Simbolisme
Sarlito Wirawan Sarwono ;
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 13 Juli 2014
Pada waktu saya kuliah tingkat II di Psikologi UI, ada mata kuliah yang
berjudul ”Simbolik”, yaitu kuliah tentang simbol-simbol.
Mata kuliah itu sekarang tidak ada lagi di fakultas-fakultas psikologi,
adanya (mungkin, saya juga tidak tahu pasti) di Fakultas Ilmu Budaya,
khususnya sebagai bagian dari mata kuliah Semiotika, yaitu kuliah tentang
makna, yang di dalamnya dibahas juga tentang simbol-simbol. Tentunya saya
tidak berniat untuk membahas definisi, apalagi teori-teori tentang Simbolisme
di rubrik yang terbatas ini.
Terlalu bertele-tele dan terlalu akademik. Tetapi saya ingin berbagi
pengalaman tentang apa yang diajarkan oleh almarhum Profesor Slamet Iman
Santoso (beliau adalah seorang dokter spesialis psikiatri, bukan guru besar
filsafat) ketika itu.
Dosen saya yang lain, yaitu psikolog yang mengajar Filsafat, Prof Dr
Fuad Hassan (beliau pernah menjadi dubes RI di Mesir dan pernah menjadi
mendikbud), pernah mengajarkan kepada kami (mahasiswanya) bahwa menurut
filsuf Ernst Cassirer, manusia adalah makhluk simbol (man is an animal symbolicum), artinya manusia tidak dapat
dilepaskan dari simbol-simbol. Itulah bedanya manusia dengan hewan.
Kita, manusia, menggunakan simbol-simbol setiap hari dalam kehidupan
sehari-hari. Orang ngobrol melalui simbol bahasa lisan. SMS adalah
simbol-simbol bahasa tulisan. Bendera merah-putih adalah simbol NKRI. Di
Indonesia, di masjid tidak boleh dipasang ornamen binatang atau manusia
(haram). Tetapi di atap masjid di Beijing ada patung ular naganya. Di
Beijing, walaupun masjid, tetap tidak jauh-jauh dari ular naga. Lain lagi
dengan beduk.
Perkusi raksasa yang biasa ditabuh setiap sebelum azan itu, selalu ada
di masjidmasjid Pulau Jawa, tetapi absen di Sumatera Barat, atau di Arab.
Padahal sama-sama Islam. Lain lagi dengan simbol Kristen yang menyimbolkan
agamanya dengan kayu salib. Tetapi jangan salah. Walaupun sama-sama
bernabikan Yesus, buat umat Katolik, di salib harus ada patung Yesusnya,
sedangkan buat orang Kristen Protestan justru cukup dengan salib polos, tidak
boleh ada patung apa pun di atas salib itu.
Ternyata hebat betul pengaruh simbol itu. Belum seminggu yang lalu,
kita melaksanakan pemilu di Indonesia. Ajaib sekali, minggu-minggu menjelang
hari pencoblosan, angka ”1” dan angka ”2” jadi bermusuhan. Para pengikut ”1”
tibatiba tidak mau lagi berfoto dengan mengacungkan dua jari, yang sebelumnya
selalu mereka lakukan, sambil mengucapkan ”peace ” (karena dua jari
menyimbolkan perdamaian, atau bisa kemenangan juga) dan tangan yang satunya
memegang kamera HP untuk berfoto selfi .
Orang-orang ”2” yang iseng, sengaja mengedit foto teman-temannya yang
”1”, yang sedang action dengan dua jarinya (pasti foto jadul, sebelum
pilpres), terus di-upload di Facebook atau media sosial lainnya. Akibatnya si
korban marah serius kepada pelaku, padahal sebelumnya teman baik.
Menurut Prof Slamet Iman Santoso, simbol itu penting sekali buat
memahami manusia (itu pekerjaan kami sebagai kami mahasiswa psikologi).
Beliau memberikan contoh simbolik pada cerita wayang. Dalam wayang Purwa
versi Jawa (Jawa Tengah dan Jawa Barat), ada tokoh Semar dan anak-anaknya (di
versi India tidak ada).
Semar ini, selain pengasuh para ksatria yang luhur budinya, juga
merupakan penasihat spiritual mereka, karena sejatinya Semar adalah titisan
Batara Ismaya, kakak dari Batara Guru, yaitu rajanya para dewa di Swargaloka.
Karena itu, ketika ada Dewa Narada datang untuk menemui sang ksatria
(misalnya: Arjuna) yang telah lulus ujian bertapa, maka Semar yang biasanya
duduk menyembah pada Arjuna, tiba-tiba berdiri dan berbicara dalam bahasa
Jawa ngoko (rendah) pada Narada yang juniornya. Sementara itu, Arjuna duduk
menyembah dan berbahasa Jawa kromo (halus, tinggi, hormat) kepada Narada yang
seorang dewa.
Buat orang yang tidak memahami cara berpikir orang Jawa, tentu saja
pembolak-balikan kedudukan atau status ini sangat membingungkan. Tetapi buat
yang paham filsafat Timur, tidak masalah karena buat orang di Timur, dari
India sampai Cina, logika itu tidak hitamputih seperti cara berpikir orang
Barat. Buat orang Barat, manusia ya manusia, dewa (angel) ya dewa, tidak bisa
ditukar-tukar.
Tetapi buat orang Timur, biasa. Dalam lambang Yin dan Yang, di dalam
putih ada hitam, dan di dalam hitam ada putih. Buat orang Jawa, Nyai Roro
Kidul (makhluk halus) dipercaya sebagai istrinya Sultan Yogya (manusia
biasa). Bahkan, ada orang kaya raya yang punya kesaktian ”babi ngepet”, kalau
siang jadi bos, kalau malam jadi babi. Bos beneran, yang orang dari Benua
Eropa, tambah bingung, ”Babi ya babi,
orang ya orang, dong,” pikir dia.
Namun, bos Eropa yang kebetulan berbangsa Prancis ini tambah bingung
lagi ketika mau menikahi pacarnya yang orang Jawa. Orangnya sangat modern,
tinggi semampai, dan cantik karena mantan finalis Miss Indonesia. Tetapi
ketika menikah, kok banyak sekali simbol-simbol yang dia nggak ngerti .
Ada malam midodareni, di
rumah pengantin perempuan, di mana ia harus hadir tetapi tidak boleh masuk
rumah dan dilarang bertemu dengan pengantin perempuan. Terus ada siraman,
yaitu memandikan pengantin dengan air dari tujuh sumber, yang ditaburi tujuh
macam bunga? Kenapa harus tujuh? Kenapa tidak satu saja? ”Heran saya,” katanya dalam hati.
Tetapi jangan salah, sesudah menikah dan bermukim di Prancis beberapa
saat, sang istri justru heran melihat suaminya yang suka menangis. Di
Indonesia hampir nggak ada cowok menangis, tetapi di Prancis konon laki-laki
memang lebih cengeng daripada laki-laki bangsa-bangsa lain.
Jadi benarlah kata pepatah: lain ladang lain belalang, yang artinya
bahwa setiap masyarakat atau budaya mempunyai makna-makna sendiri, yang
diwujudkan dalam simbol-simbol yang berbeda-beda. Karena itu, jangan gegabah
menilai orang lain kalau kita belum mengenali budaya mereka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar