Rabu, 24 September 2014

Angkringan

Angkringan

Heri Priyatmoko ;   Pengamat Sejarah Solo
KORAN TEMPO, 23 September 2014

                                                                                                                       
                                                      

Kalau perut warga Jakarta diselamatkan oleh kehadiran warung tegal, perut masyarakat Yogyakarta dan Solo dibuat aman berkat adanya angkringan atau hik. Di warung jenis inilah penghuni Kota Gudeg dan Kota Bengawan bisa makan secukupnya dengan merogoh kocek kurang dari sepuluh ribu rupiah.

Menurut riwayatnya, penyebutan "angkringan" bermula dari kata "nangkring", yaitu pantat duduk di kursi panjang di depan gerobak, tubuh menghadap ke aneka rupa jajanan, dan kaki berayun sembari nglaras (santai). Sedangkan istilah "hik" berasal dari suara penjajanya yang menawarkan dagangan sewaktu berkeliling. Dulu, sebelum beralih memakai gerobak dan mangkal di pinggir jalan, hik dibawa oleh penjualnya dengan cara dipikul dan keluar-masuk kampung menyapa pembeli.

Angkringan, seperti halnya warteg bagi orang Jakarta, adalah elemen kota yang tidak boleh dipandang sebelah mata. Di tengah ramainya restoran dan rumah makan internasional, semacam KFC, McDonald, dan Pizza Hut, angkringan dengan segala jenis jajanannya yang sederhana tetap mampu berkontribusi terhadap perkembangan kota. Angkringan berhasil menggeliatkan perekonomian di level bawah. Malahan, ia menjadi juru selamat warga yang berkantong cekak. Dengan kocek terbatas, kita dapat menikmati sego kucing yang menjadi ciri khas angkringan. Hidangan tersebut mirip dengan nasi yang disorongkan untuk kucing, baik segi kuantitas maupun kualitasnya. Nasinya hanya sekepal, berlauk ikan bandeng disertai sambal secuil (sak ndulit).

Kenyataan yang menggembirakan, belakangan ini, hik makin merebak laksana rumput kala musim hujan. Ditinjau dari perspektif ekonomi, angkringan bagus untuk dijadikan solusi pemberdayaan ekonomi rakyat kecil, menimbang usaha tersebut tidak memerlukan ijazah, skill berlebihan, dan modal uang sekarung.

Bagi kalangan wong cilik, angkringan merupakan peluang kerja baru yang cukup menggiurkan. Bahkan kini banyak pengusaha yang mengembangkan bisnis angkringan yang dikemas menjadi kafe di dalam rumah. Konsumennya ialah kelas menengah ke atas, dan tentunya dengan harga yang berbeda dengan angkringan yang asli.

Di angkringan, kita menemukan kebebasan. Dari tukang becak, kuli bangunan, sopir truk, mahasiswa, sampai juragan memakan camilan kacang goreng, klepon, jadah, dan menyeruput wedang teh yang ginastel (manis-panas-kental). Tiada yang bakal menegur meski mereka mengenakan sarung, sandal jepit, dan celana kolor.

Beda dengan di mal atau restoran. Orang berpakaian seperti itu pasti "dihadiahi" tatapan aneh oleh pengunjung lainnya. Mereka yang nangkring di angkringan juga tak perlu risih meski baru bangun dari tidur dan rambut tanpa disisir. Bersantap di hik tak memerlukan formalitas, atribut, atau aturan yang macam-macam sebagaimana di mal.

Bukan hanya itu, suasana yang ditawarkan hik acap bikin pengunjung betah. Kendati wedang mereka sudah dingin, hati masih terasa hangat untuk ngobrol ngalor-ngidul, dari urusan politik sampai problem rumah tangga. Demikianlah, angkringan berfungsi sebagai ruang publik bagi masyarakat kota lintas kelas. Juga menjadi identitas kota. Melalui angkringan, wong cilik bergerak menjadi aktor sejarah dan dinamo penggerak ekonomi di tingkat lokal. Dan pantaslah mereka diabadikan dalam album sejarah kota!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar