Konversi
Subsidi BBM
Ahan Syahrul Arifin ; Ketua PB HMI, Mahasiswa
Pascasarjana UI
|
SINAR
HARAPAN, 30 Agustus 2014
Gejolak akibat BBM makin mengular. Kelangkaan BBM bersubsidi
menjalar hampir di setiap daerah. Menghadapi kondisi ini, pemerintah
melakukan antisipasi dengan pengendalian BBM. Melalui Surat Edaran BPH Migas
Nomor 937/07/Ka BPH/2014 tanggal 24 Juli 2014, tentang Pengendalian Konsumsi
BBM Bersubsidi.
Pemerintah menetapkan empat langkah pengendalian BBM yang harus
diambil. Kebijakan pengendalian harus kembali dilakukan sebagaimana
disebutkan Menteri ESDM, Jero Wacik, agar kuota BBM bersubsidi yang sudah
ditetapkan dalam APBN-P sebanyak 46 juta kl bisa mencukupi hingga akhir
tahun.
Tanpa pengendalian, kuota solar itu akan habis pada akhir
November dan Premium akan habis pada 19 Desember 2014.
Empat langkah kebijakan tersebut antara lain; pertama, terhitung
per 1 Agustus dilakukan peniadaan solar bersubsidi untuk kawasan Jakarta
Pusat. Kedua, per 2 Agustus dilakukan pembatasan waktu penjualan solar
bersubsidi di seluruh SBPU di Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Bali, mulai 4
Agustus 2014, hanya pukul 18.00-08.00 WIB.
Ketiga, alokasi solar bersubsidi untuk lembaga penyalur nelayan
(SPBB/SPBN/ SPDN/AMPS) akan dipotong hingga 20 persen. Penyalurannya lebih
mengutamakan kapal nelayan dengan bobot di bawah 30 gross ton (GT). Keempat,
sejak 6 Agustus 2014, penjualan Premium di seluruh SPBU yang berlokasi di
jalan tol ditiadakan.
Beban Subsidi
Lalu, bisakah kebijakan pengendalian dapat menyembuhkan masalah
subsidi energi yang sangat memberatkan ruang gerak fiskal bagi perekonomian?
Patut diketahui, APBN kita terlampau besar digerogoti kanker subsidi energi.
Diperkirakan hingga akhir tahun nanti untuk BBM bisa mencapai Rp 260 triliun
dan Rp 104 triliun untuk listrik.
Besaran subsidi ini membuat ruang gerak fiskal menjadi sangat
sempit. Apalagi, APBN banyak tersedot pada anggaran rutin untuk birokrasi.
Belum lagi 20 persen APBN harus diperuntukkan untuk sektor pendidikan, ke
depan APBN juga harus menyokong pelaksanaan UU Desa yang menempatkan 10
persen dari anggaran DAU dan DAK untuk desa. Ruang fiskal tentunya akan
semakin menyempit. Pengendalian BBM dengan berbagai pola sebetulnya bukan
menyelesaikan masalah.
Bahkan, kebijakan ini bisa disebut kontraproduktif bagi
perekonomian. Sebut saja masalah yang akan muncul dari proses pencabutan
subsidi energi adalah penyelundupan dan manipulasi, diversifikaasi energi
nonfosil yang mandek, impor minyak yang makin tinggi. Ujung-ujungnya defisit
neraca perdangan makin menebal. Bahkan, jika ditelaah lebih detail, pola
penundaan kenaikan harga BBM dengan penerapan kebijakan seperti pemasangan
stiker mobil dinas pemerintah, pembatasan penggunaan BBM bersubsidi untuk
kendaraan pribadi, penerapan mobil LCGC, pemasangan radio frequency identification (RFID), pembelian BBM bersubsidi
nontunai, hingga inisiatif terakhir pembatasan lokasi dan waktu operasi
penjualan solar bersubsidi bukan berdampak mengurangi BBM, melainkan
membebani anggaran.
Fakta di lapangan banyak mobil-mobil LCGC yang ikut mengantre
BBM bersubsidi, hal ini wajar sebab tidak ada aturan yang melarang LCGC untuk
mengonsumsi bahan bakar bersubsidi.
Cabut dan Konversi
Dilihat dari perkembangan dan aspek besarannya, subsidi BBM
menjadi masalah yang sudah tidak masuk akal. Pada 2009 volume subsidi BBM
sudah mencapai jumlah Rp 100,6 triliun. Tahun ini dipatok pada angka Rp 210,7
triliun. Besaran anggaran ini hanya menyebabkan polusi dan kemacetan yang tak
terkendali.
Bahkan, Bank Dunia memperkirakan realisasi subsidi BBM akan
mencapai Rp267 triliun. Hingga 31 Juli 2014 realisasi konsumsi solar
bersubsidi sudah mencapai 9,12 juta kl atau 60 persen dari kuota 15,16 juta
kl. Realisasi konsumsi Premium bersubsidi mencapai 17,08 juta kl atau 58
persen dari kuota 29,29 juta kl. Oleh karena itu, penting agar BBM bersubsidi
dicabut. Apalagi, banyak disinyalir penggunaanya tidak tepat sasaran.
Data yang disulih dari penelitian ESDM (2011), menyebutkan 25
persen rumah tangga dengan penghasilan tertinggi per bulan adalah penerima
alokasi subsidi 77 persen, sedangkan 25 persen kelompok rumah tangga dengan
penghasilan terendah dalam sebulan hanya menerima subsidi 15 persen.
Tentunya sangat tidak adil melihat subsidi yang tidak tepat
sasaran. Hal ini karena lebih dari 80 persen barang bersubsidi itu justru
dinikmati elemen-elemen masyarakat yang sesungguhnya tidak berhak.
Selain menyajikan potret ketidakadilan, salah kelola BBM bersubsidi
yang sudah berlangsung sangat lama jelas-jelas telah memperlemah kemampuan
negara untuk membangun, baik infrastruktur maupun pembangunan manusia. Dalam
dari penelitian ESDM ditemukan fakta 53 persen pengguna BBM bersubsidi adalah
mobil pribadi. Secara logika pemilik mobil pribadi adalah masyarakat kelas
menengah keatas.
Pengendalian juga tidak tepat. Ini mengingat selama ini sekitar
65 persen konsumsi BBM diserap penggunan motor dan mobil. Pengendalian
terhadap penjualan BBM sesungguhnya juga tidak tepat, mengingat tren
penjualan motor dan mobil yang meningkat.
Tren ini akan semakin meningkat bila pemerintah juga gagal dalam
menyediakan layanan transpotasi berbasis angkutan massal yang memadai. Itu
artinya, pengendalian agar BBM bersubsidi tepat guna bukan mengendalikan
jumlah BBM, melainkan membatasi jumlah mobil dan motornya.
Melihat kondisi yang ada subsidi untuk BBM, sudah mestinya
dicabut dengan dikonversikan kepada kebutuhan lainya yang lebih mendesak,
misalnya infrastruktur, inovasi energi biofuel, atau penguatan SDM. Pilihan
ini menjadi sangat penting untuk meningkatkan daya saing bangsa agar tidak
jadi penonton dalam alam globalisasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar