Bank
Pertanian
Krisna Wijaya ;
Praktisi dan Pengamat Perbankan
|
KOMPAS,
23 Agustus 2014
PERHATIAN terhadap perlunya sebuah bank yang fokus membiayai
sektor pertanian sudah sering diwacanakan. Sebelum menjawab bagaimana
sebaiknya pengelolaan pembiayaan untuk sektor pertanian di Indonesia, ada
baiknya kita melihat bagaimana negara lain melakukan keberpihakan pada sektor
pertanian dalam pembiayaan. Salah satu yang paling akurat dan relevan adalah
menyimak kesuksesan yang dicapai Agricultural
Bank of China (ABC).
Keberhasilan ABC yang fokus pada sektor pertanian memang
termasuk spektakuler. Pada 2014, ABC berhasil menduduki peringkat keempat di
Tiongkok dan peringkat ketujuh dunia dengan total aset per Desember 2013
sebesar 2.470,43 miliar dollar AS. Posisi kreditnya sekitar 1.225,58 miliar
dollar AS atau sekitar 49,61 persen dari total aset.
Kinerja ABC selama tiga tahun terakhir (2011-2013) mampu
mempertahankan tingkat non- performing loan (NPL) yang rendah, yaitu pada
kisaran rata-rata 1,3 persen, dan memperoleh net interest margin (NIM)
rata-rata pada kisaran 2,80 persen. Menurut Xiang Junbo (2011), keberhasilan
ABC dari sisi perbankan karena ABC berusaha fokus dalam bisnisnya. Karena
sudah fokus menyebabkan ABC mudah untuk melakukan inovasi produk, mengelola
risiko menjadi lebih terukur, dan melakukan penerapan good corporate
governance yang dilaksanakan secara konsisten.
Dua gagasan
Dengan menyimak keberhasilan ABC, pertanyaannya adalah apakah
model seperti itu dapat diterapkan di Indonesia? Kalau kita akan langsung
meniru ABC, tampaknya masih jauh karena diperlukan adanya reformasi di bidang
pertanian dan agraria. Namun, sekadar merintis tentunya tidak ada kata
terlambat. Untuk itu, ada gagasan yang barangkali yang dapat dikaji lebih
lanjut.
Pertama, cara paling mudah adalah dengan menyatukan portofolio
kredit pertanian dengan kolektabilitas lancar di semua bank pemerintah untuk
kemudian dikelola oleh salah satu bank milik pemerintah lainnya yang paling
banyak berpengalaman di sektor pertanian. Penyatuan pengelolaan kredit sektor
pertanian tersebut mencakup kredit mikro, usaha kecil dan menengah, serta
kredit korporasi.
Karena tidak semua kredit sektor pertanian berkolektabilitas
lancar, di semua bank pemerintah dibentuk unit khusus untuk menampung
kredit-kredit bermasalah di sektor pertanian. Tugas utama unit kerja tersebut
adalah melakukan penyehatan kredit sehingga apabila sudah kembali lancar,
bisa dipindahkan. Karena semua kredit bermasalah tidak memungkinkan lancar
kembali, sisanya akan tetap dikelola bank yang bersangkutan.
Agar bank pemerintah yang mendapatkan penugasan tersebut
benar-benar fokus ke sektor pertanian, kredit-kredit nonpertaniannya
dipindahkan ke bank pemerintah lainnya. Ini dimaksudkan selain memindahkan
portofolio kredit nonpertanian, juga agar tidak lagi terjadi ”perang saudara”
di antara bank pemerintah seperti yang terjadi sekarang ini. Jadi, setiap
tiap bank pemerintah mempunyai fokus bisnis secara sektoral yang berbeda.
Kedua, melakukan penggabungan semua bank syariah milik bank
pemerintah dalam sebuah bank syariah, katakanalah namanya Bank Syariah
Nasional Indonesia (BSNI). Bersamaan dengan penggabungan itu, secara bertahap
dilakukan reorientasi fokus bisnis karena BSNI harus fokus ke sektor
pertanian. Adanya BSNI jelas memberikan fleksibilitas bagi nasabah: apakah
akan memilih bank konvensional atau syariah.
”Solusi antara”
Dengan memperhatikan kedua gagasan tersebut, dapat dikatakan
bahwa hal itu merupakan ”jalan pintas” atau ”solusi antara” untuk menciptakan
cikal bakal bank pertanian. Untuk melaksanakannya tidak harus menunggu
perubahan Undang-Undang Perbankan dan juga tidak menyimpang dari berbagai
regulasi perbankan, baik secara domestik maupun internasional.
Sangat pasti masih banyak lagi gagasan lain yang lebih baik.
Harus diakui bahwa gagasan tersebut juga bukan merupakan hal yang baru.
Justru akan menjadi hal yang baru kalau dapat diwujudkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar