Agenda
Calon Pemimpin Bangsa
Benny Susetyo ;
Pemerhati Sosial
|
SINAR
HARAPAN, 15 Juli 2014
Tujuh
dari 11 lembaga survei yang melakukan hitung cepat (quick count) dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014, menyebut
pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla sebagai pemenang pemungutan suara.
Sebaliknya, empat lembaga survei lain mendapatkan pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa sebagai pemenang.
Tujuh
lembaga survei itu adalah Litbang Kompas, Lingkaran Survei Indonesia (LSI),
Indikator Politik Indonesia, Populi Center, CSIS, Radio Republik Indonesia
(RRI), dan Saiful Mujani Research Center (SMRC).
Empat
lembaga survei yang mendapatkan hasil kemenangan bagi Prabowo-Hatta adalah
Puskaptis, Indonesia Research Center (IRC), Lembaga Survei Nasional (LSN),
dan Jaringan Suara Indonesia (JSI). Siapa pun pemenangnya akan menungu
keputusan KPU pada 22 Juli. Pilpres menunjukkan betapa rakyat memiliki
kedaulatan tertinggi.
Kedaulatan
rakyat Indonesia sedang dipertontonkan ke segenap penjuru internasional.
Semua orang tak luput membicarakannya, dari konteks yang paling akademis
sampai paling awam. Ada pertanyaan besar yang muncul, apakah kedua paangan
calon tersebut mampu mengatasi persoalan bangsa yang begitu kompleks ini?
Pertanyaan
ini layak dilontarkan, mengingat begitu luar biasanya persoalan bangsa ini,
hingga diprediksi tak akan tuntas diselesaikan hanya dalam satu atau dua
dekade kepemimpinan. Persoalan utama yang dihadapi bangsa ini adalah
hilangnya kepercayaan terhadap pemimpinnya.
Fenomena
meningkatnya partisipasi rakyat dalam membahas dan beradu argumen tentang
kelebihan dan kekurangan pasangan capres, baik di sosial media maupun di
ruang-ruang publik, menunjukkan adanya harapan besar yang ditorehkan siapa
pun yang akan memimpin negeri ini. Kita bisa melihat rakyat cukup antusias
untuk terlibat dalam proses pilpres ini.
Tidak
elok rasanya melihat semangat rakyat untuk menanti perubahan, bila tidak
diimbangi kerja keras pemimpin untuk mewujudkan harapan-harapan mereka.
Bukan Sekadar Retorika
Kita
khawatir rakyat kembali akan kecewa, jika para capres hanya sibuk memikirkan
kekuasaan belaka dan bagaimana membagi-baginya dengan partner koalisinya.
Apakah calon pemimpin memiliki kehendak untuk memperhatikan nasib rakyatnya
bukan sekadar sebagai retorika kekuasaan, melainkan kenyataan.
Kekecewaan
rakyat selama ini karena menilai janji pemimpin hanyalah retorika semata.
Agenda pemimpin yang ditawarkan kepada publik hanya semata-mata citra untuk
meraih dukungan. Mereka tidak menjelaskan secara konkret program yang
terfokus untuk menjadikan rakyat sejahtera. Kesejahteraan rakyat, bagaimana
pun adalah hal amat penting, sebagai alat tawar untuk meraih kedaulatan
bangsa ini.
Prioritas
yang menyentuh kepada akar persoalan untuk memulihkan posisi rakyat, adalah
untuk melawan proses pembodohan yang sering secara sengaja atau tidak
dilakukan penguasa. Karena itu, diperlukan pendidikan politik yang bertitik
tolak pada persoalan yang amat nyata di basis masyarakat.
Dengan
dukungan pers yang independen, perlu diperhatikan bagaimana cara tercepat dan
terefektif untuk menghentikan korupsi dan membatasi langkah pengusaha hitam
merampok kekayaan negeri; melindungi hak pekerja, dan meningkatkan anggaran
pendidikan serta kesehatan sebagai landasan strategi rakyat untuk keluar dari
krisis; menghentikan penjarahan terhadap lingkungan hidup, menciptakan
undang-undang perlindungan terhadap kaum perempuan sebagai kelompok yang
menderita; membatasi pembangunan mal-mal dan rumah mewah yang membatasi ruang
gerak rakyat kecil; penataan hak atas tanah yang dikuasai sekelompok
pengusaha, menghentikan praktik imunitas hukum yang merajalela; menghentikan
premanisme yang sudah menjadi benalu bangsa ini; membuat sistem pajak yang
adil, bukan rakyat miskin yang menyokong perekonomian pengusaha hitam, dan
lainnya.
Jebakan Politik Kekuasaan
Para
calon pemimpin sebaiknya menghindari jebakan politik bagi-bagi kekuasaan. Hal
itu akan meminggirkan agenda-agenda penting tersebut untuk rakyat. Agenda
mendesak itu akan lenyap karena politikus terlalu asyik membangun koalisi.
Ujung-ujungnya adalah politik kekuasaan semata. Jangan biarkan kesempatan
berharga ini lewat begitu saja. Kesempatan ini adalah momentum awal langkah
untuk mengembalikan negara sebagai pelayan masyarakat.
Civil
servant, menurut Hegel merupakan sebuah cita-cita pemerintahan yang ideal.
Negara melayani rakyatnya. Negara sifatnya universal, konkret, dan rasional.
Itu dicirikan oleh keterbukaan dan kesempatan bagi tiap individu untuk
mengurus negara ini selama ia menyadari kebebasan yang utuh, rasional, dan
konkret.
Negara
harus memberi kesempatan kepada mereka yang selama ini kurang diperhatikan.
Mereka adalah yang termasuk sebagian besar rakyat Indonesia, yaitu petani,
buruh, dan nelayan. Mereka harus mendapat prioritas dalam setiap kebijakan.
Saat
presiden terpilih mempunyai agenda rakyat yang jelas memperjungkan persoalan
mendasar dalam kesejahteran masyarakat. Kesejahteran hanya tercapai bila
bangsa ini keluar dari cara berpikir sebagai bangsa terjajah dalam pola
pikirnya. Dibutuhkan sebuah keberanian presiden mendatang memfokuskan tiga
hal yang mendasar, yakni pembenahaan sektor pendidikan, energi, dan pangan.
Ketiga
hal yang mendasar mengatasi persoalan kemiskinan karena ketiga hal mendasar
bagi tercapainya kemandiran sebuah bangsa. Bangsa mandiri ketika mampu
menyediakan kualitas manusia yang bisa menggunakan energi sebagai kekuatan
industri dalam mengolah sumber daya alam untuk kepentingan rakyatnya.
Energi
dan pangan adalah kesatuan untuk memperkuat sebuah bangsa yang memiliki daya
tawar sebuah bangsa. Bangsa yang mampu menyediakan ketiga hal ini, mampu
menjadi bangsa yang besar. Kita membutuhkan pemimpin yang memiliki gagasan
besar bukan yang pandai retorika belaka. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar