Kisruh BBM dan Kepanikan Jokowi-JK
La Ode Muhammad Rabiali ;
Sedang
melanjutkan studi Pascasarjana Insitut Pertanian Bogor, Program Studi
Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan
|
SINAR
HARAPAN, 11 September 2014
Keinginan
Jokowi-JK menaikkan harga BBM pada pemerintahan baru ke depan merupakan
kebijakan tidak populis. Hal ini menimbulkan banyak kritik. Tidak saja bagi
Koalisi Merah Putih sebagai lawan politik mereka, tetapi juga kalangan grass root masyarakat bawah
pendukungnya.
Banyak
hal patut dicermati atas keinginan Jokowi-JK tersebut. Pertama, keinginan
Jokowi menaikkan harga BBM ke depan tercetus ketika beliau gagal meminta
Presiden SBY menaikkan harga BBM sebelum pelantikannya pada Oktober 2014.
Memang dari rencana pemerintahan SBY, penaikan BBM harus dilakukan paling
lambat Januari 2015.
Secara
politik, rencana kenaikan tersebut berdampak negatif terhadap pemerintahan
baru. Mau tidak mau pemerintahan yang baru menanggung risiko “cacian” dari
masyarakat yang secara psikologis mengalami depresi ekonomi setelah beberapa
kali kenaikan BBM.
Atas
dasar itu, Jokowi-JK dan kompatriotnya di rumah transisi seperti “menekan”
SBY untuk segera menaikkan harga BBM. Dengan demikian, berbagai risiko kenaikan BBM itu bukanlah “dosa” mereka di mata rakyat, tetapi lebih pada
kesalahan pemerintah SBY.
Kedua,
menjadi kontradiksi ketika Jokowi-JK menaikkan harga BBM ke depan ataupun
meminta kepada SBY menaikkan harga BBM hari ini. PDIP—sebagai partai utama
penyokong Jokowi-JK—menolak tegas kenaikan harga BBM yang dilakukan SBY.
Bahkan
PDIP sampai walk out di parlemen
saat dilakukan voting untuk
menyetujui atau tidaknya kenaikan itu pada 2013. Menjadi nyata saat ini bahwa
apa yang dilakukan PDIP di parleman untuk menolak kenaikan BBM saat itu
merupakan strategi politik pencitraan. Ini berhasil mereka perankan untuk
meminang kecintaan publik.
Ketiga,
secara politis kebijakan ini meruntuhkan kepopuleran Jokowi yang disebut
sebagai pemimpin wong cilik. Imbas kenaikan ini lebih akan dirasakan
masyarakat kelas bawah.
Ekspektasi
besar rakyat kecil atas kemenangan Jokowi sebagai Presiden RI ke-7 untuk
memperbaiki perekonomian dan menurunkan harga barang, dihadiahinya dengan
menaikkan harga BBM yang tentu diiringi naiknya kebutuhan pokok masyarakat.
Survei
terakhir yang dilakukan LSI per Agustus 2014 (Merdeka.com) terhadap publik
atas rencana kenaikan BBM menunjukkan, 73,17 persen menolak dan hanya 21,46
persen gagasan ini disetujui rakyat. Ini menggambarkan penolakan rakyat terhadap
rencana menaikkan BBM. Jikalau itu dipaksakan, secara politik menurunkan
simpati rakyat pada Jokowi-JK.
Keempat,
menarik mencermati dukungan partai koalisi pendukung Jokowi atas ide
menaikkan harga BBM yang dengan serta-merta menyetujuinya. Kita tidak tahu
secepat itukah untuk menyetujui ide menaikkan harga BBM tanpa kompromi
sedikit pun untuk menolak ide Jokowi-JK, walau mereka berada pada satu
gerbong koalisi. Atau jangan-jangan kebijakan untuk menyetujui ide itu
semata-mata didasarkan pada kepentingan koalisi, bukan rakyat.
Harusnya
partai pengusung koalisi mampu menawarkan alternatif strategi untuk menolak
gagasan menaikkan BBM ataupun mungkin menerima gagasan tersebut, dengan
catatan inplementasinya di tahun-tahun mendatang, bukan pascapelantikan
Jokowi-JK. Kita semua tentu kaget melihat partai pengusung Jokowi-JK dengan
jargon “Gerakan Perubahan”.
Kemudian
dengan jargon itu, membawa mereka pada satu kepercayaan rakyat terlibat dalam
“nafsu” politik kepentingan partai untuk menaikkan harga BBM keluar dari
jalurnya selama ini yang tegas menyuarakan penurunan harga barang.
Mereka
seperti tidak lagi kritis bahkan terkesan menjadi oportunis tak berkutik dan
menjadi layu untuk menyuarakan gerakan perubahan seperti yang diidamkan
rakyat. Ini tentu menjadi catatan buruk bagi rakyat. Pastinya berimbas
negatif pada masa depan politik partai pengusung itu untuk lima tahun ke
depan.
Kehabisan Akal
Ngotot-nya
Jokowi-JK untuk menaikkan tarif BBM menjadi cermin bahwa duet ini tidak
memiliki visi kuat dalam membangun ekonomi rakyat. Apalagi pengambilan
kebijakan ini terlampau terburu-buru sebelum resmi keduanya dilantik.
Ini
menunjukkan baik Jokowi-JK dan partai pengusungnya mengalami kepanikan
politik atas rencana kenaikan harga BBM yang dipatok Presiden SBY di masa
datang. Padahal, kebijakan SBY ke depan yang telah tersusun sampai 2015
betapa pun sulitnya masih dapat direvisi.
Lagi
pula kepanikan itu tidak mendasar seperti sudah kehabisan akal bahwa untuk
menekan pengeluaran negara pada subsidi BBM hanya dapat dilakukan dengan menaikkan
harga BBM itu sendiri.
Persoalan
sebenarnya bukan pada penting tidaknya harga BBM itu naik, melainkan terletak
pada problema bagaimana kebijakan dan niat itu lahir. Saya yakin Jokowi-JK
yang baru terpilih dan belum dilantik tidak memahami sepenuhnya persoalan
ekonomi kebangsaan dari 200 juta lebih rakyat Indonesia.
Pertanyaannya,
sudahkah Jokowi-JK yang belum dilantik itu memperhitungkan dan memiliki data
akurat kuantitatif dan kualitatif? Berapa sesungguhnya kebutuhan migas yang
kita perlukan? Apakah Jokowi-JK mampu memprediksi kebutuhan migas itu sampai
lima tahun ke depan kepemerintahannya bagi seluruh rakyat. Elemen mana yang
mengonsumsi BBM tertinggi? apakah masyarakat bawah, menengah, atas, ataupun
industri. Berapa kebutuhan elemen-elemen tersebut dan prediksinya sampai lima
tahun ke depan?
Berapa
cadangan migas asli dari perut bumi kita untuk sampai lima tahun ke depan.
Seberapa besar biaya produksi serta distribusinya ke masyarakat sekaligus
berapa besar kebutuhan impor untuk mencukupi jikalau kita memiliki kekurangan
pasokan dan berapa nilai belinya sampai distribusinya ke masyarakat
Indonesia.
Berapa
juga harga BBM internasional per barelnya tahun ini dan prediksi harga sampai
lima tahun ke depan serta berapa yang layak dijual untuk masyarakat kita.
Selanjutnya
berapa nilai kerugian negara yang patut diselamatkan terhadap pengelolaan
migas di Indonesia, jikalau boleh saya mengutip apa yang disampaikan
Prabowo-Hatta, berapa sesungguhnya kebocoran yang ada dalam pengelolaan migas
kita dan lain sebagainya.
Tentu
banyak hal yang patut dipelajari dan dipertimbangkan lebih dalam. Bukan
sekadar panik politik lalu serta-merta menaikkan harga BBM untuk menekan
nilai subsidi negara terhadap harga BBM yang dianggap tidak layak.
Rencana
anggaran untuk belanja subsidi energi pada 2015 sebesar Rp 291,1 triliun.
Angka ini meningkat dari APBN perubahan tahun 2014 sebesar Rp 246,5 triliun.
Untuk menekan angka tersebut, selayaknya Jokowi-JK memiliki strategi
alternatif.
Bukan
sekadar mengandalkan peningkatan harga jual BBM bersubsidi, melainkan seiring
revolusi mental yang dilontarkan pada masa kampanye dapat dilakukan dengan
menata birokrasi sebaik mungkin. Setiap orang mampu bekerja sesuai
kompetensinya, memahami manajerial, dan bermoral yang mampu bekerja secara
efektif, efisien, optimal serta sustainable.
Mengaca
pada pemerintahan sebelumnya atau di masa pemerintahan SBY, begitu besar
kerugian negara akibat perilaku buruk birokrasi. Sebut saja seperti kasus
penggelapan pajak, Bank Century, Melinda Dee, korupsi migas, Hambalang, dan
lain sebagainya.
Hal
ini belum terhitung dengan perusahaan-perusahaan tambang yang jumlahnya
ribuan dan kerap kali tidak membayar pajak. Masih banyak aspek yang harus
didalami dan dipelajari kembali untuk meningkatkan pendapatan negara baik
dari sektor pajak dan nonpajak.
Tentu
kalau ini dapat diperbaiki melalui misi revolusi mental,
kita mampu menyelamatkan uang negara hingga tidak penting lagi untuk
menaikkan harga BBM dalam menekan biaya subsidi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar