Meditasi
Romo Mudji
Mohamad Sobary ;
Esais,
Anggota Pengurus Masyarakat Bangga Produk Indonesia,
untuk
Advokasi, Mediasi, dan Promosi
|
KORAN
SINDO, 15 September 2014
Pameran
sketsa Romo Mudji—yang dibuka hari Rabu, 10 September lalu, di teater arena
Taman Ismail Marzuki, TIM, rumah kaum seniman yang bergengsii— memang
bergengsi sekali. Kalau tak percaya, lihat saja sendiri apa isi yang
dipamerkannya. Romo orang serbabisa.
Pastor
Serikat Jesuit, terpelajar, dosen filsafat, esais, pendeknya seni-man,
aktivis di bidang-bidang yang berhubungan dengan agama dan kebudayaan, serta
tekun melukis sketsa-sketsa tampak seperti terbukti di berbagai pamerannya,
terutama pamerannya kali ini. Tulisannya, esai-esai tadi, dan
sketsa-sketsanya menyampaikan kepada kita suatu kesaksian, seperti digali
dari sebuah perjalanan yang sama: perjalanan di muka bumi yang fana ini,
tetapi yang dijumput, yang dipetiknya, sebaliknya. Semua kesaksiannya dipilih
hanya segi-segi terdalam dari hidup yang di mana pun sangat terasa begitu
dangkal dan khas hanya yang bernilai keabadian.
Setidaknya,
ini potret keabadian dari apa yang tak abadi dan serbafana, yang bisa
ditampilkan oleh hidup yang memang fana ini. Rupanya, ada juga sisi-sisi
keabadian dari hidup dalam serbakefanaan ini. Dan ini pula wujud kontradiksi-
kontradiksi, yang sebetulnya ruwet jika dinalar dengar daya pikir. Tapi entah
mengapa, di tangan Romo, yang sudah memasuki usia ke 60 tahun—a productive and wonderful sixty
—persoalannya menjadi seolah hanya begitu sederhana dan mudah dicerna ketika
semuanya terlahir dalam karya demi karyanya, yang filosofis dan religius.
Siapa
yang bisa berkarya dengan kesan luar dan kedalaman isi seperti ini kalau
bukan seorang rohaniwan yang memang dilatih memandang hidup, memandang dunia
yang eksoterik ini dari segi-seginya yang esoterik? ”Kita tidak heran karena
Romo rohaniwan.” ”Tapi apakah semua rohaniwan bisa melakukannya?” ”Agaknya
cukup jelas, memang tak semua mereka bisa begitu. Tapi bukankah itu karena
Romo orang filsafat, yang terlatih memandang hidup yang ruwet ini menjadi
rumusan filosofis yang lebih ruwet lagi?”
”Tapi
bukankah kita tahu, tak semua orang yang dilatih berfilsafat memperlihatkan karyakarya
macam itu?” ”Ah, kalau begitu mungkin karena Romo terlahir dari kombinasi
orang tua, sang Ayah dari Yogya, dan sang Ibu dari Solo?” ”Kelembutan dan
kehalusan Solo dan Yogya, filosofi Jawa, dan cara hidup yang membikin
harmonis unsur-unsur yang kontradiktif satu sama lain memang bisa ditangani
dengan baik oleh orang Jawa, dari pusat peradaban Jawa itu. Tapi pertanyaan
pokoknya, apakah semua orang Solo atau Yogya atau orang yang lahir dari
kombinasi Solo-Yogya mampu berkarya seperti itu? ”Ah, begini saja: Romo Mudji
ya Romo Mudji.
Selesai.
Tak usah dibanding-bandingkan karena perbandingan memang tak diperlukan.
Melihat karya-karyanya saja belum tentu bisa kita analisis secara jeli dan
mendalam dalam waktu pendek. Apa lagi menelusuri modus-modus eksistensialnya
yang lebih kompleks. Salah satu sketsa itu ada yang memancarkan rasa syukur.
Judulnya Kidung Syukur. Orang-orang saleh yang sudah mencapai usia setingkat
usia beliau, apalagi yang sudah lebih, apa lagi memangnya yang harus
dilakukannya dalam hidup ini bila bukan kekidungan dengan segenap rasa
syukur?
Berkidung-kidung,
menyanyinyanyi, dengan sendirinya bukan yang dipantulkan oleh suara,
melainkan oleh kedalaman hati. Mungkin dalam diam. Menjadi ning koyo banyu,
jernih bagai air, dan neng koyo watu, diam bagai batu. Dan syukur yang diam
itu siapa tahu bila yang keluar justru sebuah tangis, yang dalam, tanpa
suara, tanpa bunyibunyian. Tangisnya hati yang terdalam. Sedalam apa pun
Danau Toba, orang tahu berapa dalamnya. Bagi yang belum pernah tahu tapi
ingin tahu bisa mengetahuinya dengan menggunakan teknologi.
Tapi
teknologi apa yang bisa kita gunakan untuk mengetahui kedalaman syukur Romo
Mudji dalam Kidung Syukur yang dipamerkannya di rumah kaum seniman itu?
Kerendahan hati seorang rohaniwan atau orang biasa yang saleh niscaya
menerima segala pemberian langit dengan syukur. Bahkan, ada yang dirasa sudah
cukup dan tak perlu diperbanyak. Sayang, Romo Mudji tak bisa menjadi ukuran
mengenai betapa dalamnya iman orang Indonesia. Kalau politisi Senayan yang
gemar hiruk-pikuk dan pamer komitmen palsu yang berkata ”sudah cukup dan
tinggal bersyukur”, pasti skala kebaikan hati bangsa kita bisa dipotret untuk
menjadi indikator penting dan bergengsi.
Kalau
para birokrat partai dan nonpartai, bahkan yang datang dari kalangan
perguruan tinggi, bisa begitu, negeri ini akan penuh dengan orang-orang baik,
saleh, dan mendekati tipologi para santo, para wali, bahkan mungkin juga
nabi-nabi. Kalau ini sudah terwujud— tapi KPK pun jelas tidak tahu sama
sekali kapan akan terwujud—, negeri ini jelas aman dan amanah. Kita tak perlu
partai politik yang berteriak kesucian, tetapi ternyata wakil-wakilnya juga
mencuri secara terbuka tanpa malu-malu.
Orang
yang bicara mengenai Kidung Syukur dan satu lagi ”mencari cahaya terang”,
melalui karya-karya seninya, mungkin menjadi representasi dari apa yang di
dunia sastra Jawa tradisional, wayang, disebut orang yang sudah katoro,
katari, katarimah brataniro , itu orang yang sudah dikenal baik oleh
kekuasaan ”langit”, dikenal dengan baik, dan pengabdian hidupnya diterima,
juga diterima dengan baik, dan karena itu lalu katari , ditanya, ”mau minta
apa yang terbaik dalam hidupmu”, dan orang itu akan menjawabnya dengan rendah
hati tanpa kata-kata, tanpa bunyi-bunyian, hanya suara hati yang terdengar:
”Matur sembah nuwun, sampun cekap.
”
Artinya terima kasih banyak, sudah cukup. Kita tahu, ini mungkin bisa
membikin para penguasa langit bergetar, penuh kekaguman. Jadi, ada betul to ,
orang, di bumi sana, yang merasa sudah cukup itu. Romo, bagaimana rasanya
bisa menulis esai-esai, bisa berfilsafat, dan membuat sketsa-sketsa, yang
dipamerkan di tempat-tempat bergengsi, terutama di rumah kaum seniman di
Taman Ismail Marzuki? Pertanyaan ini, bagi Romo, mungkin membingungkan. Apa
jawabnya yang lebih bila bukan rasa syukur yang diungkapkan dengan kidung
syukur, yang diam tapi dalam, yang gembira tapi menangis, karena hidup di
usia ini tak lain dari syukur dan syukur. Itu mungkin inti Meditasi Romo
Mudji, meditasi di dalam hidup, di tengah segala yang bising, ruwet. dan
pengap, tapi di dalam jiwa ada yang teduh, di dalam apa yang fana ada titik,
biarpun kecil, yang abadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar