Iklim
Prof untuk Balapan Tingkat Dunia
Dahlan Iskan ;
Menteri BUMN
|
JAWA
POS, 14 Juli 2014
Waktu
tahun lalu Pertamina diberitakan di luar negeri sebagai perusahaan pertama
dari Indonesia yang berhasil masuk Fortune
Global 500, saya ditanya wartawan:
T: Apa perasaan Anda?
J: Terkejut, bangga, dan sedih.
T: Mengapa sedih?
J: Peringkatnya terlalu baik, ha ha
ha…
T: Seharusnya peringkat berapa?
J: Ekspektasi saya di peringkat 400-an
dulu lah. Baru kian tahun kian meningkat. Bukan sekali masuk, langsung di
peringkat ke-122 begini. Terlalu baik, he he… Bisa menekan direksi Pertamina
terlalu keras.
Tentu
kebanggaan saya lebih besar daripada kesedihan (pura-pura) saya. Pertamina
yang begitu lama jadi bulan-bulanan akhirnya bisa sangat profesional dan
berhasil masuk Fortune Global 500.
Tapi,
yang saya sedihkan benar-benar terjadi. Tahun ini peringkat Pertamina turun
satu tangga menjadi ke-123.
Tentu
saya tidak kaget dan tidak sedih. Meski turun, turunnya hanya satu tangga.
Meski turun, toh masih di papan 100-200. Masih sangat terhormat. Bahkan,
masih sangat sulit untuk mempertahankannya. Terutama karena ekonomi AS kian
baik.
Tentu
akan banyak perusahaan di sana yang segera membesar. Ekonomi AS bangkit
karena mendapat “stimulus” yang luar biasa: harga energi yang yang tiba-tiba
murah sejak ditemukannya gas di celah-celah bebatuan.
Ke
depan, mungkin penurunan peringkat Pertamina masih akan terjadi. Bukan
lantaran kinerja Pertamina merosot, melainkan lebih disebabkan melonjaknya
kinerja perusahaan-perusahaan di AS atau Jerman atau Jepang atau Tiongkok.
Tentu balapan tingkat dunia itu akan terus menghantui Pertamina.
Karena
itu, kewajiban kita semua memberikan iklim yang terus kian profesional kepada
Pertamina. Termasuk dukungan untuk membuatnya kian steril dari berbagai
intervensi kepentingan nonkorporasi. Saya melihat, ekspansi Pertamina di
Aljazair sebagaimana yang saya tulis di Manufacturing Hope sebelumnya bisa
menjadi salah satu alat bagi Pertamina untuk balapan di tingkat dunia itu.
Saya
juga lagi menunggu dengan berdebar proyek besar yang satu ini: penggelaran
pipa gas dari Arun ke Medan. Tanpa APBN. Mestinya tiga bulan lagi selesai.
Kemajuan pengerjaannya sesuai dengan target. Saya sudah sampaikan kepada
Karen Agustiawan harapan saya agar proyek itu selesai 15 Oktober depan. Atau
lima hari sebelum masa jabatan saya berakhir.
Ini
akan bisa menghemat uang negara Rp 4 triliun per tahun. Ini akan mengakhiri
sejarah panjang pemakaian BBM untuk membangkitkan listrik di Medan. Ini
sekaligus mengatasi ketiadaan gas untuk industri di seluruh Medan. Lebih dari
itu, instalasi raksasa LNG Arun yang sudah nganggur bisa segera dimanfaatkan.
Kemarin
saya langsung mengontak Menteri ESDM Jero Wacik untuk bisa memutuskan alokasi
gas yang dialirkan melalui pipa itu ke Medan. Pak Wacik pun langsung
merespons. “Saya bereskan. Banyak hal
ribet begini bisa saya bereskan. Contohnya gas Tangguh itu,” katanya. Alhamdulillah.
Proyek
pipa gas Arun-Medan itu akan menjadi agenda 100 hari terakhir pemerintahan
Pak SBY. Tentu saya juga mengucapkan selamat kepada direksi PLN. Perusahaan “Lilin” Negara (karena dirinya sendiri
sering terbakar untuk menerangi orang lain) itu menyusul Pertamina masuk Fortune Global 500. Peringkatnya pun
tidak membuat saya sedih: ke-477. Terus terang saya kaget, PLN sudah begitu
besarnya untuk ukuran dunia.
“Anda hebat, Pak Nur. Anda telah
tercatat. Di masa Anda jadi Dirut-lah PLN masuk Fortune Global 500,”
tulis saya untuk Nur Pamudji, Dirut PT PLN. Itu tentu akan jadi riwayat hidup
yang manis. Terutama untuk direksi PLN yang tahun ini akan habis masa
baktinya.
Saya
melihat, masih ada tiga lagi BUMN yang memiliki potensi untuk masuk Fortune Global 500 dalam dua tahun ke
depan. Tentu mereka memerlukan dukungan yang kuat. Terutama untuk bisa
melakukan aksi-aksi korporasi yang mereka perlukan. Direksi mereka sangat
mampu. Asal tidak banyak diintervensi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar