Waspadai
Dramatisasi Ramadan
Muhammadun ;
Analis pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
|
KORAN
JAKARTA, 12 Juli 2014
Televisi Indonesia menyajikan
drama religius dalam banyak tayangan
sepanjang ramadhan dalam bentuk
sinetron, iklan, film dan sebagainya. Penayangannya mulai sahur sampai
menjelang sahur kembali. Banyak tayangan mendadak menjadi religius. Demikian
para pemainnya, semula tak berjilbab
dan tak bersongkok, lalu mengenakannya pakaian tersebut.
Drama religius ini selalu hadir setiap ramadhan, sampai-sampai sebagian
umat Islam menghabiskan waktunya di depan televisi. Mereka meninggalkan
majelis taklim untuk belajar agama. Ulama dan kiai ditinggalkan. Mereka lebih
memilih menonton selebritis yang mendadak menjadi ‘ustadz.’
Tayangan ini oleh Erving Goffman
dalam The Presentation of Self in
Everyday Life (1982) dinamakan sebagai dramaturgi. Para artis memainkan
drama sinetron religius sesuai dengan pesan dan arahan sutradara, bukan atas
dasar ajaran agama. Seluruh babak telah didesain secara dramatik, sehingga
terjadi berbagai akting yang memukau dan penuh sensasi.
Dalam dramatugi Goffman, identitas manusia bisa saja berubah-ubah
tergantung pada interaksi dalam sebuah
peran yang dijalankan. Di sinilah dramaturgi masuk. Para artis menguasai interaksi tersebut. Dalam
dramaturgi, interaksi dimaknai sama dengan pertunjukan teater. Artis adalah
pemain yang berusaha menggabungkan
karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui “pertunjukan dramanya sendiri.”
Goffman memperkenalkan istilah “impression management” di mana manusia merupakan pemain drama yang sangat
lihai. Dia membangun konsep dan
manajemen drama untuk mencapai tujuan yang ingin dicapai. Agar pertunjukan
drama religius semakin cerdas, sang aktor akan memperhitungkan seting,
kostum, penggunaan kata (dialog) dan tindakan nonverbal lain. Hal ini
tentunya untuk meninggalkan kesan yang
baik pada lawan interaksi dan memuluskan jalan mencapai tujuan.
Karena drama religius ingin mencari sebuah tujuan tertentu, maka
perilau sang aktor di atas panggung berbeda saat di belakang panggung. Di panggung, dia
benar-benar memainkan drama sesuai dengan peran. Perilaku dibatasi
konsep-konsep yang bertujuan
untuk membuat drama berhasil. Tetapi
ketika berada di belakang panggung, pemeran
akan bermain sesuka hatinya, tanpa mempedulikan plot yang telah
direncakan.
Senada dengan pemikiran Goffman, Aristoteles dalam Poetics, juga melihat dramaturgi sebagai sebuah drama kehidupan
yang dimainkan manusia untuk menggapai tujuan-tujuan. Aristoteles bahkan
menganalisis karakter sang aktor sangat berperan besar bagi kesuksesan sebuah
drama. Aktor yang cerdas akan membuat drama semakin menarik, lincah, dan menghibur.
Komoditas
Filosof Kenneth Duva Burke
mengatakan bahwa hidup bukan sekadar
seperti drama, tapi hidup itu sendiri adalah drama. Setiap manusia merupakan
aktor dalam kehidupan masing-masing. Umat Islam sedang memainkan drama hidup
dalam berpuasa di bulan ramadhan. Sementara televisi dan industri perfilman
juga memainkan dramanya sendiri. “Semua
elemen memainkan drama sendiri-sendiri, asal jangan merusak keindahan
kehidupan yang telah dititahkan,” lanjut Burke.
Sayang, drama religius yang dipertontonkan televisi menimbulkan
dramaturgi beragama. Agama dijadikan sebagai drama dalam komoditas industri,
sehingga menghadirkan banyak keuntungan. Yang mereka perankan dalam drama, film atau lainnya sama sekali tak berkaitan dengan
kehidupan di luar. Makanya, ajaran agama yang dipetuahkan di panggung
televisi sama sekali tak berkaitan dengan kehidupan sehari-hari yang
dijalani.
Ungkapan di atas panggung tak berrelasi saat di belakang panggung.
Jangan salahkan mereka ketika berada di belakang panggung tak mau dilekatkan
dengan persoalan ajaran agama yang telah diujarkan dan diajarkan. Ini jelas “merusak keindahan kehidupan yang telah
dititahkan,” kata Burke.
Dalam dramaturgi beragama, puasa hanya menjadi komoditas industri,
bukan sebuah momentum meningkatkan keimanan. Jangan kecewa kalau petuah yang
diajarkan tak sesuai dengan senyatanya karena mereka bukan ulama atau kiai
yang teguh menjalankan ajaran, walaupun tanpa panggung.
Di sinilah, umat Islam mestinya sadar dengan drama yang sedang terjadi.
Mereka jangan sampai terjebak dan larut dalam dramatisasi agama yang
diperankan dalam media. Ramadhan adalah momentum mengasah hati nurani dalam
meningkatkan keimanan, bukan momentum menonton drama religi yang hanya
meningkatkan rating siaran.
Untuk itu, sudah saatnya umat Islam
melakukan respiritualisasi terhadap puasa yang dijalankan di tengah gemuruh
teknologi informasi yang berkembang cepat. Repsiritualisasi dalam ramadhan dilakukan dengan memantapkan hati dalam merengkuh
surga kebajikan dan kebaikan yang ditebarkan Allah sepanjang siang dan malam.
Jangan sampai hanya lapar dan
dahaga karena itu merugikan diri sendiri. Dalam ramadhan, amal umat
Islam diterima dan doa dikabulkan.
Inilah drama sebenarnya yang mestinya dijalankan orang Islam. Akan semakin lengkap, bila puasa
dibarengi bersedekah kepada sesama. Ingat pesan nabi “Barang siapa di antara kamu memberi buka
kepada orang-orang mukmin yang berpuasa di bulan ini, maka di sisi Allah
nilainya sama dengan membebaskan seorang budak dan ia diberi ampun atas
dosa-dosanya di masa lalu.” ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar