Argumen
“Pro Life” dan “Pro Choice”
Benni Susetyo ; Pemerhati Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 29 Agustus 2014
Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan Reproduksi yang
dianggap melegalkan praktik aborsi kini menimbulkan kontroversi di
masyarakat. Sebagian masyarakat resah karena mengkhawatirkan adanya
penyimpangan kebijakan tersebut sehingga mempermudah praktik aborsi.
Pihak penentang menilai bahwa dalam kehidupan masyarakat yang
diwarnai gaya hidup bebas saat ini, aturan ini akan mudah disalahgunakan
pelaku perzinaan untuk melegalkan aborsi.
Aturan ini membuka peluang kehamilan tak diinginkan (KTD), hasil
perzinaan, gagal kontrasepsi, dan kehamilan yang menghambat karier kerja
untuk melakukan aborsi.
Dalam PP tersebut memang dikemukakan bahwa aborsi bisa dilakukan
untuk dua keadaan, yakni gawat darurat medis dan kehamilan akibat
pemerkosaan. Namun, sebagian masyarakat melihat celah permisif mudahnya orang
melakukan aborsi. Kendati pun sudah dilarang melalui KUHP, praktik aborsi
ilegal masih banyak terjadi.
Aborsi yang sudah dikenal sejak lama memang memiliki sejarah
panjang dan telah dilakukan dengan berbagai metode, termasuk natural atau
herbal, penggunaan alat-alat tajam, trauma fisik, dan metode tradisional
lainnya. Di masa kini aborsi dilakukan dengan memanfaatkan obat-obatan dan
prosedur operasi teknologi tinggi.
Pihak yang mempermasalahkan praktik aborsi memperingatkan agar
setiap peraturan yang dikeluarkan tetap mempertimbangkan aspek sosiologis
masyarakat, seperti adat istiadat, etika moral, kesusilaan, dan aturan
berbagai agama yang ada sehingga tidak menimbulkan pertentangan.
Sekiranya pertentangan seperti ini akan terus berlanjut
sepanjang tidak ada pemahaman yang sama mengenai masalah yang dihadapi.
Argumen
Setidaknya perdebatan seperti ini sudah berlangsung sejak
dahulu. Mereka yang termasuk golongan antiaborsi menamakan diri sebagai kelompok
pro life (pro kehidupan). Mereka
yang menyetujui praktik aborsi menyebut diri sebagai pro choice (pro pilihan).
Sebagian kelompok pro life
yang moderat mengajarkan bahwa aborsi selalu merupakan hal buruk, namun tetap
mengizinkannya dalam syarat-syarat tertentu. Sekiranya dalam konteks inilah
mengapa PP Kesehatan Reproduksi dipertentangkan. Pemerintah melihat bahwa
syarat “gawat darurat medis” dan “kehamilan akibat pemerkosaan”
termasuk syarat yang ditentukan untuk bisa melakukan aborsi.
Namun, kelompok pro life pada intinya berpandangan, foetus
manusia merupakan makhluk hidup yang tidak bersalah. Makhluk hidup yang tidak
bersalah tidak pernah boleh dibunuh dalam lingkup situasi apa pun. Namun
sebaliknya, kelompok pro choice cenderung percaya bahwa foetus manusia itu
bukan makhluk manusiawi.
Ia tidak memiliki hak dan kepentingan serta tidak logis
dilukiskan sebagai tak bersalah ataupun bersalah. Karena itulah, mereka
berpandangan umumnya hak perempuan akan kebebasan pro kreatif bersifat mutlak
dan tidak boleh dihalangi (Teichman,
1998).
Di negara-negara Barat, pendapat hukum dan publik umumnya
diwarnai para filsuf yang menyangkal kehidupan manusia secara intrinsik
mempunyai nilai. Mereka umumnya menegaskan aborsi merupakan suatu prosedur
yang bebas moral.
Di Barat aborsi memang tidak diterima sebagai metode pembatasan
kelahiran, tetapi keberadaannya diterima sebagai sandaran bila ada
kontrasepsi gagal. Mereka membela legalisasi aborsi dan tidak secara khusus
khawatir terkait pertumbuhan populasi, tetapi pada kebebasan memilih.
Aborsi terapeutis yang diikuti kelompok pro life moderat
diarahkan dalam konteks menyelamatkan kehidupan ibu. Namun, pada praktiknya
hal ini bisa sangat elastis dan bisa diterapkan pada banyak kasus lain,
misalnya kasus inses, korban pemerkosaan, kemiskinan, dan lainnya.
Di dalam sistem hukum Indonesia, perbuatan aborsi dilarang
dilakukan. Bahkan perbuatan aborsi dikategorikan sebagai tindak pidana.
Pelaku dan orang yang membantunya akan dikenai hukuman.
Argumen Agama
Agama-agama lebih cenderung mengikuti argument pro kehidupan
baik dalam pengertian mutlak maupun dengan syarat ketat. Kelompok pro
kehidupan mendasarkan pandangannya untuk membangun kesadaran dalam mencintai
kehidupan. Dasarnya, kehidupan perlu diselematkan, khususnya untuk menolong
mereka yang harapannya berada di ujung tanduk.
Ada harapan untuk dapat menikmati kehidupan yang indah dan luar
biasa yang direncanakan Tuhan bagi kebaikan ciptaan-Nya. Kelompok pendukung
pro life lebih mengedepankan moral dan etika bahwa untuk nyawa manusia, hanya
Tuhanlah yang mempunyai hak untuk mengambilnya kembali.
Janin memiliki hak hidup yang tidak boleh dirampas siapa pun,
bahkan termasuk oleh ibu yang mengandungnya. Karena itu, mereka berpendapat,
melakukan aborsi sama saja dengan melakukan pembunuhan.
Pembunuhan merupakan dosa yang sangat besar. Melegalisasikan
aborsi, dengan begitu, sangat bertentangan dengan nilai agama. Bahkan, tidak
ada satu pun ajaran agama yang melegalkan aborsi.
Dipahami bahwa dari sudut pandang legalitas, norma, budaya, dan
pandangan mengenai kehidupan, keberadaan aborsi berbeda-beda secara
substansial di berbagai negara. Namun yang jelas, isu aborsi sampai kini
tetap dianggap sebagai permasalahan menonjol dan kontroversinya kerap memecah
belah pendapat publik.
Janin dapat merasakan sakit bahkan selama trimester pertama
kehamilan. Atas keyakinan itu, aborsi dianggap menyakitkan bagi anak yang
belum lahir.
Kaum agamawan menilai aborsi sebagai suatu tragedi fatal yang
tersembunyi. Itulah mengapa aborsi kerap ditafsirkan sebagai tindakan yang
sama sekali tidak diperbolehkan. Kaum pro kehidupan menginginkan kehidupan
tetap dihargai sebagaimana Tuhan memberikan anugerah kehidupan itu sendiri.
Kembali kepada PP Kesehatan Reproduksi yang kontroversial di
atas. Ada baiknya dipertimbangkan ulang berbagai pertimbangan untuk
meminimalkan kontroversi di tengah publik. Pertimbangan sosial, budaya, etika
moral, dan agama perlu mendapatkan kajian lagi lebih mendalam agar bisa memutuskan
kebijakan yang lebih relevan bagi semua pihak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar