Mendobrak
Kebiasaan, Meraih Mimpi
Amanda Putri Nugrahanti ;
Wartawan Kompas
|
KOMPAS,
22 Agustus 2014
DI ruang seluas 2,5 meter x 3 meter di Canden, Kota Salatiga,
Jawa Tengah, kakak beradik Arfi’an Fuadi (28) dan M Arie Kurniawan (23)
beserta timnya mendesain ”jet engine bracket”, salah satu komponen pengangkat
mesin pesawat. Desain ini keluar sebagai juara pertama dalam kompetisi desain
tiga dimensi yang diadakan General Electric dan GrabCAD. Mereka mengalahkan
kompetitor yang bertitel doktor dan lulusan universitas terkemuka dunia.
Ini adalah kali pertama dua putra dari pasangan Akhmad Sya’roni
dan Arumi ini mengikuti lomba, tetapi tanpa diduga mereka keluar sebagai
juara pertama. Mereka mengalahkan para peserta dari 56 negara dengan total
700 desain.
Arfi’an dan Arie dapat membuat desain yang jauh lebih ringan 84
persen, dari 2 kilogram pada komponen asli menjadi hanya 327 gram.
Namun, semua itu mereka raih bukan secara instan. Semuanya
melalui perjuangan panjang mereka bergelut di dunia design engineering.
Bertahun-tahun sebelum mengikuti lomba, mereka sudah dipercaya banyak
perusahaan asing untuk mendesain berbagai produk. Salah satu desain yang
mereka buat adalah pesawat ringan (ultralight aircraft) untuk sebuah
perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat (AS).
Semua bermula ketika Arfi’an lulus dari SMK Negeri 7 Semarang
tahun 2005 dan mencoba berwirausaha. Banyak hal dia lakukan demi memenuhi
kebutuhan hidup, mulai dari berjualan susu segar keliling Kota Semarang,
menjaga tambal ban, menjaga bengkel, hingga menjadi tukang cetak foto. Hingga
tahun 2009, dia bekerja di Kantor Pos sebagai penjaga malam.
”Walaupun saat itu hanya menjadi penjaga malam, saya punya mimpi
yang besar. Saya tak mau hidup begini-begini saja. Saya ingin berbuat sesuatu
yang bisa mengubah hidup saya dan keluarga,” kata Arfi’an.
Gaji pertamanya di Kantor Pos digunakan untuk membeli komputer
bekas senilai Rp 1,5 juta. Itu pun masih ditambah dari tabungan ayahnya dan
kebaikan hati kerabatnya yang memberi hard disk bekas. Memiliki komputer saat
itu adalah kemewahan baginya. Sebelumnya, Arfi’an belajar menggunakan
komputer dengan meminjam komputer milik sepupunya.
Karena kerjanya bagus, dia mulai dipercaya menjadi petugas di
loket pengiriman. Sambil bekerja, Arfi’an, yang menyenangi dunia desain sejak
kecil, mencoba-coba mengakses situs freelance. Ada banyak proyek yang
ditawarkan di situs tersebut. Dia mulai memberanikan diri menggarap proyek
yang ditawarkan.
Fokus pada proyek
Seiring waktu, pekerjaan pun semakin banyak berdatangan. Arfi’an
memberanikan diri untuk fokus pada pekerjaan barunya di dunia desain dan
memutuskan keluar dari Kantor Pos.
Hampir semua proyek yang ditawarkan dia sanggupi. Mulai dari
mendesain gantungan kunci, kaus tangan, anting-anting, sasis mobil, engine
bracket, hingga pesawat ringan. Hingga kini, setidaknya 150 proyek sudah dia
kerjakan bersama adiknya.
Arie, si adik, yang lulus dari SMK Negeri 2 Salatiga, juga
tertarik mengikuti jejak kakaknya. Mereka mendirikan DTECH-ENGINEERING, usaha
jasa desain dan engineering. Karena banyaknya proyek yang harus digarap,
mereka lalu mempekerjakan dua orang untuk membantu proses riset dan desain.
Apa yang mereka alami tak selalu mulus. Tahun 2012, Arfi’an dan
Arie ditipu seorang pemberi proyek dari AS. Proyek mereka diterima, tetapi
pembayaran tidak juga dilakukan.
Meski demikian, hal itu tidak menyurutkan langkah mereka. Tahun
2013, Arfi’an bekerja sama dengan warga AS menggarap proyek Coco Pen, pulpen
eksklusif yang dibuat dari aluminium solid dan batok kelapa. Produksinya
dilakukan di Salatiga.
Mereka menjual produk tersebut di www.kickstarter.com dalam
jumlah terbatas. Target mereka hanya memproduksi 500 Coco Pen dan kini
sekitar 300 Coco Pen sudah terjual ke seluruh penjuru dunia dengan harga
79-99 dollar AS per unit.
Selain itu, mereka juga membuat Puter Pen, pulpen dari titanium
yang dibuka dengan cara diputar. Berbeda dengan Coco Pen, penutup Puter Pen
tak akan dapat terlepas dari badannya. Keduanya merupakan produk kerajinan
tangan dan eksklusif yang dibuat oleh dua tenaga kerja mereka.
Membangun rumah
Hasil kerja keras mereka sudah dirasakan dampaknya. Mereka bisa
membangun rumah untuk orangtua yang sebelumnya berdinding kayu dan atapnya
bocor. Mereka juga membeli mobil dan lahan untuk membangun kantor
DTECH-ENGINEERING serta tempat untuk membuat Coco Pen, Puter Pen, dan produk
lainnya.
”Awalnya, kami melakukan
ini semua untuk memenuhi kebutuhan hidup, tetapi kini uang bukan lagi yang
utama. Saya tertantang mempelajari hal baru, membuat hal baru, dan mendapat
informasi baru. Betapa banyak peluang dan kesempatan di pasar global yang
bisa kita raih kalau mau berusaha,” kata Arfi’an.
Dia mencontohkan saat sebuah perusahaan besar memintanya
menggarap proyek. Mereka dapat mempelajari strategi perusahaan tersebut,
bagaimana standar kualitas mereka, bagaimana kontrol mereka terhadap
produknya, termasuk bagaimana mereka memandang konsumen.
”Kami belajar banyak
sekali dari mereka. Perusahaan-perusahaan besar itu memiliki bagian riset dan
pengembangan sendiri. Namun, mereka kadang ingin mendapat opini kedua dari
pihak lain yang tidak terbelenggu rutinitas dan biasanya justru bisa
menghasilkan sesuatu yang baru,” ujar Arfi’an.
Melalui apa yang mereka lakukan, mereka ingin membuka mata anak
muda untuk mau berbuat sesuatu di luar kebiasaan. Kita bekerja tak harus di
kantor dan mendapat gaji bulanan layaknya pegawai. Asalkan memiliki kemauan
dan bekerja keras, mereka percaya apa pun dapat diraih.
”Modal kami awalnya hanya
keras kepala, mau belajar, dan anti mainstream,” kata Arie. Oleh karena itu, sejak tahun lalu, mereka membuka
kelas gratis bagi siapa pun yang ingin belajar mengenai design engineering atau mengenai pasar global. Anak muda pun
berdatangan ke rumah mereka.
Dari setiap proyek yang mereka garap, hanya satu proyek yang
dibuat untuk perusahaan lokal. Arie mengatakan, perusahaan di Indonesia masih
belum bisa menerima latar belakang mereka yang lulusan SMK, bukan perguruan
tinggi.
Kini, uang tidak lagi menjadi masalah, tetapi mereka tetap ingin
kuliah. Sekarang masalahnya justru waktu mereka yang habis untuk menggarap
pesanan.
”Tidak apa-apa, mungkin
jalan kami memang harus seperti ini. Oleh karena pasar lokal belum dapat menerima,
kami harus go global. Setelah itu, kami percaya, pasar Indonesia akan
mengikuti,” ujar Arfi’an. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar