Kartu
Jakarta Pintar dan Ketimpangan
Arief Anshory Yusuf ;
Pengamat Ekonomi
|
KORAN
TEMPO, 18 Juli 2014
Artikel ini telah dimuat sebelumnya di KORAN TEMPO (TEMPO.CO) 09
Juli 2014
Selama
satu dekade terakhir, ketimpangan di Indonesia meningkat pesat. Badan Pusat
Statistik mencatat bahwa indeks Gini, indikator standar ketimpangan, sudah
menyentuh angka 0,41 sejak 2011. Angka tersebut merupakan yang tertinggi yang
pernah tercatat dalam sejarah Indonesia. Saat ini, rakyat Indonesia hidup di
dalam masyarakat yang 25 persen lebih timpang dibanding kondisi sepuluh tahun
lalu.
Daerah
Khusus Ibu Kota Jakarta merupakan salah satu provinsi yang paling timpang di
Indonesia. Berdasarkan data BPS, pada 2013, indeks Gini Jakarta tercatat
sebesar 0,43, jauh lebih tinggi daripada rata-rata nasional. Selama 11 tahun
terakhir (2002-2013), indeks Gini Jakarta meningkat sebesar 3 persen per
tahun. Dalam literatur ekonomi pembangunan, indeks Gini adalah salah satu
indikator yang perubahannya memakan waktu lama. Kenaikan 3 persen per tahun
cukup signifikan.
Faktor
yang mempengaruhi peningkatan ketimpangan tersebut bisa beragam. Tapi, satu
faktor yang penting adalah keberpihakan anggaran negara. Semakin sedikit
alokasi pengeluaran pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dinikmati oleh
kalangan bawah, masyarakat akan semakin timpang. Dan makin banyak alokasi
anggaran dinikmati kaum menengah atas, ketimpangan akan semakin tinggi.
Peran
negara yang paling hakiki dalam sebuah sistem ekonomi pasar, seperti yang
dianut di Indonesia, adalah peran distribusi. Negara bisa menerapkan pajak
progresif dari segi penerimaan, dan melakukan transfer kepada penduduk yang
kurang beruntung dari segi pengeluaran. Intinya, kebijakan fiskal (anggaran)
merupakan kekuatan utama negara untuk menegakkan keadilan ekonomi.
Sudahkah
anggaran negara di Indonesia menjalankan peran seperti itu? Sepertinya tidak.
Data APBN 2013, misalnya, menunjukkan penerimaan pajak penghasilan (PPh) masyarakat
(pasal 21) mencapai Rp 102 triliun. Sementara itu, subsidi BBM, pada tahun
yang sama, berjumlah Rp 199 triliun. Studi menunjukkan 70 persen subsidi
tersebut (Rp 140 triliun) dinikmati 40 persen golongan terkaya. Pada saat
yang sama, anggaran bantuan sosial hanya Rp 82 triliun. Artinya, orang kaya
justru dibayari oleh negara, dan orang miskin tidak memperoleh alokasi fiskal
semestinya. Negara tidak menjalankan fungsi redistribusinya. Wajar saja jika
Indonesia semakin lama semakin timpang.
Salah
satu program pemerintah, dalam hal ini pemerintah daerah DKI Jakarta, yang
mempunyai potensi mengurangi ketimpangan adalah program Kartu Jakarta Pintar
(KJP). Program KJP atau yang secara resmi disebut program Pemenuhan Kebutuhan
Biaya Personal Siswa Miskin (BPSM) menggelontorkan dana Rp 804 miliar per
tahun (2013) untuk mensubsidi pengeluaran kebutuhan siswa miskin di Ibu Kota.
Subsidi ini dapat digunakan oleh siswa miskin untuk belanja kebutuhan
transportasi, buku dan alat tulis, baju, sepatu, bahkan tambahan makanan dan
minuman.
Dari
segi besarannya, program KJP ini cukup masif karena ditargetkan untuk
diberikan kepada 332.465 siswa miskin atau 20 persen dari seluruh siswa
sekolah dasar dan menengah di Jakarta. Nilai nominalnya pun relatif cukup
besar. Belanja bulanan kelompok rumah tangga 20 persen termiskin di Jakarta,
misalnya, mencapai Rp 1,4 juta per bulan (SUSENAS, 2012). Jika mereka
mempunyai dua anak yang bersekolah di SD, berarti program KJP mengurangi
beban sebesar Rp 360 ribu atau 26 persen dari pengeluaran totalnya.
Dengan
kondisi ketimpangan yang tinggi di Jakarta, program KJP sangat berpotensi
mengurangi ketimpangan tersebut. Namun, dampak program ini terhadap
ketimpangan, sepanjang pengetahuan penulis, belum pernah diestimasi. Tulisan
ini mencoba untuk melakukan penghitungan tersebut.
Dengan
menggunakan data SUSENAS 2012, yaitu data baseline di mana program KJP belum
diimplementasikan, penulis melakukan simulasi program KJP dan menghitung
dampak program tersebut terhadap indikator ketimpangan, yaitu indeks Gini DKI
Jakarta. Hasil pengurangan ketimpangan yang akan dihitung merupakan potensi
pengurangan ketimpangan yang pada realisasinya bergantung pada banyak hal,
seperti kebocoran dan ketidaksempurnaan lainnya.
Hasil
simulasi menunjukkan bahwa program KJP berpotensi mengurangi ketimpangan
(indeks Gini) sebesar 1,6 persen. Mengingat rata-rata setiap tahun indeks
Gini Jakarta naik 3 persen, pengurangan 1,6 persen itu bisa dikatakan
spektakuler. Ini artinya, besarnya kenaikan ketimpangan per tahun di Jakarta,
setengahnya, bisa diredam oleh program KJP. Dalam memperhitungkan kebocoran
pun (seperti hasil studi ICW sebesar 19 persen), dampak pengurangan
ketimpangannya tetap terasa signifikan.
Perlu
juga untuk dicatat bahwa dampak tersebut sifatnya hanyalah immediate impact,
yaitu dampak yang dirasakan melalui peningkatan daya beli dari masyarakat
miskin. Dampak tidak langsungnya melalui peningkatan kualitas sumber daya
insani (human capital) dari
masyarakat miskin tentunya juga akan mengurangi ketimpangan ekonomi di masa
mendatang.
Contoh
tersebut merupakan best practices
pengelolaan anggaran yang berorientasi keadilan. Rasanya, satu contoh cukup
untuk membuktikan bahwa dengan kepemimpinan yang konsisten dan gigih memihak
kepada rakyat, Indonesia tidak hanya bisa lebih makmur, tapi juga lebih adil
pada masa mendatang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar