Khitah
“RRI” Kembali
Indah Pudjiati ;
Kepala
Seksi Pro 4 RRI Semarang
|
SUARA
MERDEKA, 11 September 2014
Radio Republik Indonesia atau
RRI, stasiun radio yang menyandang nama negara, telah menempuh perjalanan
panjang. Hampir tujuh dasa warsa lalu, ketika kita belum merdeka, para
pemimpin dan pejuang menyadari betapa penting media untuk menyalurkan
komunikasi yang bisa memacu semangat perjuangan, menyebarkan informasi yang
mendorong terjadinya perubahan.
Media itu harus bisa menjangkau
secara luas dalam waktu bersamaan dan dapat mengatasi kendala geografis, baik
darat maupun laut. Media yang dipandang memenuhi syarat mengatasi kesulitan
itu adalah radio. Sejak penjajahan Belanda, pejuang Indonesia dalam bidang
radio menyadari pentingnya peranan media itu untuk mewujudkan cita-cita
kemerdekaan.
Hal itu seiring kemunculan kali
pertama siaran di Indonesia pada 16 Juni 1925, yaitu Bataviase Radio Vereniging (BRV), disusul kemunculan sejumlah
radio siaran swasta, khususnya di Jawa.
Semasa pendudukan Jepang,
kesadaran mengenai kebangsaan makin menguat. Banyak siaran radio di Indonesia
dipakai untuk propaganda politik. Namun Jepang membubarkannya, menggantinya
dengan membentuk badan penyiaran radio Hoso Kanri Kyoku. Upaya itu untuk
lebih mengontrol gerakan yang melawan mereka.
Ketika tekanan dari Jepang
makin kuat, kebangkitan nasionalisme orang-orang radio dan seniman justru
merangsang mereka untuk kreativitas berkesenian. Kebijakan Jepang yang tidak
memperbolehkan radio-radio siaran di Indonesia memutar lagu-lagu Barat, malah
mendorong seniman kita melahirkan karya dan pemusik baru.
Orang-orang Indonesia yang
bekerja pada Hoso Kyoku secara sembunyi-sembunyi menggelorakan semangat
perjuangan ke seluruh Tanah Air. Bahkan memberikan informasi penting
menyangkut keberadaan Jepang di Indonesia, terutama menjelang hari-hari
terakhir menjelang penyerahan kepada Sekutu.
RRI punya peran sentral dan
penting dalam menginformasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 ke dunia
luar. Berkat perannya, dunia mendengar kemerdekaan kita. Sejarah itu diukir
angkasawan kita lewat keberanian luar biasa mengudarakan naskah proklamasi
dan propaganda kemerdekaan secara terus-menerus mulai 17 Agustus 1945 pukul
19.00 WIB.
Angkasawan pelopor, Jusuf
Ronodipuro, Suprapto, dan Bachtiar Lubis menyiarkan berita tentang proklamasi
kemerdekaan. Tanggal 11 September 1945, lahirlah Radio Republik Indonesia
atau RRI, satu-satunya radio milik pemerintah dengan fungsi dasar menyuarakan
kepentingan pemerintah dan negara.
Sejarah Baru
Kendati pada zaman Orde Baru
RRI bisa dikatakan jadi agen pembangunan dan memformat materi siaran guna
mengakomodasi kepentingan pemerintah; pergeseran politik tahun 1998
mencatatkan sejarah baru. Angin reformasi, mau tidak mau menuntutnya untuk
mengikuti pola kerja radio yang makin cepat, kreatif, dan jeli memahami
selera pasar.
Lembaga penyiaran itu
berpeluang keluar dari struktur dan kultur paternalistik untuk memproyeksikan
diri sebagai media yang profesional dan modern.
Pengundangan PP Nomor 12
tahun 2005 tentang Lembaga Penyiaran Publik (LPP) RRI, makin menguatkan tekad
untuk kembali ke khitah melayani publik.
Penyelenggaraan siaran dengan
program-program siaran informasi, pendidikan, budaya, dan hiburan —yang
berbeda karakter dari siaran lembaga penyiaran swasta— berjalan seiring
dengan visi RRI. Visi itu, yakni sebagai radio berjaringan terluas, pembangun
karakter bangsa, dan berkelas dunia.
Untuk mewujudkan visi itu, kini
RRI mempunyai beberapa programa untuk beragam segmen pendengar, antara
lain Programa (Pro) 1 dengan format station ’’Pusat Pemberdayaan
Masyarakat’’, Pro 2 ’’Pusat Kreativitas Anak Muda’’, Pro 3 ’’Jaringan
Berita Nasional’’, dan Pro 4 berformat ’’Pusat Kebudayaan Indonesia’’.
Dalam usia ke-69 pada 11
September 2014, RRI bersiap diri jadi ’’rumah rakyat Indonesia’’, yang bisa
memenuhi ’’want’’ dan ’’need’’ masyarakat. Sekali di udara
tetap di udara. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar