Pelacuran
Intelektual
Endang Suryadinata ;
Penulis
|
KORAN
TEMPO, 15 Juli 2014
Sudah
sering publik mencela ulah para pelacur, bahkan lokalisasinya pun kerap
terancam hendak ditutup, seperti yang terjadi di Gang Dolly, Surabaya.
Maklum, mereka hanya mengandalkan tubuhnya demi mendapat uang. Memang
definisi pelacuran atau prostitusi adalah penjualan jasa seksual demi uang.
Para
pelacur yang menjual tubuhnya demi uang mungkin lebih mudah dideteksi. Yang
sulit dilacak justru mereka yang mungkin melacurkan profesinya demi uang,
seperti para konsultan politik di berbagai lembaga survei pemilu. Kita tahu
bahwa demokrasi modern yang terlihat dalam pemilu membuka peluang bisnis guna
merancang dan menentukan sebuah strategi politik, termasuk membuat hitung
cepat (quick count).
Seharusnya,
para konsultan politik, apalagi yang berlatar belakang akademis, bisa menjaga
kehormatan profesi itu untuk tidak tergelincir menjadi "pelacur"
intelektual dan mampu menjaga independensi dengan tidak melayani semua
keinginan klien.
Tapi
ternyata setelah pilpres 9 Juli 2014 ada pelacur intelektual sehingga mengacaukan
demokrasi yang tengah kita bangun. Mereka jelas telah melakukan pembohongan
publik dengan merilis hasil hitung cepat yang mengabaikan etika,
profesionalisme, dan mengkhianati kebenaran.
Seperti
kita ketahui, ada perbedaan hasil hitung cepat yang begitu mencolok. Sebagian
besar lembaga survei memenangkan pasangan capres-cawapres nomor dua. Lembaga
itu yakni Saiful Mujani Research and
Consulting (SMRC), Lingkaran Survei Indonesia (LSI), CSIS Cyrus, Populi Center, Litbang Kompas, Indikator Politik Indonesia,
Radio Republik Indonesia, dan Poltracking.
Sedangkan
empat lembaga survei yang memenangkan pasangan capres-cawapres nomor satu,
yakni Pusat Kajian Kebijakan dan Pembangunan Strategis (Puskaptis), Lembaga
Survei Nasional (LSN), Jaringan Suara Indonesia (JSI), dan Indonesia Research Centre (IRC).
Akibat
hasil itu, terjadi rebutan klaim kemenangan. Ucapan selamat di televisi atau
spanduk ucapan selamat pun bertebaran. Publik pun terbelah, masing-masing
pihak merasa yakin akan kemenangan jagoan mereka dengan merujuk hasil hitung
cepat.
Perhimpunan
Survei Opini Publik Indonesia konon hendak menindak tegas lembaga survei yang
menjadi anggotanya dan telah melakukan kebohongan. Malah, bila perlu,
kebohongan mereka yang sudah masuk kategori kejahatan ini, perlu mendapat
hukuman setimpal.
Kebohongan
mereka jelas mencoreng dan mengotori pelaksanaan pilpres yang relatif
berlangsung baik dan aman. Padahal selama ini hitung cepat merupakan satu
manifestasi dari demokrasi modern untuk mengontrol hasil resmi pemilu. Dalam
pileg dan pilpres 2004 dan 2009, banyak lembaga survei melakukan hitung cepat
dengan hasil relatif sama, baik dengan sesama lembaga survei maupun dengan
hasil penghitungan suara oleh KPU.
Kini,
akibat kebohongan mereka, kita harus menanti hasil hitung cepat resmi dari
KPU. Hingga 22 Juli mendatang, segala kemungkinan bisa terjadi. Adalah
bencana jika politik kotor ala Machiavelli atau Sangkuni mencoba mencari
pembenaran. Kini kita berharap pergerakan kotak suara terus dikawal dan para
komisioner KPU bisa tetap netral dan tak tergiur untuk menjadi pelacur
intelektual, agar "vox
populi" sungguh menjadi "vox
Dei". Jangan mengkhianati suara rakyat, apalagi hendak memanipulasi.
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar