Kompetisi
Pemilihan Presiden 2014
Arya Budi ;
Peneliti Poltracking Institute
|
KORAN
TEMPO, 16 Juli 2014
Pemungutan
suara pemilu presiden telah usai, tapi masih menyisakan dua isu besar:
perbedaan hasil hitung cepat (quick
count) beberapa lembaga dan deklarasi pemenang pemilihan presiden oleh
masing-masing kandidat. Dua isu besar ini menciptakan pertanyaan tunggal bagi
publik: siapa sebenarnya pemenang pemilihan presiden?
Terlepas
dari polemik perihal siapa yang benar dengan hasil hitung cepat, kontestasi
pasangan Prabowo-Hatta dan Jokowi-JK pada pemilu presiden 2014 ini
berlangsung dengan sangat dinamis. Hasil hitung cepat yang dirilis oleh
Poltracking menunjukkan pasangan Jokowi-JK (53,70 persen) unggul terhadap
Prabowo-Hatta (46,30 persen) dengan total data masuk 99,75 persen dari 2.000
TPS sampel terpilih di seluruh Indonesia.
Tidak
bisa dimungkiri, hasil hitung cepat ini menunjukkan stagnasi, bahkan
penurunan, suara Jokowi dari survei Poltracking Maret 2014 dengan 54,9
persen. Sebaliknya, angka hitung cepat menunjukkan kenaikan signifikan suara
Prabowo jika melihat survei elektabilitas Poltracking pada Juni 2014 dengan
27,9 persen. Riwayat survei di beberapa lembaga lain menunjukkan
Prabowo-Hatta lebih unggul.
Telah
menjadi rahasia umum bahwa setidaknya ada sembilan provinsi yang mempunyai
jumlah pemilih besar di mana tiga provinsi di antaranya menyumbang
masing-masing lebih dari 15 persen suara dari total pemilih nasional.
Singkat
cerita, peta kompetisi pada 9 provinsi ini menentukan perolehan suara
nasional karena total sumbangannya mencapai lebih dari 70 persen suara.
Hitung cepat Poltracking menunjukkan bahwa Jokowi-JK unggul di 7 provinsi
gemuk, seperti di Sumatera Selatan (50,64 persen), Sumatera Utara (58,48
persen), Lampung (52,40 persen), DKI Jakarta (54,03 persen), Jawa Timur
(58,23 persen), dan Sulawesi Selatan (70,45 persen).
Sementara
itu, Prabowo-Hatta unggul di dua provinsi gemuk, seperti Jawa Barat (59,19 persen)
dan Banten (58,23 persen).
Sekalipun
sempat menjadi polemik antara Mahkamah Konstitusi dan Komisi Pemilihan Umum,
hasil perolehan suara versi hitung cepat ini tentu juga harus
mempertimbangkan kemenangan kandidat di minimal 50 persen provinsi dari total
34 provinsi yang ada. Terkait dengan hal ini, hasil hitung cepat Poltracking
menunjukkan pasangan Jokowi-JK unggul di 22 provinsi, sedangkan Prabowo-Hatta
unggul di 10 provinsi lainnya dengan interval selisih suara yang bervariasi.
Singkat
cerita, berdasarkan hasil hitung cepat, pasangan Jokowi-JK berpotensi menjadi
presiden selanjutnya menggantikan SBY-Boediono.
Secara
teoretis, hasil hitung cepat pemilu presiden ini sekali lagi menunjukkan
cakupan dual split-ticket voting
yang jamak terjadi hampir di seluruh pemilih Indonesia. Bahwa pilihan publik
tidak linier dengan pilihan partai (baik secara horizontal maupun vertikal).
Pun demikian dengan pilihan publik dengan preferensi tokoh yang diidolakan.
Pertama,
suara partai yang berkoalisi dengan pasangan kandidat-59,12 persen untuk
Prabowo-Hatta dan 40,88 persen untuk Jokowi-JK-tidak menunjukkan perolehan
suara kandidat yang linier. Hal itu memberikan konfirmasi hasil survei yang
menunjukkan Party ID-tingkat kedekatan/asosisasi diri pemilih terhadap partai-yang
rendah di Indonesia, berkisar 17-25 persen.
Kedua,
logika bahwa Party ID yang rendah menyebabkan pemilih terombang-ambing
mengikuti pendulum pilihan para figur/tokoh idola atau patron partai ternyata
tidak sepenuhnya benar. Preferensi pilihan SBY yang direpresentasikan oleh
Partai Demokrat tak sepenuhnya berdampak, sekalipun SBY memperoleh 60,80
persen satu kali putaran pilpres dengan tiga kandidat.
Dualisme
politik elite pada masing-masing partai juga menjadi penyebab, seperti
Golkar. Suara Jokowi-JK versi hitung cepat
yang mencapai 70,45 persen di Sulawesi Selatan, yang dikenal sebagai
basis Golkar, tentu adalah "Golkar-Jusuf Kalla". Tentu, sekali
lagi, hasil hitung-cepat yang menjadi dasar analisis ini bisa bergesar ke
atas 1 persen dan ke bawah 1 persen karena margin error 1 persen dengan 95
persen tingkat kepercayaan.
Alhasil,
pemilu presiden 2014 adalah babak baru politik Indonesia, di mana semua
kekuatan politik terkanalisasi hanya pada dua kutub. Artinya, cara mengukur
demokratisasi tidak sekadar terletak pada proses dan hasil pemilu, tapi juga
seusai pemilu, di mana salah satu kandidat ditetapkan sebagai pemenang.
Respons publik, elite, dan kandidat terhadap hasil penetapan pemenang oleh
KPU beberapa hari ke depan adalah ukuran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar