Israel
Tak Ingin Perdamaian
M Hamdan Basyar ;
Peneliti Utama Puslit Politik-LIPI
|
SINDONEWS,
13 Juli 2014
BEBERAPA hari terakhir ini dunia kembali disuguhi keganasan militer zionis
Israel. Mereka membombardir wilayah Jalur Gaza, Palestina. Alasannya adalah
untuk menghancurkan kekuatan Hamas.
Akibat kekejian Israel tersebut, puluhan orang menjadi korban meninggal
dunia, termasuk anak-anak yang tidak berdosa. Serangan udara Israel itu
sedikitnya telah menewaskan 85 orang sejak operasi dimulai, termasuk
setidaknya 11 perempuan dan 18 anak-anak. Militer Israel mengatakan, dalam
semalam lebih dari 300 tempat di Gaza menjadi target, sehingga jumlah
serangan lebih dari 48 jam bisa mencapai 750 sasaran. Ini adalah operasi
militer Israel terbesar di Gaza sejak November 2012.
Kelompok Hamas tidak tinggal diam. Pada hari Selasa mereka menembakkan
117 roket ke arah Israel, tetapi 29 roket berhasil dicegat oleh sistem
anti-rudal Israel. Rabu Hamas kembali melawan dengan meluncurkan 90 roket,
tetapi Israel mencegat 24 roket. Pada hari Kamis 15 roket menghantam Israel,
sementara tujuh lainnya dicegat. Sejauh ini tidak ada kematian di pihak
Israel.
Kondisi ini tentunya sangat ironis. Sebulan lalu, 8 Juni 2014, di
Vatikan diadakan doa bersama untuk perdamaian Palestina dan Israel. Inisiatif
datang dari Paus Fransiskus ketika berkunjung ke Yerusalem, 25 Mei 2014. Di
kota yang dihormati tiga agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam) itu, Paus
Fransiskus menawarkan undangan pribadinya bagi pemimpin Palestina Mahmoud
Abbas dan Presiden Israel Shimon Peres untuk bergabung dengannya di rumahnya
di Vatikan guna “berdoa bersama sepenuh hati” bagi perdamaian.
Paus menuturkan membangun perdamaian itu tidak mudah, tetapi hidup
tanpa perdamaian akan menjadi siksaan terus menerus. Undangan itu diterima
oleh kedua belah pihak. Maka, pada Minggu, 8 Juni 2014, Presiden Israel
Shimon Peres dan pemimpin Palestina Mahmoud Abbas ikut doa bersama Paus
Fransiskus di Vatikan.
Acara semacam ini belum pernah terjadi sebelumnya, demi perdamaian di
Timur Tengah. Ketiga pemimpin itu bersama kepala gereja Orthodox
Konstantinople, Bartholomew, menyampaikan doa bersama kardinal, rabi dan imam
dari ketiga agama (Kristen, Yahudi dan Islam). Pertemuan selama dua jam di
sebuah taman di Vatikan itu mencakup doa-doa dari Kitab Perjanjian Lama dan
Baru, serta Alquran yang dibaca dalam bahasa Ibrani, Arab, Inggris dan
Italia.
Semestinya suasana kebatinan yang telah dibangun oleh Paus Fransiskus
di Vatikan tersebut dapat menjalar dalam proses perdamaian Palestina dan
Israel yang mengalami deadlock. Doa bersama mestinya dapat menggugah hati
untuk berusaha melakukan hal-hal yang lebih baik bagi kehidupan umat manusia.
Perdamaian dapat diinisiasi melalui kebutuhan akan hidup bersama dengan
menghargai adanya perbedaan.
Memang, dibutuhkan suatu keberanian dari seorang pemimpin untuk
menyatakan kesediaan berunding, demi terlaksananya perdamaian. Tidak mudah,
tetapi dapat dimulai kalau mereka mau dan bersedia. Tetapi, tampaknya Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak terpengaruh usaha dari Paus
Fransiskus. Tidak begitu jelas mengapa Netanyahu lebih senang berperang dari
pada damai.
Sikap Netanyahu yang tidak senang damai terlihat juga ketika terjadi
kesepakatan damai antara faksi Fatah dan faksi Hamas. Dia dan para pemimpin
Israel lainnya marah pada Mahmoud Abbas sebagai pemimpin Fatah. Sebagaimana
diketahui pada 23 April 2014, dua kelompok pergerakan Palestina, Fatah dan
Hamas, menandatangani kesepakatan untuk bersatu. Kesepakatan ini juga
sekaligus menandai berakhirnya perseteruan yang telah berlangsung selama
beberapa tahun antara dua organisasi perjuangan pembebasan Palestina itu.
Dari sisi Palestina, kesepakatan Hamas dan Fatah patut disyukuri.
Dengan demikian, ada harapan untuk membangun kebersamaan. Mereka sepakat
untuk membentuk satu pemerintahan yang anggota kabinetnya terdiri dari para
teknokrat. Setelah itu mereka dapat melakukan pemilihan umum anggota parlemen
dan presiden agar ada legitimasi baru bagi pemerintahan Palestina. Pemilihan
umum terakhir diadakan pada tahun 2006 yang dimenangkan oleh kelompok Hamas.
Tetapi dalam perkembangannya, pemerintahan Palestina justru terbelah.
Kelompok Fatah menguasai wilayah Tepi Barat, sedangkan Hamas memerintah di
Jalur Gaza. Oleh karena itu, kesepakatan 23 April 2014 tentu baik bagi
perjuangan rakyat Palestina. Menanggapi kesepakatan Hamas dan Fatah,
Netanyahu berang. Dia mengancam Presiden Palestina Abbas untuk memilih
“berdamai dengan Israel” atau “bersatu dengan Hamas”.
Netanyahu memaksa Abbas untuk memilih salah satu. Tetapi Abbas
menghendaki kedua dapat dicapai. Dia butuh adanya persatuan Fatah dan Hamas
untuk memperkuat posisi Palestina. Abbas juga ingin ada perdamaian dengan
Israel agar ada kehidupan yang baik antartetangga.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Israel Avigdor Lieberman mengatakan,
penandatanganan kesepakatan antara Hamas dan Fatah untuk membentuk
pemerintahan persatuan berarti telah mengakhiri proses perjanjian damai dengan
Israel.
Sikap petinggi Israel tersebut tidak aneh. Mereka memang menghendaki
Palestina terus terbelah untuk mempermudah mengalahkannya. Israel mendekati
kelompok Fatah, tetapi memusuhi dan bahkan berusaha menghancurkan kelompok
Hamas.
Pengeboman wilayah Gaza oleh tentara Israel kali ini dalam rangka
menghancurkan kekuatan kelompok Hamas. Israel tidak begitu peduli siapa yang
menjadi korban di Gaza. Perempuan dan anak-anak yang mestinya dilindungi
dalam peperangan, juga menjadi korban keganasan tentara Israel. Melihat
eskalasi yang terus berkembang, Amerika Serikat pada 9 Juli 2014 mendesak
Israel dan Palestina untuk menurunkan ketegangan di Gaza dan menyatakan
keprihatinan atas keselamatan warga sipil di kedua belah pihak.
Juru bicara Departemen Luar Negeri Jen Psaki mengatakan bahwa Menteri
Luar Negeri AS John Kerry telah berbicara pada hari sebelumnya dengan Perdana
Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan berencana untuk berbicara dengan
Presiden Palestina Mahmoud Abbas. Psaki mengatakan: “We are concerned about the safety and security of civilians on both
sides.” (Al Ahram, 9 Juli 2014).
Sekjen PBB Ban Ki-moon, ikut prihatin dan mendesak segera ada
penghentian serangan Israel terhadap warga sipil di Gaza. Sedangkan Presiden
Palestina Mahmoud Abbas menanggapi serangan Israel itu dengan sebutan “genosida”.
Di Ramallah, Tepi Barat, Abbas mengatakan: “It’s genocide; the killing of entire families is genocide by Israel
against our Palestinian people..... What’s happening now is a war against the
Palestinian people as a whole and not against the (militant) factions......
We know that Israel is not defending it self, it is defending settlements,
its main project .” (Al Ahram , 9
Juli 2014).
Menanggapi imbauan penghentian serangan Israel terhadap Gaza, Netanyahu
justru menjawab tidak akan ada gencatan senjata. Di depan Komisi Pertahanan
dan Luar Negeri Knesset (parlemen) Israel dia mengatakan, “I am not talking to anybody about a cease
fire right now........It’s not even on the agenda.” (Haaretz, 10 Juli 2014).
Tampaknya, Netanyahu tidak mau berdamai dengan Palestina, khususnya
kelompok Hamas. Kalau hal itu terus berlangsung, maka sulit terjadi adanya
kehidupan yang aman dan tenteram antara Palestina dan Israel. Oleh karena
itu, diperlukan usaha keras dari berbagai pihak, termasuk DK PBB, untuk
mencegah adanya korban sipil dari pihak yang bertikai. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar