Pentingnya
Power Sharing
Ardi Winangun ; Pengamat Politik
|
HALUAN,
26 Agustus 2014
Artikel AW ini telah dimuat di OKEZONENEWS 22 Agustus 2014
Pemenang Pemilu
Presiden, Jokowi, sudah ancang-ancang membentuk susunan para pembantunya,
menteri. Untuk mencari siapa orang yang cocok dan layak membantu Jokowi,
pria asal Solo, Jawa Tengah, itu membentuk Tim Transisi. Kepada orang-orang
yang berada di tim itulah, Jokowi meminta masukan dan saran.
Sebagai orang yang berpikiran
sederhana namun Jokowi mempunyai pendirian yang idealis. Jauh-jauh hari
sebelum Pemilu Presiden dilakukan, ia berkoar-koar bahwa koalisi yang
dibangun adalah koalisi tanpa syarat. Jadi tak ada syarat bila partai politik
hendak berhimpun untuk mendukung dirinya dalam Pemilu Presiden. Bila ada
partai politik yang menyodorkan berapa menteri yang diinginkan,
sebagai syarat dukungan, pastinya tawaran itu akan ditolak. Dengan prinsip
itu, maka banyak partai politik yang enggan melabuh kepadanya.
Syarat yang demikian, oleh
Jokowi akan diperketat dengan ‘aturan’ bahwa menteri yang kelak masuk
dalam kabinetnya tidak boleh merangkap jabatan sebagai strategis di partai
politik. Jadi kelak tidak ada menteri yang sekaligus ketua umum, sekretaris
umum, atau jabatan penting lain di partai politik.
Apa yang diinginkan dan
diharapkan Jokowi itu bagus. Dengan demikian para menteri akan serius
mengurus bidangnya tanpa dibebani oleh urusan-urusan lain. Seperti di masa
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, banyak menteri yang merangkap sebagai
ketua umum dan pengurus penting lain di partai politik sehingga selain
mengganggu kinerja juga menjadikan kementerian itu menjadi sapi perahan untuk
mendanai kegiatan dan aktivitas partai politiknya. Akibat yang demikian
beberapa menteri tersandung masalah korupsi.
Namun benarkah Jokowi akan
seidealis itu? Kalau kita lihat, Jokowi adalah Walikota Solo yang sukses.
Berkat blusukan dan gaya kepemimpinannya di kota itu, dirinya mendadak
popular hingga menarik banyak orang atas dirinya. Kepopularannya itu membuat
dirinya melesat menjadi Gubernur Jakarta hingga akhirnya menang dalam
Pemilu Presiden versi KPU.
Tetapi kalau kita cermati
dengan saksama, pengalaman Jokowi dalam masalah urusan pemerintahan dan
politik masih dalam lingkup yang sempit atau belum banyak pengalaman sehingga
kadang-kadang ia menggampangkan masalah dengan pengalaman dan idealismenya
itu. Lihat saja ketika ia berkampanye di Pemilukada Jakarta yang lalu, dalam
soal banjir ia mengatakan, problem macet dan banjir di Jakarta kelihatannya
nggak sulit-sulit amat untuk diatasi.
Bila ia mengatakan hal
demikian tentu masalah banjir dan macet bisa terurai saat ini namun buktinya
Jakarta tetap banjir dan macet hingga saat ini. Jokowi mengatakan demikian
karena ia mempunyai pengalaman saat memimpin Kota Solo, tapi masalahnya
Solo kan bukan Jakarta.
Dengan modal pengalaman
dalam lingkup kecil untuk menyelesaikan masalah yang lebih besar tentu hal
demikian tidak akan bisa mengatasi masalah. Meski demikian Jokowi tetap pede
dan idealisme. Bila ia masih pede serta idealisme tetapi dalam realitasnya
tidak sesuai dengan hal yang demikian maka akan ada respons sebaliknya dari
masyarakat.
Dalam menyusun kabinet
para menteri, sepertinya Jokowi masih menggunakan pengalaman di Solo dan
Jakarta. Bila demikian pasti akan menimbulkan masalah bagi partai politik
pendukungnya. Sebagai partai politik pendukung tentu PDIP, Nasdem, PKB,
Hanura, dan PKPI ingin mendapat jatah yang layak dan adil dalam
bagi-bagi kekuasaan. Hal itu wajar sebab mereka sudah bersusah payah dan
mengorbankan seluruh kekua tannya untuk memenangkan Jokowi. Selain itu
bagi-bagi kekuasaan dalam politik adalah hal yang wajar dan bukan suatu hal
yang tabu, aib, atau memalukan.
Wajar bila PKB ingin
mendapat jatah Menteri Agama sebab PKB memiliki sumber daya manusia untuk
mengurusi masalah itu, sudah berpengalaman dalam soal agama dan
masalah-masalah yang ada. Wajar juga PKB meminta jatah menteri karena ia
sudah bekerja keras untuk Jokowi. Jadi PKB layak mendapat kue kekuasaan.
Bila permintaan PKB itu
ditanggapi Jokowi dengan santai atau bahkan tidak menggubris tentu hal
demikian akan membawa masalah ke depan bagi kelanggengan kekuasaannya.
Jokowi tidak tanggap dalam
menanggapi aspirasi partai politik pendukungnya bisa jadi seperti alasan di
atas bahwa ia terlalu pede, idealisme, dan pengalaman yang kurang dalam
politik dan masalah-masalah yang lebih besar yang dihadapi. Sifat-sifat yang
demikian membuat ia menggampangkan masalah.
Agar koalisi pendukung
Jokowi tidak pecah maka Tim Transisi atau orang-orang di sekitar Jokowi harus
bisa menjadi ‘guru’ dan ‘penasehat,’ agar Jokowi lebih aspiratif dalam soal
menteri. Susilo Bambang Yudhoyono yang sudah akomodatif terhadap partai
politik yang mendukungnya dengan memasukan ketua umum partai menjadi
menteri saja masih digoyang-goyang oleh DPR, apalagi kalau tidak mengakomodir
mereka.
Kabinet Ahli yang diinginkan
Jokowi itu bagus namun kondisi demikian bisa terjadi bila kekuasaan itu
otoriter. Jaman Presiden Soeharto, para menterinya adalah orang-orang yang
ahli sebab kursi di DPR dikuasai penuh, lembaga negara lain dikendalikan,
dan pers ditutup kebebasaannya.
Jokowi membentuk kabinet
ahli murni 100 persen adalah sebuah mimpi dan angan-angan idealisme saja.
Untuk itu Jokowi penting mengakomodir kekuatan partai politik dalam kekuasaannya.
Banyak orang yang pintar dan ahli dari partai politik. Dan dengan adanya
bagi-bagi kekuasaan maka stabilitas politik lebih terjaga. Untuk itu Jokowi
harus lebih luwes dalam soal para menteri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar