Fairness
Equilibria
Adiwarman A Karim ;
Peneliti
di Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
|
REPUBLIKA,
25 Agustus 2014
Matthew Rabin, guru besar ekonomi Universitas
California Berkeley, merumuskan temuan menarik dalam risetnya yang berjudul “Incorporating Fairness into Game Theory
and Economics”. Dalam setiap transaksi memang ada kesepakatan yang
tercapai, namun kesepakatan itu tidak menjamin terpenuhinya rasa keadilan
para pihak yang bertransaksi. Menurut
beliau, dalam setiap transaksi sebenarnya ada dua kesepakatan yang harus
terpenuhi, yaitu kesepakatan pasar (market
equilibria) dan kesepakatan rasa keadilan (fairness equilibria).
Lihatlah kesepakatan antara perusahaan besar
yang mengeksploitasi pelanggan kecil, yang karena tidak ada pilihan lain
harus menerima kesepakatan pasar. Namun pelanggan kecil ini merasa tidak
nyaman dengan kesepakatan itu. Dalam rumusan Rabin, kesepakatan jenis ini
tidak bersifat stabil, bahkan cenderung rapuh. Ibarat bom waktu yang menunggu
munculnya pilihan lain yang dapat memberikan kesepakatan rasa keadilan.
Cassar, Friedman, Schneider, masing-masing
guru besar ekonomi di Universitas San Francisco, Universitas California Santa
Cruz, Universitas Mount Holyoke, memberi peringatan bahaya tidak terpenuhinya
rasa keadilan ini. Dalam riset mereka yang berjudul “Cheating in Markets”, menyimpulkan volume perdagangan akan
menyusut bila salah satu pihak merasa dicurangi.
Pelanggan yang tidak mempunyai pilihan lain
yang lebih baik, akan mengurangi volume transaksi pada jumlah kebutuhan
minimal. Pada saat mereka memiliki pilihan lain, yang kadang belum tentu
lebih baik, mereka akan pindah. Bagi mereka lebih baik meninggalkan yang
sudah jelas tidak memberikan rasa keadilan, dan mencoba peruntungannya pada
pilihan yang baru.
Ketika para sahabat Rasulullah SAW di Madinah
menyampaikan keluh kesah karena keuntungan mereka tidak sebesar keuntungan
pedagang Yahudi yang menjual dengan mengurangi berat timbangan, Rasulullah
SAW malah menasehati para sahabat untuk menambahkan berat timbangan. Maka
tampaklah beda yang nyata di antara timbangan para pedagang itu.
Para pembeli tentu saja memilih pedagang yang
timbangannya lebih berat. Membalas keburukan dengan kebaikan malah menegaskan
perbedaan kesepakatan rasa keadilan. Dominasi pedagang Yahudi di Madinah
dapat dipatahkan dalam tempo dua tahun.
Kesepakatan pasar tanpa adanya kesepakatan rasa keadilan bagaikan telur
di ujung tanduk.
Kyle Bagwell dan Robert Staiger, guru besar
ekonomi di Universitas Columbia dan Universitas Wisconsin Madison dalam
risetnya berjudul “Protection and the Business Cycle”, menjelaskan proteksi
yang dilakukan satu negara akan mengundang tindakan balasan yang sama dari
negara mitra dagangnya. Bila proteksi dibalas proteksi, maka volume
perdagangan akan semakin menyusut.
Mereka juga merumuskan sifat counter cyclical kebijakan proteksi.
Di zaman Umar bin Khattab RA, negara Persia
pernah mengenakan tarif perdagangan 5 persen untuk barang-barang yang berasal
dari wilayah kekhalifahan Islam, sedangkan Romawi mengenakan 10 persen. Maka,
Umar ra menetapkan tarif masuk 5 persen untuk barang Persia dan 10 persen
untuk Romawi. Kecenderungan untuk
membalas perlakuan yang tidak memenuhi kesepakatan rasa keadilan itu sangat
manusiawi, bahkan kadang dipandang sebagai upaya mencari kesepakatan rasa
keadilan yang baru.
Profesor Struat Green, dalam bukunya Lying, Cheating, and Stealing,
menjabarkan satu persatu perilaku menyimpang dan motivasi pelakunya. Seberapa
besar kemungkinan terungkapnya kecurangan, tingkat kesulitan pembuktian,
seberapa berat sanksi bila terbukti melakukan kecurangan, seberapa besar
keuntungan yang diperoleh dari kecurangan merupakan beberapa faktor yang akan
dipertimbangkan.
Berdasarkan pertimbangan hal-hal itu pelaku
akan memilih salah satu atau kombinasi dari perilaku menyimpang curang (cheating), khianat (deception), curi (stealing), paksaan (coercion),
tidak setia (disloyalty), ingkar
janji (promise breaking), dan
ketidakpatuhan (disobedience).
Sistem ekonomi yang memiliki banyak celah yang
membuka terjadinya perilaku menyimpang akan membentuk budaya melanggar
peraturan, termasuk budaya berdamai dengan kenyataan budaya curang. Bayangkan apa yang akan didapat seorang
yang taat antre ketika harus bersaing dalam komunitas yang saling rebutan.
Benturan antara nilai budaya "antri, semua pasti dapat" dengan
budaya "siapa cepat dia dapat".
Itu sebabnya, Avner Ben Ner dan Louis Putterman,
guru besar ekonomi Universitas Minnesota dan Universitas Brown, menuliskan
riset mereka, “Values Matter” yaitu nilai-nilai yang diyakini seseorang
menentukan perilaku ekonominya, dan selanjutnya membentuk budaya ekonomi
masyarakat. Membiarkan market
equilibria tanpa adanya fairness
equilibria ibarat membangun rumah pasir di tepi pantai.
Muhammad Diyab al Itlidy, dalam kitabnya I'lam al Nas bi Ma Waqa'a lil Baramikah,
mengisahkan betapa hebatnya nilai-nilai ekonomi yang diyakini para sahabat Rasulullah
SAW ketika mereka melakukan penjaminan individu (personal guarantee).
Ini kisah ketika seorang pedagang dari negeri
yang jauh menjadi terdakwa kasus pembunuhan di Kota Madinah di zaman khalifah
Umar bin Khattab RA. Faktanya, si terdakwa kedapatan bersama seorang penduduk
Madinah yang mati terbunuh. Tidak ada saksi dan bukti yang meringankan
terdakwa. Tidak ada pilihan lain bagi Umar Ra kecuali menjatuhkan hukuman
mati bagi terdakwa.
Si pedagang dengan pasrah menerima hukuman
tersebut, sambil berkata, "Ya,
Amirul Mu'minin, izinkan aku untuk kembali ke negeriku untuk mengembalikan
barang dagangan titipan orang yang ada padaku ini. Aku tidak mau menjadi
orang yang khianat atas amanah ini. Dan izinkan pula untuk menemui keluargaku
agar mereka tidak bertanya-tanya tentang keadaanku. Dalam masa tiga hari aku akan kembali ke
sini".
Umar Ra berkata, "Hanya akan kuizinkan bila ada seorang dari penduduk Madinah
yang mau menjadi penjaminmu. Seorang yang mau menggantikanmu dihukum mati
bila ternyata nantinya engkau tidak kembali lagi ke sini."
Dihampirinya satu per satu yang hadir dengan
penuh harap untuk menjadi penjaminnya, padahal tidak satupun yang dikenal
atau mengenalnya. Pada saat kritis itulah Abu Dzar al Ghifari secara
mengejutkan mengajukan dirinya menjadi penjamin.
Selama tiga hari Madinah diliputi kegusaran
dan kegundahan menanti waktu yang ditentukan. Ketika akhirnya ia datang, Umar
Ra bertanya, "Mengapa engkau kembali lagi, bukankah engkau dapat
melarikan diri dari hukuman mati ini?" Ia menjawab, "Karena aku
tidak ingin orang-orang mengatakan sikap menepati janji telah hilang dari
hati manusia." Umar lalu bertanya akan sikap nekat Abu Dzar, ia
menjawab, "Karena aku tidak ingin orang-orang mengatakan sikap derma dan
kebaikan telah hilang dari hati manusia." Keluarga korban pun
memaafkannya, dan Umar RA bertanya alasannya, mereka menjawab, “Karena kami
tidak ingin orang-orang mengatakan sikap memaafkan telah hilang dari hati
manusia." ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar