Keindonesiaan
dan Keislaman
Salahuddin Wahid ;
Pengasuh Pesantren Tebuireng
|
REPUBLIKA,
22 Agustus 2014
Artikel SW dengan topik dan judul yang sama telah dimuat di
KOMPAS 16 Agustus 2014
Dalam perjalananan Republik Indonesia selama 69 tahun, upaya
memadukan keindonesiaan dan keislaman sungguh menarik perhatian. Penuh dengan
dinamika dan masih terus mengalami proses.
Sejak sebelum pernyataan kemerdekaan, hubungan agama (Islam) dan
negara (Indonesia) menjadi masalah pelik. Itu terlihat kalau kita menyimak
persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 28 Mei hingga 22
Agustus 1945.
BPUPKI membentuk Panitia Sembilan yang dipimpin Bung Karno
membahas dasar negara. Panitia kecil itu berhasil merumuskan Piagam Jakarta
pada 22 Juni 1945 yang menjadi Pembukaan UUD. Pada 18 Agustus 1945 Rancangan
UUD itu rencananya disahkan dalam persidangan PPKI. Tetapi, pada 17 Agustus
1945 sore sekelompok pemuda yang mengaku mewakili umat Kristen dari Indonesia
Timur mendatangi Bung Hatta menyampaikan aspirasi mereka.
Mereka menyatakan, umat
Kristiani tidak akan bergabung dengan Republik Indonesia yang belum berusia
sehari. Sikap itu diambil karena Pembukaan UUD yang dikenal sebagai Piagam
Jakarta di dalamnya mengandung kalimat "Ketuhanan dengan kewajiban
menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya".
Esoknya Bung Hatta lalu mengadakan pertemuan dengan sejumlah
tokoh Islam yaitu Ki Bagus Hadikusumo,
KHA Wahid Hasyim, Mr Kasman Singodimedjo, dan Teuku Mohamad Hasan membahas
masalah rumit dan mendesak itu. Berminggu-minggu para tokoh pendiri bangsa
itu berdebat alot memilih Pancasila
atau Islam sebagai dasar negara. Dan akhirnya musyawarah menghasilkan titik
temu berupa dasar negara Pancasila dengan mencantumkan tujuh kata Piagam
Jakarta pada sila pertama, dan kini hasil musyawarah itu ditolak pada hal
esoknya harus disahkan.
Sungguh luar biasa tanggapan para tokoh Islam terhadap penolakan
itu. Dengan jiwa besar, penuh rasa tanggung jawab, semangat mendahulukan
kepentingan bangsa di atas kepentingan golongan Islam, mereka tidak ragu
segera mencoret tujuh kata Piagam Jakarta sehingga Pembukaan UUD berbunyi dan
tertulis seperti sekarang. Dan tindakan itu kemudian diterima tokoh-tokoh
Islam lain. Maka, langkah pertama memadukan Indonesia dan Islam berhasil
dilakukan tokoh-tokoh Islam.
Kementerian Agama.
Pemuka agama di kerajaan-kerajaan Islam seperti Demak dan Kudus
mempunyai pengaruh besar. Ki Ageng Pamanahan melantik putranya menjadi
penguasa Mataram dengan gelar Senopati Ingalaga Sayidin Panatagama yang
memberinya legitimasi kerohanian. Demikian pula Sultan-Sultan Mataram
lainnya. Penyatuan kekuasaan politik dan agama pada kerajaan di Jawa
khususnya Mataram, bukan hanya di tingkat pusat melainkan di tingkat lebih
bawah.
Salah satu lembaga yang diwarisi dari masa lalu yang tumbuh
subur di masa penjajahan Belanda, dikenal dengan
"kepenghuluan". Selain
mengawasi pernikahan, perceraian dan pembagian warisan menurut hukum Islam,
penghulu mempunyai kewenangan di bidang peradilan agama. Seorang penghulu
menangani berbagai persoalan masyarakat yang diputuskan berdasar hukum Islam
dan ia juga menjabat ketua pengadilan agama. Urusan agama di masa Belanda
ditangani beberapa instansi.
Pada masa Jepang, aturan-aturan yang berhubungan dengan urusan
keagamaan pada umumnya tidak mengalami banyak perubahan, selain membentuk Shumubu (Kantor Urusan Agama) sebagai
pengganti Kantoor der Adviseur voor
Inlandsche en Mohammedansche Zaken. Shumubu
bagian dari Gunsaikanbu (gubernur).
Berdasar pengalaman di pemerintahan Hindia Belanda dan Jepang,
Mr Mohammad Yamin dalam Sidang BPUPKI mengusulkan pembentukan Kementerian
Agama, tetapi ditolak. Pada persidangan PPKI, komite yang dipimpin Achmad
Subardjo mengusulkan kementerian tersebut, tetapi Latuharhary dari Maluku
mengusulkan masalah keagamaan ditangani Kementerian Pendidikan. Hanya 6 dari
27 anggota yang setuju pembentukan Kementerian Agama.
Dalam Sidang Pleno Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
November 1945, anggota KNI Banyumas KH Abu Dardiri dkk mengusulkan dibentuk
Kementerian Agama. Usul itu didukung banyak anggota KNIP. Bung Hatta setelah
mendapat isyarat setuju Bung Karno, menjawab usul itu akan mendapat perhatian
pemerintah.
Kementerian Agama merupakan langkah kedua memadukan keindonesiaan dan keislaman, yang
dimungkinkan terjadi berkat kebesaran jiwa anggota KNIP di luar kelompok
Islam. Pengadilan Agama yang semula di Kemenag pindah ke Mahkamah Agung dan
menjadi pengadilan kedua terbesar setelah Pengadilan Umum. Pendidikan Islam
yang sejak awal berada di bawah Kemenag dan pendidikan umum di Kemdikbud,
sampai hari ini belum bergabung.
Sayang sekali Kementerian Agama belakangan ini tercemar akibat
(dugaan) tindak pidana korupsi para pejabatnya termasuk menteri. Kalau
dilakukan perbaikan sungguh-sungguh, Kemenag akan menjadi kementerian yang
punya pesan strategis. Syaratnya: sang menteri harus bersih dan membersihkan,
paham masalah khususnya posisi agama di mata konstitusi, mampu berkomunikasi
secara baik dan berani bersikap. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar