Aborsi
Korban Pemerkosaan
Ainna Amalia FN ; Dosen Psikologi UIN Sunan Ampel
Surabaya,
Pengurus
Lembaga Kemaslahatan Keluarga NU Wilayah Jawa Timur
|
SINAR
HARAPAN, 29 Agustus 2014
Di tengah hiruk-pikuk penentuan komposisi kabinet Jokowi, ada
kasus lain yang juga hangat diperbincangkan, yaitu Peraturan Pemerintah (PP)
No 61/2014 tentang Kesehatan Reproduksi yang mengatur soal aborsi. Legalitas
aborsi bagi perempuan yang sedang hamil menuai pro kontra banyak kalangan.
Menurut PP ini, tindakan aborsi boleh dilakukan dengan alasan.
Pertama, adanya indikasi kedaruratan medis. Situasi darurat medis itu apabila
kehamilan yang terjadi dapat membahayakan jiwa ibu maupun janin yang dikandung
jika dia lahir kelak.
Kedua, kehamilan akibat pemerkosaan. Korban pemerkosaan yang
hamil berada dalam situasi darurat mentalnya. Mereka mengalami trauma
psikologis yang luar biasa akibat paksaan dalam hubungan senggama.
Sebagaimana bunyi Pasal 31 Ayat (2) PP No 61/2014, tindakan
aborsi akibat pemerkosaan hanya dapat dilakukan apabila usia kehamilan paling
lama berusia 40 (empat puluh) hari dihitung sejak hari pertama haid terakhir.
Dua alasan ini saya kira cukup logis untuk melegalkan aborsi
bagi perempuan yang hamil agar mereka mendapatkan proses aborsi yang bermutu,
aman, dan bertanggung jawab. Walaupun harus dengan pengawasan yang ketat,
agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang gemar melakukan seks bebas.
Selanjutnya muncul pertanyaannya, apakah PP ini juga memayungi
kehamilan karena pemerkosaan yang terjadi dalam pernikahan? Korban
pemerkosaan, baik itu oleh suami atau oleh orang lain, secara psikologis
mengalami trauma yang sama.
Pertanyaan saya ini cukup relevan. Sebab berdasarkan penelitian,
satu dari tiga istri pernah mengalami kekerasan seksual berupa pemerkosaan
oleh suaminya (Farha Ciciek, 1999:28). Suami memerkosa istri (marital rape)
itu berarti melakukan ancaman dan paksaan untuk berhubungan seksual tanpa
melihat dan mempertimbangkan kesediaan dan kesiapan istri.
Padahal, setiap istri berhak menjalani kehidupan seksual yang
sehat secara aman, tanpa ada paksaan dan diskriminasi, tanpa rasa takut,
malu, dan rasa bersalah. Bebas dari kekerasan fisik dan mental, bebas
mengatur kehamilannya, sehingga suami tidak punya hak monopoli seksual.
Hubungan seksual suami istri harus didasarkan pada kesetaraan
gender, tidak ada yang superior dan inferior. Semua sama-sama berkewajiban
untuk melayani dan memberikan pelayanan yang terbaik. Suami dan istri,
keduanya adalah pelayan bagi pasangannya masing-masing.
Dengan demikian, seorang suami harus memegang prinsip mu'asyarah
bil maruf, anjuran berbuat baik kepada istri, yakni tidak melukai hatinya,
tidak menyakiti fisiknya, tidak memaksakan kehendak termasuk dalam
berhubungan seksual, sebagaimana dicontohkan Rasulullah saw.
Itu karena istri yang menjadi korban pemaksaan seksual oleh
suami dan terjadi berulang-ulang, akan mengalami trauma psikologis yang
hebat. Hal ini seperti kekecewaan yang berkepanjangan, merasa trauma
berhubungan seks, menjadi tak percaya diri.
Pada tingkat yang parah, istri akan mengalami ketakutan yang
luar biasa (paranoia). Mereka merasa terus terancam oleh lingkungannya dan
dihantui rasa ketidakberdayaan.
Korban juga terkadang merasa bahwa kemerdekaan atas tubuhnya
telah berakhir seiring kejadian pemerkosaan. Dalam kondisi seperti ini,
perasaan korban menjadi sangat labil dan merasakan kesedihan yang
berlarut-larut.
Selanjutnya, berdasarkan kajian psikologis, dampak psikis ini
bisa jangka pendek (sort term effect)
maupun jangka panjang (long term effect).
Dampak psikis jangka pendek biasanya dialami sesaat hingga beberapa hari
setelah kejadian. Korban biasanya marah, jengkel, terhina, dan merasa malu.
Dampak jangka panjangnya ialah timbul sikap atau persepsi
negatif terhadap laki-laki (suami) dan trauma akan hubungan seks. Lebih-lebih
jika korban tidak mendapat dukungan setelah terjadi pemerkosaan dan berlanjut
terus hingga lebih dari 30 hari.
Korban akan mengalami post
traumatic stress disorder (PTSD), yaitu gangguan secara emosi berupa
mimpi buruk, sulit tidur, kehilangan nafsu makan, depresi, ketakutan, dan
stres hingga memicu tindakan bunuh diri.
Perilakunya cenderung murung, mengucilkan diri, menyesali diri,
merasa takut, dan sebagainya. Pada kasus-kasus tertentu, gangguan psikologis
yang dialami korban akan semakin kompleks. Hal itu karena mereka sering kali
mengalami pemerkosaan oleh suami lebih dari satu kali.
Bisa dibayangkan betapa berat kehamilan korban pemerkosaan yang
dilakukan suaminya. Mereka tidak berdaya untuk menghindar dan harus menjalani
hari-hari kehamilannya dalam suasana traumatik.
Kalau sudah seperti ini, ada kemungkinan bayinya akan lahir
kurang sehat atau kurang sempurna fisik maupun psikisnya. Jika menurut
penelitian satu dari tiga istri pernah mengalami pemerkosaan dalam
perkawinannya, sebagian dari korban mengalami traumatik yang berkepanjangan.
Ini tentunya akan berdampak serius bagi pembentukan generasi bangsa yang
berkualitas.
Bagaimana jadinya bangsa ini 20 atau 30 tahun ke depan, jika
sebagian generasinya dilahirkan dan dibesarkan oleh ibu yang kondisi
psikologisnya labil akibat pemerkosaan dalam perkawinannya.
Oleh karena itu, pemerkosaan dalam rumah tangga bukan perkara
remeh. Tidak cukup, misalnya hanya melegalkan aborsi kehamilannya, sebab
bukan itu akar masalahnya.
Namun, bagaimana kasus-kasus pemerkosaan dalam rumah tangga
dapat dicegah dan diminimalkan bahkan dihapuskan agar para ibu dapat
melahirkan generasi yang berkualitas. Wallahu
a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar