Memastikan Arah Benar
Pemberantasan Korupsi
Hikmahanto Juwana ;
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia
|
KORAN
SINDO, 16 Juli 2014
Pemberantasan
terhadap korupsi dalam beberapa tahun terakhir gencar dilakukan. Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung dan Kepolisian RI melakukan
penyidikan terhadap perkara-perkara korupsi. Pengadilan pun telah memvonis
para pelaku tindak pidana korupsi. Di tengah-tengah keseriusan aparat penegak
hukum memberantas korupsi ada beberapa catatan yang perlu dilakukan agar
pemberantasan terhadap korupsi berada pada jalan yang benar.
Perilaku Koruptif
Dalam
sejumlah perkara korupsi ataupun temuan yang berpotensi menjadi perkara
korupsi, penegak hukum kerap mendasarkan pada kerugian negara. Adanya
kerugian negara seolah serta-merta dianggap sebagai adanya tindak pidana
korupsi. Padahal, kerugian negara tidak selalu berkorelasi dengan tindak
pidana korupsi. Kerugian negara bisa karena masalah perdata dan
administratif. Kasus Hotasi Nababan, mantan Direktur Utama Merpati Airlines,
merupakan contoh kasus perdata yang tidak seharusnya diputus berdasarkan
Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) semata karena kerugian
negara.
Pengadilan
Negeri telah secara tepat memutuskan untuk membebaskan Hotasi, namun Mahkamah
Agung berpandangan lain. Hotasi pun dihukum 4 tahun. Padahal, baru-baru ini
di Amerika Serikat (AS) terbit putusan yang menghukum mitra Merpati Airlines
karena adanya unsur penipuan dalam sewa-menyewa pesawat. Bahkan pengadilan AS
meminta agar uang Merpati dikembalikan. Dalam ranah administratif, contohnya
adalah kasus bailout Bank Century. Kebijakan untuk melakukan bailout yang di
kemudian hari mungkin dianggap salah dan memunculkan kerugian negara tidak
seharusnya mendakwa pengambil kebijakannya dengan UU Tipikor.
Apalagi
dalam persidangan pidana yang memeriksa terdakwa Budi Mulya keputusan atau
kebijakan untuk melakukan bailout di- ”permasalah”-kan. Suatu persidangan
pidana bertujuan untuk membuktikan kejahatan yang dilakukan oleh terdakwa.
Karenanya, dalam kasus bailout Bank Century yang seharusnya dipermasalahkan
adalah ada tidaknya perilaku koruptif. Perilaku koruptif yang dimaksud adalah
perilaku sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor.
Inti
dari Pasal 2 ialah, siapa saja dianggap melakukan tindak pidana korupsi
apabila ia secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. Pasal 3 menentukan bahwa siapa saja akan dianggap
melakukan tindak pidana korupsi apabila ia dengan tujuan menguntungkan diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan,
atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Proses pengambilan
keputusan atau kebijakan, yang di kemudian hari dianggap benar ataupun salah,
seharusnya hanya dapat dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 UU Tipikor bila
terdapat perilaku koruptif. Perilaku koruptif ini perilaku ”melakukan
perbuatan memperkaya” atau ”menyalahgunakan kewenangan untuk menguntungkan”
diri sendiri, orang lain, atau korporasi.
Sinkron
Hal
lain yang perlu mendapat perhatian dalam melakukan proses hukum terhadap
pelaku tindak pidana korupsi adalah sinkronnya antara siapa yang didakwa dan
siapa yang harus dihukum. Terdakwa yang dalam persidanganlah yang seharusnya mendapat
tuntutan hukuman. Dalam perkara Budi Mulya, di dalam tuntutan yang dibuat
oleh jaksa penuntut umum (JPU) terjadi ketidaksinkronan antara Budi Mulya
yang didakwa dan siapa yang dihukum. JPU, meski menuntut hukuman bagi Budi
Mulya, tetapi juga menghukum berbagai pihak, termasuk di dalamnya Bank
Mutiara (dulu bernama Bank Century).
Padahal,
Bank Mutiara tidak disebut dalam dakwaan, namun JPU menuntut hakim
menjatuhkan hukuman berupa pembayaran uang pengganti sebesar satu setengah
triliun rupiah lebih. Dalam konstruksi JPU, Bank Century dianggap sebagai
pihak yang menikmati uang fasilitas pendanaan jangka pendek (FPJP) dan
bailout yang diputuskan oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KKSK).
Padahal, untuk uang yang dikeluarkan dalam rangka bailout dikeluarkan oleh
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan uang tersebut telah berubah menjadi saham
yang dimiliki oleh LPS.
Dukung
Tentu
pemberantasan terhadap korupsi patut didukung tanpa kecuali. Namun
pemberantasan korupsi tidak selayaknya sama dengan pemberantasan terhadap
Partai Komunis Indonesia (PKI) di era pemerintahan Soeharto. Pemberantasan
terhadap PKI dalam perkembangannya telah digunakan sebagai sarana politik
untuk mematikan lawan-lawan politik penguasa. Bahkan untuk melumpuhkan mereka
yang cemerlang, namun berpotensi berhadap-hadapan dengan pemerintah. Mereka
dengan mudah dilabeli PKI atau tidak bersih lingkungan atas anasir PKI.
Lembaga
yang melakukan pemberantasan terhadap PKI bisa keluar dari tugas dan fungsi
utamanya karena mendapat dukungan penuh dari rakyat, di samping PKI merupakan
musuh bersama. Dalam konteks demikianlah, kita tidak ingin melihat aparat
penegak hukum yang bertugas untuk menyidik dan menuntut tindak pidana korupsi
melakukan proses hukum secara serampangan. Mereka harus cermat dalam
melakukan penyidikan dan penuntutan. Bila aparat penegak hukum yang melakukan
penyidikan dan penuntutan tidak cermat, maka kita berharap pada benteng
terakhir, yaitu pengadilan.
Para
hakim mempunyai kewajiban, berdasarkan hukum dan keyakinannya, untuk secara
cermat menilai apakah antara dakwaan dan tuntutan JPU sudah tepat. Bila
dinilai tidak tepat, hakim harus berani mengambil keputusan untuk tidak
mengabulkan tuntutan JPU di tengah-tengah euforia masyarakat memberantas
korupsi. Hakimlah yang dapat memastikan arah benar pemberantasan korupsi.
Hakim-hakim yang demikianlah yang seharusnya mendapat hati dan penghargaan
dari masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar