Menakar
Koalisi Pascapilpres
Ikhsan Darmawan ;
Dosen Departemen Ilmu Politik FISIP UI
|
SINAR
HARAPAN, 15 Juli 2014
Pemilihan
presiden (pilpres) baru saja dihelat pada 9 Juli lalu. Seluruh rakyat
Indonesia sedang menunggu hasil penghitungan resmi oleh Komisi Pemilihan Umum
(KPU) yang direncanakan dilakukan pada 22 Juli.
Berkaitan
dengan hal itu, sebuah hal yang menarik untuk mendiskusikan kemungkinan
pemerintahan selama lima tahun ke depan akan berjalan, meskipun memang belum
ada keputusan definitif soal hal tersebut.
Setelah
pilpres selesai, terdapat ketegangan yang disebabkan saling klaim kemenangan
oleh kedua kubu yang didukung lembaga-lembaga survei. Walaupun demikian, kita
berasumsi, sampai dengan keluarnya putusan KPU, kedua calon presiden (capres)
yang bertarung masih berpeluang sama untuk menang.
Penulis
berpandangan, siapa pun capres yang menang nanti tidak akan bisa lepas dari
“perangkap” kompleksitas sistem presidensial multipartai di Indonesia.
“Perangkap” yang dimaksud, yaitu walaupun Indonesia menganut sistem
presidensial, Presiden Indonesia pasca-Orde Baru tetap “harus” memperhatikan
konstelasi kekuatan politik di parlemen.
Pasalnya,
parlemen memiliki sejumlah hak, seperti hak interpelasi dan hak angket, yang
dalam sejarahnya pernah membuka pintu diberhentikannya Gus Dur dari kursi
kepresidenan. Selain itu, dikarenakan jumlah partai yang banyak, sulit sebuah
partai politik (parpol) meraup suara mayoritas di DPR agar tetap “didukung”
DPR.
Berbeda
dengan cara pandang “negatif” akan sistem presidensial multipartai di atas,
Djayadi Hanan dalam bukunya Menakar Presidensialisme Multipartai di Indonesia
(2014) bercara pandang yang relatif berbeda dalam melihat sistem presidensial
multipartai.
Bila
kebanyakan scholars, seperti Scott Mainwaring dan Juan Linz, berpegangan
kepada argumen bahwa kombinasi sistem presidensial dan multipartai itu
problematik,
Hanan
justru menilai, praktik pemerintahan di Indonesia pasca-Orde Baru justru
berjalan relatif baik. Hal itu disebabkan oleh setidaknya dua faktor, yakni
figur presiden yang menyenangi koalisi dan tindak tanduk elite politik yang
cenderung akomodatif dan menomorsatukan konsensus.
Berangkat
dari argumen Hanan, siapa pun yang terpilih menjadi presiden kemudian akan
tetap mengedepankan strategi merangkul parpol-parpol untuk berkoalisi. Ini
agar tak mengganggu selama lima tahun masa jabatannya.
Prabowo
Subianto didukung enam parpol yang ada di DPR (Partai Golkar, Partai
Gerindra, Partai Demokrat, PAN, PKS, dan PPP) plus PBB. Dalam kalkulasi
dukungan di parlemen, Prabowo didukung 63,02 persen dari jumlah keseluruhan
anggota DPR.
Calon
presiden nomor 1 ini sudah pasti mesti mengakomodasi sandera parpol yang
mendukungnya di pilpres. Dalam politik, there is no free lunch. Berkaca
pengalaman sebelumnya, kursi di kabinet adalah bagian dari kesepakatan
dukungan tersebut.
Begitu
pula Jokowi yang disebut hanya merangkul empat parpol di DPR (PDIP, PKB,
Partai Nasdem, dan Partai Hanura) plus PKPI, hanya didukung 36,98 persen dari
total seluruh anggota DPR. Meskipun Jokowi mengatakan akan berusaha membuat
koalisi ramping dan tanpa syarat, penulis berkeyakinan, jika terpilih nanti,
ia tetap “membutuhkan” parpol lain.
Kata
“butuh” di sini memiliki dua makna. Pertama, bisa jadi Jokowi berubah pikiran
setelah pemerintahan berjalan diganggu parpol-parpol yang tidak masuk koalisi
lewat anggota mereka di DPR.
Pendapat
ini berkaca pengalaman sebelumnya yang menunjukkan, selama dua periode
menjabat, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) selalu “diganggu” DPR
dengan kasus-kasus seperti Bank Century, kenaikan harga bahan bakar minyak
(BBM), dan mafia pajak.
Kedua,
parpol yang sebelumnya mendukung Prabowo akan mendekat ke Jokowi karena
“kebutuhan untuk tetap berada dalam pemerintahan”. Parpol yang paling mungkin
melakukan hal ini adalah Golkar. Sejarah menunjukkan, Partai Golkar tidak
pernah bisa berada di luar pemerintahan.
Tahun
2004, setelah SBY berpasangan dengan Jusuf Kalla, Partai Golkar mendekat ke
SBY dan menggabungkan diri dalam Kabinet SBY 2004-2009 dengan beralasan,
Jusuf Kalla juga merupakan anggota Partai Golkar. Juga pada 2009, setelah
Jusuf Kalla gagal meraih kursi dalam pilpres, Partai Golkar setelahnya
mendekat ke SBY dan kembali merangsek dalam pemerintahan SBY 2009-2014.
Singkatnya, corak pemerintahan lima tahun ke depan tampaknya tidak jauh
berbeda dengan pemerintahan sepuluh tahun sebelumnya.
Ke
depan, siapa pun presidennya, memang sangat sulit berkelit dari keharusan
berkoalisi. Namun, presiden terpilih harus bisa mengajukan daya tawar kepada
parpol peserta koalisi, berupa keniscayaan membentuk zaken kabinet (kabinet
ahli).
Selama
dua periode SBY menjabat, hal itu yang sulit di-bargain SBY kepada parpol-parpol. Bila usaha kuat untuk mendorong
kabinet yang diisi menteri-menteri ahli tidak dilakukan presiden terpilih,
hal itu sama saja mengulang kembali sejarah politik yang sebelumnya pernah
terjadi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar