun 2015 di Paris. Sementara itu,
konsentrasi CO2 di atmosfer pada Juni 2014 telah mencapai 401,30 ppm di
stasiun pengamatan Mauna Loa (Hawai). Jadi, terkesan sudah terlambat jika
kesepakatan baru diputuskan pada 2015. Ini pun jika berhasil.
Keputusan
apa pun yang diambil pada 2015 di Paris sudah pasti akan mengubah skenario
perubahan iklim. Kondisi ini yang akan menjadi tantangan bagi pemerintahan
baru, khususnya cuaca ekstrem (jangka pendek) dan keberlanjutan stok ikan
laut (jangka panjang). Kemunculan badai tropis Bopha yang membawa banyak
korban jiwa di Filipina Selatan, terjadi di lokasi yang tidak biasa
sebagaimana dilaporkan Joint Typhoon Warning Center, AS. Hal ini semakin
memperkuat dugaan akan dampak dari pemanasan global yang semakin nyata,
tetapi sulit diprediksi.
Secara
hukum fisika, badai tropis tidak akan terbentuk atau mendekati perairan
ekuator. Namun, kenaikan suhu permukaan laut baik di Samudra Pasifik bagian
barat maupun Samudra Hindia bagian timur dapat membentuk badai tropis yang
pengaruh “ekornya” (edge) mampu
mencapai perairan Indonesia serta menimbulkan kerugian harta benda dan korban
jiwa. Hal ini juga berpengaruh pada hasil tangkapan ikan di laut.
Kenaikan
suhu permukaan laut juga membawa konsekuensi terhadap perubahan struktur
komunitas plankton, yang dalam rantai makanan akan berdampak terhadap stok
ikan. Selain itu, ikan-ikan yang memiliki kemampuan bermigrasi tinggi seperti
tuna cenderung berpindah untuk mencari suhu laut yang lebih nyaman.
Cadangan Ikan
Terlepas
berhasil atau tidaknya COP ke-21 di Paris, kemampuan prediksi iklim dalam
negeri perlu diperkuat dan berperan dalam layanan operasional bagi nelayan.
Selain itu, Indonesia harus memastikan bahwa stok ikan masa depan cukup untuk
memberi makan seluruh rakyatnya. Ini bisa dijawab jika ada perairan laut yang
secara alami mampu menjadi sumber cadangan ikan masa depan. Jadi,
pemanfaatannya saat ini harus serius mempertimbangkan keberlanjutannya.
Perairan
yang cocok tersebut memiliki kemampuan upwelling,
yaitu perairan selatan Jawa-Bali-Lombok. Upwelling adalah fenomena pemompaan
massa air dari lapisan bawah ke permukaan laut oleh angin. Ini terjadi setiap
musim timur (Juni-Agustus).
Suhu
yang dingin dari lapisan bawah diharapkan mampu menetralkan dampak pemanasan
di permukaan laut. Selain itu, lapisan bawah laut mengandung nutrien yang
tinggi sehingga ketika terbawa kepermukaan akan meningkatkan produktivitas
perikanan. Kelebihan perairan selatan Jawa-Bali-Lombok adalah menjadi lokasi
pemijahan bagi ikan tuna sirip biru (Southern
bluefin tuna) yang dilindungi secara internasional.
Perairan
lainnya adalah Laut Arafura. Secara oseanografis, suplai nutrien di Laut
Arafura terjadi saat musim timur melalui upwelling di Laut Banda dan saat
musim barat (Desember-Februari) melalui sungai-sungai yang bermuara di
selatan Papua. Dengan demikian, suplai nutrien di Laut Arafura terjadi hampir
sepanjang tahun.
Lingkungan
pesisir juga masih sangat baik. Itu karena kepadatan hutan mangrove sangat
tinggi sepanjang pesisir Merauke sampai Fakfak sehingga menyediakan banyak
lokasi pemijahan dan asuhan (nursery
ground) untuk menjamin stok ikan. Mungkin ini yang menjadi alasan kenapa
unregulated and unreported (IUU) fishing yang tinggi sejak 1970-an sampai
saat ini di Laut Arafura, tetapi ketersediaan ikan dan udang masih tetap
melimpah. Menurut Wagey, dkk (2009), potensi kehilangan akibat IUU Fishing
untuk Laut Arafura saja mencapai Rp 11-17 triliun per tahun. Ini harus
dihentikan untuk menjamin cadangan stok ikan masa depan.
Perubahan
iklim adalah persoalan sains dengan bukti-bukti ilmiah yang tidak
terbantahkan seperti yang telah dirasakan seluruh penduduk dunia. Ketika
perubahan iklim ini menyentuh pola kebijakan dengan pembatasan gas rumah
kaca, khususnya CO2, isu sains beralih menjadi isu politik. Pembatasan emisi
CO2 jelas mengganggu kepentingan ekonomi suatu negara.
Dalam
konteks ini, Jokowi sebagai
pemimpin baru perlu mengambil sikap yang melindungi kepentingan bangsa serta
memengaruhi “politikus” internasional untuk berkontribusi nyata dengan
menekan emisi CO2 ke atmosfer secara besar-besaran. Inilah pemimpin
negara yang didambakan Mark seperti diungkapkan pada awal tulisan ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar