Selasa, 26 Agustus 2014

Jati Diri Bangsa Maritim

Jati Diri Bangsa Maritim

Muhammad Arief Rosyid Hasam  ;   Ketua Umum PB HMI
REPUBLIKA, 25 Agustus 2014
                                                


Jika betul kita ingin mencapai kehormatan dan kesejahteraan sebagai bangsa berdaulat, inilah saatnya memusatkan perhatian pada pembangunan maritim. Bukan hanya demi meningkatkan daya tahan dan daya saing kita di tengah dinamika bangsa-bangsa, juga karena lautan memiliki kekayaan yang sangat melimpah dan telah lama terabaikan.

Hampir 8 juta km persegi luas Tanah Air Indonesia, 70 persen bagiannya adalah lautan. Inilah negara maritim terbesar dengan potensi keanekaan hayati lautan paling kaya di muka bumi. Apalagi didukung posisinya di titik persinggungan pelayaran global, jika dikelola dengan baik, akan menjadi sumber kekuatan geopolitik dan geoekonomi bagi bangsa ini.

Rokhmin Dahuri (2012) menyebut, dari sedikitnya 10 sektor ekonomi maritim yang dapat dikembangkan, termasuk perikanan, energi, pariwisata, dan perhubungan, memiliki total nilai ekonomi hingga 1,2 triliun dolar AS, setara dengan tujuh kali APBN 2014. Kesempatan kerja yang bisa dihidupkan dari seluruh sektor ini mencapai 50 juta orang, atau sekitar 42 persen dari total angkatan kerja saat ini.

Potensi ekonomi ini sekian lama terabaikan karena pembangunan kewilayahan dan SDM bangsa kita bertumpu pada pemenuhan kebutuhan daratan (land-base oriented), dan meninggalkan kebutuhan lautan (sea-base oriented). Kekeliruan ini telah dimulai sejak dalam pikiran, dengan mengatakan Tanah Air kita sebagai wilayah lautan yang ditaburi pulau-pulau, saat kenyataan menunjukkan sebaliknya.

Dahulu Presiden Soekarno yang memang mendalami sejarah menunjukkan keberpihakan besar pada pembangunan maritim. Dengan dukungannya, Perdana Menteri Djuanda mendeklarasikan Wawasan Nusantara, yang menghimpun wilayah republik hingga sebesar saat ini. Namun wawasan tersebut tak dilanjutkan pemerintahan yang menggantikannya, yang hingga saat ini tetap bangga melaksanakan pembangunan berdasar land-based oriented yang dipandu dana bantuan luar negeri.

Hasilnya kebijakan politik-ekonomi kita berupa alokasi anggaran negara, dana perbankan, pembangunan infrastruktur, dan pembangunan manusia tak lagi ditujukan pada pemanfaatan potensi kepulauan, pesisir pantai, dan kelautan. Sehingga pergerakan ekonomi-sosial-politik hanya tak merata ke seluruh wilayah kepulauan Indonesia, namun berputar-putar di daratan, terutama di pulau Jawa.

Pembangunan bangsa maritim

Untuk mengembalikan orientasi pembangunan maritim, yang pertama dibutuhkan adalah manusia-manusia yang akan mendukungnya. Barangkali kita perlu membangun "manusia baru" Indonesia dengan kesadaran, pengetahuan, dan kemampuan yang memadai untuk mengolah potensi laut yang demikian besar.

Wawasan kelautan perlu disuntikkan ke kurikulum sekolah tingkat dasar hingga menengah. Sekolah-sekolah tinggi dengan kurikulum kelautan perlu diperkuat. Negara Tiongkok yang hanya seperempat wilayahnya lautan saja, mendirikan universitas maritim di tiap provinsi yang wilayahnya berhubungan dengan laut, mengapa kita tidak?

Lebih besar lagi, kita perlu pengembangan kebudayaan khususnya bagi generasi muda agar memiliki wawasan dan bangga jika bekerja di profesi maritim. Butuh media dan kampanye berkelanjutan untuk menggugah kesadaran bangsa tentang kemegahan potensi lautan kita, baik untuk kebutuhan industri maupun pertahanan wilayah.

Pengembangan kebudayaan tentu memerlukan waktu yang tak sebentar. Perlu juga kita menetapkan sebuah landasan politik yang kukuh dan relevan dengan visi maritim. Landasan politik ini merupakan jaminan bagi kemantapan dan keberlanjutan pemerintahan pusat maupun daerah dalam visi pembangunan maritim. Visi tersebut perlu dilanjutkan dalam bentuk kebijakan dan program aksi pemerintahan. Sinergi kelembagaan perlu dibangun untuk memadukan berbagai aspek dan menghilangkan sektoral seperti terjadi selama ini.

Untuk memandu luasnya cakupan pembangunan maritim, barangkali pemerintah ke depan memerlukan sebuah kementerian koordinator bidang maritim. Kemenko ini perlu untuk menyelaraskan kebijakan lintas sektor, termasuk perikanan, perhubungan, kewilayahan, industri, pariwisata, dan energi kelautan. Seperti Bung Karno di tahun 60-an menunjuk Ali Sadikin membawahi menteri koordinator urusan maritim.

Sehingga pembangunan maritim Indonesia bukan sekedar visi satu pemerintahan, namun keniscayaan bagi siapa pun yang memimpin negara maritim ini di masa mendatang. Seluruh potensi perlu digerakkan untuk menghidupkan kembali daya maritim, sehingga sanggup mengarungi bahtera bangsa dalam arus besar persaingan mondial.

Kerja besar sedang menunggu. Hingga di masa depan, tumbuh pusat-pusat pertumbuhan baru yang tak lagi berkisar di kota-kota besar hari ini: Pangkalan Bun, Tanjung Pinang, Derawan, Miangas, Flores, Morotai, Sorong, dll. Inilah janji bagi kemajuan di masa depan, yang perlu sama-sama kita buktikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar