Bekerja
untuk HAM
Haris Azhar ;
Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI;
Anggota Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah
|
KOMPAS,
23 Agustus 2014
KONSEP ngwongke, memanusiakan,
rakyat oleh Joko Widodo akan menarik diuji dalam konteks hak asasi manusia di
Indonesia setelah dia dilantik menjadi presiden pada Oktober nanti.
Ada empat cara melihat persoalan hak asasi manusia (HAM) di
Indonesia. Pertama, secara sosiologis, HAM kerap mendapat pelanggaran dan
dikerdilkan nilainya. Sepanjang sejarah kemerdekaan, Indonesia memiliki
pengalaman penderitaan dan perendahan martabat manusia serta kerugian hak
yang signifikan. Dimulai dari kekerasan, rekayasa peradilan, diskriminasi dan
stigma negatif, perampasan lahan dan perusakan lingkungan, hingga buruknya
akses publik (kesehatan dan pendidikan).
Laporan sejumlah otoritas HAM di PBB menggambarkan dengan baik
persoalan kemanusiaan di Indonesia. Dewan HAM PBB pada 2012 memberikan
sejumlah catatan, di antaranya soal ketiadaan perlindungan kelompok minoritas
agama dan keyakinan, buruknya kondisi pembangunan dan penegakan hukum serta
keamanan di Papua, dan ketiadaan keadilan atas kasus pelanggaran HAM pada
masa lalu.
Komite HAM PBB (2013) yang bertugas melakukan evaluasi atas
kinerja Indonesia dalam hak sipil dan politik antara lain menyatakan bahwa
negara harus menuntaskan kasus Munir. Komite juga menyimpulkan ada persoalan
ketakpahaman konsep hak sipil dan politik pada banyak pejabat dan penegak
hukum di Indonesia. Komite Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ekosob) pada Juni
lalu menyebutkan, pembangunan pelayanan sosial di daerah tertinggal dan
kepulauan kecil sangat memprihatinkan.
Tanpa koreksi tanpa malu
Kedua, secara psikologis keadilan. Sejarah pelanggaran HAM jauh
lebih konsisten berulang daripada upaya penyelesaiannya di Indonesia. Situasi
ini membuat korban secara jumlah terus bertambah. Jumlah manusia Indonesia
yang harus disiksa dalam proses hukum perlahan-lahan meningkat. Tanah adat
kian dikuasai sektor bisnis sumber daya alam. Ibu meninggal dalam proses
kelahiran masih tertinggi di Asia Tenggara. Penderitaan dan kerugian
kemanusiaan semakin terinstitusikan, bahkan dianggap sebagai takdir orang
lemah atau orang miskin. Hal ini berbanding kontras dengan kondisi para
pelaku dari kalangan penguasa dan pengusaha. Mereka semakin kaya, mendominasi
dan terus bebas di ruang publik tanpa koreksi dan tanpa malu.
Klaim pertumbuhan ekonomi oleh pemerintah hari ini pada kisaran
5 persen hingga 6 persen per tahun menjadi tidak relevan buat orang miskin
ekonomi dan miskin keadilan. Akibatnya, bagi korban dan masyarakat,
kepercayaan pada institusi negara sangat rendah. Masyarakat mengalami
inferioritas dari sisi politik. Keadilan dan partisipasi bisa berujung pada
amuk seperti dalam beberapa pengalaman di pengadilan, petisi, media sosial,
atau demonstrasi. Dari sisi ekonomi, masyarakat mengalami kemiskinan
turun-temurun dan mendapat pendidikan yang rendah.
Ketiga, secara konstitusi dan hukum. Hukum di bidang HAM sudah
ada sejak era reformasi, tetapi belum dijadikan sumber rujukan bagi
perlindungan dan pemenuhan HAM. Dalam ikatan konstitusional itu dijelaskan,
kewajiban negara adalah memastikan terpenuhinya hak-hak asasi, seperti
nondiskriminasi, hak atas pangan, hak atas kesehatan, dan hak atas rasa aman.
Negara juga diwajibkan melakukan tindakan pemulihan (legal,
sosial, dan ekonomi) secara progresif, baik dalam jangka panjang maupun untuk
urusan mendesak. Aturan ini juga memastikan adanya partisipasi masyarakat
sebagai upaya kontrol kepada pemerintah.
Keempat, cara edukatif. Dalam sejumlah sentimen dan pandangan,
hukum dianggap sebagai tindakan balas dendam. Sesungguhnya hukum tidak semata
soal balas dendam. Ada banyak aspek di balik upaya penegakan hukum, misalnya
soal kewibawaan otoritas negara menarik garis batas yang boleh dan yang tidak
boleh dalam sebuah hidup bersama, yang dimaksud (pelanggaran) HAM, yang
dimaksud kekerasan atau pelecehan, yang dimaksud dengan penegakan hukum,
serta cara menjamin hak tanah adat masyarakat.
Sikap tegas negara
Sikap tegas negara akan menandakan negara hadir dengan segala
kondisi, saat menguntungkan ataupun situasi penuh risiko. Dalam terminologi
HAM, hal ini dikenal sebagai ”pengakuan negara” terhadap masalah yang ada,
seberat apa pun. Kemudian, negara memimpin upaya penyelesaian secara adil dan
terbuka sehingga semua pihak bisa melihat dan berpartisipasi secara baik.
Sikap ini akan memberi pelajaran untuk berani jujur membuka persoalan yang
ada, taat pada hukum untuk menyelesaikannya, dan menjunjung tinggi nilai di
balik hukum tersebut: soal kemanusiaan.
Bagaimana memulainya? Untuk urusan HAM, yang dibutuhkan Joko
Widodo hanya implementasi. Sejumlah prinsip penting diperhatikan. Pertama,
prinsip ketersediaan: Joko Widodo harus memenuhi sumber dan infrastruktur
memfungsikan program-tindakan di bidang hak asasi (sesuai janji konstitusi),
seperti hak atas pangan, akses keadilan, perlindungan properti masyarakat
adat. Kedua, prinsip dapat diakses: sumber dan infrastruktur serta tindakan
negara berlaku dan dapat diakses semua pihak secara nyaman, apa pun risikonya
bagi Joko Widodo dan pendukung politiknya.
Prinsip berikutnya adalah penerimaan: tindakan pemenuhan hak
asasi diupayakan sesuai dengan konteks sosial, situasi yang ada, dan
memperhatikan kapasitas sumber daya tanpa harus mengurangi hak-hak yang
fundamental. Terakhir adalah prinsip kesesuaian: praktik dan kebijakan
pemerintah patut mampu mengikuti tuntutan perkembangan dan kebutuhan ideal
dalam masyarakat ataupun komunitas (Landman
and Carvalho, 2010).
Kita akan lihat nanti apakah Indonesia akan bergerak maju dalam
HAM bersama Joko Widodo. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar