Kekalahan
Koalisi Partai Besar
Saut Maruli Siregar ; Pengamat Politik, Mantan Dosen Akabri di Magelang,
Mantan Diplomat Senior di KBRI Moskwa
|
SINAR
HARAPAN, 12 Juli 2014
Kemenangan pasangan Jokowi-JK dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 9 Juli
2014 telah menjadi catatan koalisi partai besar yang dibangun Prabowo-Hatta.
Tim pemenangan Prabowo-Hatta tak dapat membangun kekuatan rakyat untuk
mengusung pasangan Prabowo-Hatta sebagai presiden-wakil presiden yang baru.
Hal ini merupakan peringatan bagi seluruh parpol di Tanah Air, koalisi
sebesar apa pun, tidak begitu penting lagi bagi rakyat pemilih di masa
mendatang.
Pasangan capres-cawapres Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK) menjadi
pemenang pilpres dalam hitungan cepat yang digelar sejumlah lembaga survei.
Kemenangan pasangan tersebut dengan skor sementara 52 persen untuk pasangan
Jokowi-Kalla dan 48 persen untuk Pasangan Prabowo-Hatta. Hal ini pukulan
berat bagi koalisi partai besar yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta.
Hasil survei dari sejumlah lembaga survei jelas menunjukkan pasangan
Jokowi-JK mengungguli pasangan Prabowo-Hatta, dengan angka melampaui lebih dari
50 persen. Menurut hasil perhitungan cepat (quick count) ini, pasangan Jokowi-JK hampir dipastikan akan
menjadi presiden-wakil presiden periode 2014-2019.
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah memutuskan syarat capres-cawapres dalam
Pilpres 2014 cukup ditentukan dengan perolehan suara mayoritas atau lebih
dari 50 persen, tanpa menggunakan ketentuan sebaran suara 20 persen di lebih
dari separuh jumlah provinsi di Indonesia, atau 18 provinsi. Sebab, ketentuan
sebaran suara tersebut untuk capres-cawapres lebih dari dua pasang.
Apakah dengan hasil ini pasangan Jokowi-JK menang dalam satu putaran?
Berdasarkan hasil quick count yang
dihadiri saksi-saksi dari pasangan capres-cawapres Prabowo-Hatta, jelas
pasangan Jokowi-JK menang dalam satu putaran. Dari hasil tersebut, terlihat
jelas Jokowi-JK meraih suara lebih dari 50 persen, jauh mengungguli
Prabowo-Hatta, sehingga pilpres berlangsung satu putaran.
Kemenangan pasangan Jokowi-JK sebagai presiden-wakil presiden yang baru
berkat kekuatan rakyat (people power)
yang tidak menghendaki dominasi partai politik. Jadi, mampu mengalahkan
koalisi partai besar yang mendukung pasangan Prabowo-Hatta pada Pilpres 9
Juli 2014.
Kecenderungan publik untuk mengarahkan simpati kepada Jokowi-JK
tercermin dalam jumlah dukungan rakyat. Sosok pasangan Jokowi-JK yang
merakyat, jujur, dan sederhana mampu mengalahkan koalisi partai besar.
Para pemilih Pilpres 9 Juli 2014 jelas-jelas berpikiran kritis terhadap
koalisi partai besar. Dukungan Partai Demokrat dan partai besar lainnya ternyata
tak mampu mendongkrak perolehan suara untuk pasangan Prabowo-Hatta. Banyak
kader partai pengusung Prabowo-Hatta beralih mendukung Jokowi-JK. Terbukti,
dukungan Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, Golkar, dan Partai Demokrat,
termasuk PBB, tak mampu memenangkan pasangan Prabowo-Hatta.
Citra dan figur pasangan Jokowi-JK yang merakyat, membuat koalisi
partai besar tak dapat meyakinkan rakyat pemilih. Rakyat cenderung memilih
figur Jokowi-JK karena terpikat dengan gaya Jokowi yang merakyat, jujur,
tegas, dan sederhana. Ketokohan Jokowi-JK yang merakyat, merupakan pemimpin
bangsa yang tepat saat ini untuk mengusung perubahan.
Pasangan Jokowi-JK yang dinilai dekat dengan rakyat kecil akan membawa
gerakan perubahan. Bagaimana tidak? Demokrasi memerlukan transfer kekuasaan
dari elite kepada publik (Richard W Westerling dalam buku Macropolitics).
Tak peduli poros koalisi Jokowi-JK cuma mengumpulkan 207 kursi DPR (37
persen), itu efektif dan kuat dalam implementasi. Hal terpenting adalah
konsistensi, kesamaan, platform, ideologi, program, serta visi-misi.
Poros koalisi yang dibangun Jokowi seharusnya memang memperoleh 51
persen jumlah kursi di legislatif. Jika tidak, sejarah ketidakstabilan sistem
politik itu berulang lagi. Namun, sekiranya Prabowo terpilih jadi presiden
lalu membangun koalisi berkaki banyak di parlemen dan menguasai 560 kursi di
DPR, ia belum tentu mampu mengusung stabilitas dan perubahan.
Suara menteri dari sebuah partai di eksekutif sering bertolak belakang
dengan rekan-rekan separtainya di legislatif. Hal ini dapat mengakibatkan
ketidakstabilan sistem politik dan mengecewakan investor serta pasar saham.
Artinya, seandainya pasangan Prabowo-Hatta terpilih sebagai
presiden-wakil presiden dan memperoleh suara 50 persen plus satu, atau
mayoritas mutlak untuk mengendalikan oposisi, belum tentu menjamin
stabilitas. Koalisi tersebut akan hancur juga. Para politikus dan parpol
berbudaya “inkonsistensi”. Padahal, konsistensi diperlukan demi keberhasilan
implementasi.
Andaikan pasangan Prabowo-Hatta (jika terpilih presiden) dengan poros
koalisinya memperoleh 292 kursi atau 52 persen dari 560 kursi DPR, itu
berpotensi merusak stabilitas dan mengganggu perubahan. Koalisi gemuk membuat
Prabowo (jika terpilih presiden) akan mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan koalisi partai ketimbang kepentingan rakyat.
Jadi, sekalipun koalisi partai besar yang dibangun pasangan
Prabowo-Hatta (jika terpilih jadi presiden-wakil presiden) ingin membangun
bangsa kita, itu hanyalah ironi (kondisi yang bertentangan dengan apa yang
diharapkan). Koalisi sebesar apa pun yang dibentuk, tak kondusif terhadap
stabilitas nasional dan sistem pemerintahan presidensial yang kita anut.
Kemunculan sosok pasangan Jokowi-JK yang merakyat menjadi angin segar
bagi perubahan Indonesia ke arah lebih baik. Sebagian besar rakyat memercayai
kualitas JK yang telah berprestasi menyelesaikan konflik perdamaian di Tanah
Air.
Lagipula, kubu Prabowo tidak dibangun berdasarkan kesamaan platform,
ideologi, program, misi-visi. Padahal, kegagalan pemerintahan SBY antara lain
perbedaan ideologi dalam kabinetnya. Apa yang dialami SBY dalam
pemerintahannya, akan juga dihadapi Prabowo (jika terpilih). Jalannya
penyelenggaraan negara terantuk-antuk.
Sayang sekali, segala kemungkinan terburuk bisa saja terjadi pada
pascapenghitungan cepat ini (quick
count). Bukan tidak mungkin, banyak hantu pergolakan politik akan
bergentayangan. Kala hasil Pilpres 9 Juli ini tidak memuskan pihak lawan,
datangnya konflik fisik tidak pernah datang sekonyong-konyong dan tidak tanpa
peringatan.
Untuk itulah, dalam Pemilu 2019, sudah saatnya demokrasi kita terbebas
dari “virus” koalisi dan diikuti perubahan sistem pemilu. Sistem multipartai
yang kita terapkan seolah memasang dinamit di pondasinya sendiri. Sejarah
demokrasi Indonesia berbasis koalisi dan banyak partai, selalu menimbulkan
ketidakstabilan politik dan kemandekan perubahan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar