Tanggung
Jawab Legislator
Much Yuliyanto ; Dosen Komunikasi Politik
FISIP Universitas Diponegoro,
Pengelola Survei dan Konsultasi LPSI
Jateng
|
SUARA
MERDEKA, 02 September 2014
HIRUK-PIKUK Pileg 2014
usai sudah. Kompetisi antarcaleg sekaligus antarparpol kontestan pemilu telah
menghasilkan postur lembaga perwakilan rakyat produk demokrasi elektoral.
Meski pileg makin transaksional-pragmatis, mereka yang terpilih tetap puas
dan bangga sebagai pengemban aspirasi rakyat.
Fenomena kanibalisme caleg
dalam satu parpol telah mereduksi wibawa dan peran parpol selaku aktor utama
pemilu. Kemampuan politikus membangun
jaringan disertai manajemen rapi tim pemenangan bisa menjadi tak berarti bila
tidak ada kapital untuk menggerakkan kedua hal itu. Kualitas pribadi dan
penguasaan informasi politik di dapil pun tak menjamin elektabilitas tanpa
transaksi material sesaat menjelang pileg karena telanjur dianggap kewajaran.
Pemilih makin individualistik
pragmatis dengan meremehkan implikasi buruk politik uang. Mereka tetap
menuntut banyak perubahan dan perbaikan dari legislator. Sebaliknya, tak
sedikit caleg terpilih begitu dilantik langsung mengedepankan logika ”beli
putus” melalui argumen telah mengeluarkan kapital besar sewaktu pileg.
Padahal sejatinya legislator memiliki tanggung jawab politik yang harus
direalisasikan.
Thomas H Green (dalam
Ishommudin; 2001) berpendapat, tanggung jawab politik merupakan kemampuan
elite (politikus) membuat perilaku dan pilihan kebijakan yang sesuai dengan
tuntutan unsur-unsur kepentingan luas dalam masyarakat. Terdapat dua dimensi
yang bersifat etis personal dan institusional yang menjadi kewajiban anggota
legislatif.
Pertama; secara
personal harus bisa menjaga integritas moral sebagai garansi tokoh anutan
sekaligus referensi bertindak dan berperilaku di masyarakat. Wakil rakyat
harus menjaga diri supaya tidak terjatuh dalam kubangan kasus korupsi,
penyalahgunaan jabatan, dan penodaan perempuan yang telah menghiasi wajah
buruk DPR.
Kedua; tiap pemikiran,
langkah, dan kebijakan yang dihasilkan semata-mata demi memenuhi ekspektasi
publik, yakni kesejahteraan rakyat. Legislator perlu menyadari bahwa tanpa
perilaku efikasi masyarakat (meski amat transaksional) mustahil ia mendapat
status terhormat sebagai wakil rakyat. Ingat, keterpilihan mereka merupakan
hasil titik temu tawaran idealita dengan ekspektasi publik melalui komunikasi
politik yang dibangun. Di samping itu, tugas legislator diapresiasi dengan
pemberian honor, yang berarti juga kehormatan.
Pileg keempat sejak
reformasi sudah semestinya menghasilkan anggota legislatif dengan kualifikasi
yang makin mendekati harapan konstituen. Di antaranya, pertama; legislator
komit merawat ketokohan (Arifin:2011;236)
yang merupakan kombinasi kredibilitas, tindakan, dan kekuasaan. Selanjutnya,
ditunjukkan dengan cepat dan komprehensif menyelesaikan persoalan masyarakat.
Apalagi saat ini masyarakat butuh solusi praktis, seperti dukungan kebijakan
perbaikan infrastruktur, serta pendidikan dan kesehatan yang murah dan
terjangkau.
Kedua; memiliki
kompetensi yang ditunjukkan lewat penguasaan menjalankan tugas spesifik
kedewanan, semisal kompetensi bidang ekonomi, pertanian, ketenagakerjaan,
hukum, dan sebagainya. Kompetensi itu didukung kemampuan menganalisis data
dan tawaran solusi yang berorientasi kerakyatan. Jangan sampai legislator tak
memiliki kompetensi terkait kerja kedewanan. Bila itu terjadi, berarti
anggota DPR/DPRD hanya bisa datang, duduk, dengar, diam, dan (mengharapkan)
duit, serta tak terdengar kiprah dan perannya.
Terus Mengawal
Ketiga; legislator
dituntut makin profesional dengan indikator kerja politik yang terukur lewat
produk kebijakan, bertanggung jawab menyelesaikan tugas, komit terhadap
kebijakan populis, serius, dan rajin menghadiri sidang. Tentu kinerja
harus dilengkapi akuntabilitas
berwujud laporan secara periodik kepada konstituen, terutama di
dapilnya. Masyarakat yang makin melek
politik dan kritis mengikuti dinamika perlu terus mengawal kinerja anggota DPRD
supaya tetap dalam koridor kualifkasi tersebut.
Seluruh elemen,
meliputi tokoh sosial, akademisi, pegiat LSM, ormas, generasi muda, termasuk
media massa perlu bersinergi mengontrol kerja legislator. Hal itu supaya
demokrasi makin berkualitas karena terdapat ekuivalensi dan kerja sama
politikus dengan konstituen untuk mewujudkan kesejahteraan dan kepentingan
umum. Ke depan, aksentuasi legislator adalah memperkuat fungsi legislasi yang
prorakyat melalui kerja sinergis dengan eksekutif. Termasuk penganggarannya
lewat APBD yang konsisten mengutamakan kepentingan rakyat. Selain itu,
menjalankan fungsi kontrol kritis konstruktif terhadap lembaga eksekutif demi
mengemban aspirasi kepentingan rakyat.
Untuk mempertahankan
kedekatan psikologis dengan rakyat, secara kontinu legislator perlu membangun
komunikasi politik seperti pada masa reses, pemanfaatan dana
komunikasi/aspirasi, dan rajin berpublikasi melalui media. Adapun komunikasi
informal bisa dilakukan melalui interaksi secara resiprokal sebagai wujud pertanggungjawaban politik
kepada rakyat. Selamat bekerja anggota
DPRD Jateng, rakyat menanti karyamu. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar