Arah
Koalisi Pasca-Pilpres
Paulus Mujiran ;
Penulis
|
KORAN
TEMPO, 16 Juli 2014
Hasil
hitung cepat lembaga-lembaga survei kredibel menempatkan pasangan Joko
Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) sebagai pemenang Pemilihan Umum Presiden 2014.
Meski sifatnya masih sementara, hitung cepat ini dapat dipergunakan untuk
membaca arah koalisi.
Selama
ini pasangan Jokowi-JK diusung oleh PDIP, NasDem, PKB, Hanura, dan PKPI
dengan total suara di parlemen 27 persen. Sedangkan pasangan Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa yang diusung oleh Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN,
PKS, PBB menguasai 63 persen suara di parlemen. Prabowo mengakui kuatnya
Koalisi Merah Putih dengan kemenangan dalam rapat paripurna pengesahan
Undang-Undang Perubahan atas UU Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan
DPRD (UU MD3).
Namun
Pilpres 2014, baik versi hitung cepat maupun pengumuman resmi Komisi
Pemilihan Umum (KPU) pada 22 Juli, berpotensi mengubah peta koalisi.
Pertama,
dari internal koalisi pendukung Jokowi-JK, tambahan anggota koalisi sangat
diperlukan untuk lima tahun ke depan. Meski Jokowi-JK sudah menyatakan koalisi
yang dibangun bukanlah koalisi bagi-bagi kekuasaan, pragmatisme politik tidak
terhindarkan. Jokowi-JK tentu tidak ingin dikerjai oleh parlemen, seperti
halnya pengesahan RUU MD3 yang menutup peluang PDIP menjadi pemimpin DPR.
Jokowi-JK harus realistis, keputusan strategis, seperti pengesahan anggaran,
membutuhkan persetujuan DPR.
Kedua,
beberapa partai pendukung Prabowo selama ini tidak berpengalaman menjadi
oposisi, kecuali Gerindra yang pernah bersama-sama PDIP di luar pemerintahan.
Tapi Golkar, PPP, PAN, PKS, Demokrat, dan PBB adalah partai pendukung
pemerintah. Apakah partai sebanyak itu tidak terbuai oleh daya tarik manisnya
kursi kekuasaan? Apalagi sebagian kader Golkar sudah menyuarakan agar
menerima hasil hitung cepat dan membicarakan arah koalisi.
Wakil
Ketua Umum Partai Golkar yang juga Menko Kesra, Agung Laksono, sudah
menyatakan Golkar dibentuk untuk mendukung pemerintah. Dan jika Jokowi-JK
yang ternyata mendapatkan mandat rakyat, Golkar harus mendukung. Beberapa
sinyal bergabungnya sebagian partai pendukung Prabowo-Hatta ke kubu Jokowi-JK
sebenarnya sudah terlihat dengan "membelotnya" sebagian kader
Golkar.
Sikap
mendukung Prabowo-Hatta dari Partai Demokrat yang hanya dilakukan Ketua
Harian DPP Partai, bukan oleh Ketua Umum Susilo Bambang Yudhoyono, patut
dibaca sebagai strategi politik dua kaki yang juga dilakukan kubu Yudhoyono.
Di kubu PPP, sikap bekas wapres dan Ketua Umum PPP Hamzah Haz juga dapat dibaca strategi PPP, apalagi
setelah Ketua Umum PPP Suryadharma Ali dinyatakan sebagai tersangka korupsi
dana haji.
Dalam
konteks ini, kita membaca ada kebutuhan di kubu Jokowi-JK untuk memperkuat
barisan koalisi, terutama di parlemen. Sementara itu, ada kebutuhan di
sebagian partai pendukung Prabowo-Hatta untuk bergabung di pemerintahan. Belajar
dari pengalaman pengesahan UU MD3, apakah kubu Jokowi-JK akan bertahan dengan
koalisi ramping, tapi selalu kalah di parlemen?
Dengan
demikian, pilpres pun pada akhirnya tak lebih sebagai politik dagang sapi
yang menguntungkan elite politik ketimbang rakyat yang sudah susah payah
memberikan suaranya. Ketegaran Jokowi-JK untuk tetap prorakyat, dengan tidak
membagi-bagikan kursi menteri ke partai yang tidak berkeringat, dinantikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar