Pertaruhan
Kurikulum Baru
Mursyid Burhanuddin ;
Direktur Penerbit dan
Percetakan Masmedia Group
|
JAWA
POS, 01 Agustus 2014
MESTINYA
implementasi kurikulum 2013 sudah harus terlaksana pada 14 Juli 2014. Tetapi
karena bersamaan dengan masa orientasi sekolah (MOS) dan libur Lebaran,
kurikulum baru akan mulai efektif Senin, 4 Agustus 2014. Dengan pengunduran
itu, sudah tentu ada yang dikorbankan, yakni jam belajar menjadi berkurang
dan para guru harus mengejar target materi pada bulan-bulan berikutnya.
”Tambahan waktu” itu ternyata tidak bisa dimanfaatkan dengan baik oleh
Kemendikbud. Terbukti, belum semua guru selesai dilatih dan banyak sekali
sekolah yang belum menerima buku seperti yang dijanjikan. Itu adalah
serentetan beban Menteri Pendidikan dan Kebudayaan M. Nuh di sisa waktu dua
bulan ke depan.
Tak
pelak, persiapan yang kurang maksimal itu mulai menuai kritik dan mungkin
kian menjadi-jadi jika sampai akhir Agustus tidak ada kemajuan yang berarti.
Itu tentu saja mengganggu pikiran Pak Nuh dan membuatnya kurang tidur. Orang
mengatakan bahwa itu akibat dia terlalu memaksakan target dan kurang
mempertimbangkan realitas di lapangan. Dia tahu itu tidak mudah. Tetapi, dia
harus patuh pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
2010–2014 bahwa perbaikan kurikulum harus mencakup seluruh sekolah.
Implementasi kurikulum 2013 juga harus berjalan dengan syarat dan peranti
yang lengkap. Yaitu, seluruh guru harus terlebih dulu dilatih. Dalam hal
penyediaan buku –meminjam istilah Wakil Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Musliar Kasim, buku-buku harus sudah tersedia di sekolah sebelum anak didik
duduk manis di bangku kelas. Apa jadinya jika sampai TAB dimulai, keduanya
belum kelar? Tentu pemerintah akan kelimpungan dan mencari cara lain meski
publik mulai gemas dan sekolah sudah tidak sabar menunggu.
Cara
pertama sudah dilakukan. Yaitu, memperpanjang jadwal pelatihan dan memberikan
kelonggaran kepada penyedia barang untuk mengirim buku sampai 18 Agustus.
Guru-guru yang belum dilatih juga akan mendapatkan giliran, entah sampai
kapan. Untuk mengatasi keterlambatan pengiriman buku, sekolah dikirimi compact disk (CD) yang berisi konten
buku kurikulum 2013. CD itu bisa digunakan oleh para guru untuk mengajar dan
dapat dicetak atau difotokopi sesuai kebutuhan.
Masalah
baru muncul. Siapa yang menanggung biaya cetak atau biaya fotokopi? Padahal,
biaya tersebut lebih mahal ketimbang harga buku itu sendiri. Lalu, kalau
terus disuruh menunggu, siapa yang bisa menjamin buku-buku itu pasti datang?
Bolehlah Kemendikbud menjamin –dan itu sudah mereka buktikan dengan berbagai
edaran serta Permendikbud Nomor 53 Tahun 2014. Pak Nuh juga tidak bosan-bosan
mendesak penyedia barang yang merupakan pemenang lelang cetak e-catalogue agar mereka bekerja cepat
dan dirinya siap membantu. Tetapi, hingga akhir Juli, perkembangannya seperti
berjalan di tempat. Tampaknya target 100 persen kian sulit dicapai. Apalagi,
sukses tidaknya dropping buku itu sepenuhnya bergantung pada kemampuan mereka
dan pemerintah hanya bisa membuat aturan yang memudahkannya. Orang tidak tahu
bahwa itu pekerjaan raksasa yang membutuhkan modal sangat besar dengan teknik
penanganan yang rumit. Jumlah buku yang dicetak juga tidak main-main dan
waktunya sangat pendek. Itu tidak bisa dibandingkan dengan jumlah lembar
surat suara KPU, misalnya. Sebab, 245 juta eksemplar buku yang dicetak
ekuivalen dengan 49 miliar halaman jika setiap buku memiliki ketebalan
rata-rata 200 halaman. Buku-buku itu harus dijilid dan terkirim di hampir 270
ribu titik dengan kelengkapan SPJ-nya.
Celakanya,
logika penyedia barang tidak sesederhana yang dipikirkan oleh pemerintah.
Pemerintah hanya mengatakan bahwa buku-buku sudah selesai cetak dan akan tiba
di sekolah sesaat sebelum TAB. Padahal, mereka berharap sekolah mau membayar
terlebih dulu sebelum melepas barang –dan itu sesuatu yang tidak mungkin
terjadi. Mereka takut jika setelah buku terkirim ternyata tidak segera
dibayar oleh sekolah. Karena itu, sebagian dari mereka sangat bergantung pada
ekspedisi yang juga bertugas sebagai juru tagih.
Bagi
sekolah, perubahan kurikulum sebenarnya adalah hal yang rutin saja. Biasanya
mereka hanya dibekali pelatihan dan tidak dijanjikan apa-apa, kecuali hanya
diminta melaksanakan secara bertahap dan tidak ada prasyarat yang mengikat.
Mereka juga tidak dijanjikan menerima buku gratis. Dengan begitu, kurikulum
baru tetap bisa berjalan dengan atau tanpa buku. Para guru atas prakarsa
sendiri tetap bisa mengajar dengan menggunakan sarana yang ada dan berbagai
referensi sebagai sumber belajar. Itu berbeda dengan kurikulum 2013. Pada
jenjang SD, kegiatan pembelajaran akan macet jika tidak ada buku. Sebab, model
pengajaran pada jenjang itu menggunakan pendekatan tematik terpadu dan materi
pelajaran disusun sesuai dengan tema yang ditetapkan pemerintah. Para guru
yang sudah mendapatkan pelatihan pun akan sulit mengembangkan pembelajaran
jika tidak ada buku pegangan.
Ketika
hanya berharap pada dropping buku, sekolah menjadi tersandera. Jika akhirnya
buku-buku itu tidak datang, ia hanya bisa menggunakan peranti CD. Dari sudut
itu, kondisi yang demikian tidak sesuai dengan tujuan sehingga bisa disebut
suatu kemunduran. Dulu, pada zaman buku sekolah elektronik (BSE), sekolah
masih bisa membeli BSE versi cetak di toko buku, di samping e-book yang
dengan mudah bisa mereka dapatkan dari internet. Dengan hanya memercayakan
urusan penyediaan buku kepada pemenang lelang, pemerintah ibarat menaruh
telur dalam satu keranjang. Tetapi, jika lelang e-catalogue masih diyakini sebagai sistem yang paling bagus,
mestinya akan efektif. Karena itu, Pak Nuh berani mempertaruhkan reputasinya
justru di penghujung masa jabatannya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar