“Torero”
dari Belanda
Sindhunata
; Wartawan Senior, Pemimpin Redaksi Majalah Basis
|
KOMPAS,
15 Juni 2014
Andaikan
sepak bola seperti tinju, Belanda sudah berkali-kali juara. Dalam tinju,
penantang langsung menyandang sabuk juara bila ia mengalahkan juara bertahan.
Dalam sepak bola, Belanda sering mengalahkan juara bertahan Spanyol. Namun,
karena bola bukan tinju, mereka pun tak bisa mengangkat piala juara.
Sejak
1974, ketika Johan Cruyff dan kawan-kawan menurunkan Brasil dari takhta juara
dunia dengan skor 2-0 (satu-satunya kekalahan Brasil di putaran kedua Grup A
yang membuat Brasil gagal ke final), dalam 10 pertandingan berikutnya melawan
juara dunia, 4 kali Belanda menang, 6 kali seri, dan tak pernah kalah.
Kendati sudah menggebuki juara dunia, selama kurun 40 tahun itu, Belanda toh
tak pernah jadi juara dunia.
Tragisnya,
tiga kali mereka menapakkan kaki dalam pertandingan final, tiga kali itu pula
Belanda gagal menjadi juara. Belanda lalu terkenal sebagai spesialis juara
kedua. Syukur tragika mereka itu masih disertai dengan kebanggaan lain,
yakni
”pembunuh juara dunia”. Predikat ini ternyata terbukti sekali lagi ketika
tanpa ampun mereka melindas Spanyol, juara dunia 2010, telak, 5-1.
Mimpi
buruk bagi juara dunia. Belanda telah menempeleng kami. ”Penghinaan terhadap
Juara Dunia di Hadapan Dunia Global”. ”Awal Terjelek dalam Sejarah Sepak Bola
Spanyol”. Demikian komentar-komentar pers Spanyol terhadap kekalahan telak
”La Furia Roja” dalam laga pertama Grup B Brasil 2014 di Stadion Salvador,
Jumat (13/6) malam.
Memang
malam itu Spanyol bagaikan banteng yang jinak
di
hadapan Belanda. Dan siapakah el torero, sang petarung, paling gagah yang
dapat menjinakkan banteng itu? Dia adalah Robin van Persie. Melihat aksi Van
Persie, pantas jika ada fans Belanda menggambarkan Van Persie sebagai torero
dan Spanyol sebagai banteng. Banteng itu diselubungi bendera Spanyol dan Van
Persie berkostum torero menggoda banteng itu dengan kibaran bendera oranye,
sampai kelihatan si banteng kelelahan dan kehabisan daya.
Karena
sundulan maut, disertai aksi terbang yang fantastis, Van Persie juga mendapat
julukan baru: the flying dutchman. Dia burung atau pesawat terbang? Begitu
puja-puji fans ”Oranye”. Memang pada menit ke-44 itu penonton disuguhi
pemandangan spektakuler.
Daley
Blind berlari membawa bola ke tengah, lalu mengumpan lambung jauh ke depan.
Didorong oleh intuisinya yang tajam, Van Persie melakukan sprint, melompat,
lalu menyorongkan tubuh sambil kepalanya menanduk bola umpan. Aksinya
selaksana terbang. Kemudian ia ”mendarat”, tak tahu apa yang terjadi, tapi
ketika mendongak sedikit, ia melihat sundulannya telah berbuah menjadi gol.
Ia pun lari menghampiri pelatih Louis van Gaal. Mereka pun saling memberi
toss kemenangan.
”Belanda
bermain dengan sensasional. Gol Van Persie adalah bukti, ia mempunyai
kepercayaan diri luar biasa,” komentar mantan pemain Inggris yang kini
menjadi analis bola, Alan Shearer. Menurut Shearer, di samping Van Persie dan
Arjen Robben, Daley Blind harus disebut sebagai pemain yang brilian.
”Pertandingan malam itu sesungguhnya bisa berakhir 7-1 atau 8-1 untuk
Belanda,” tambah Shearer.
”Saya
tahu, kami akan menang. Tapi saya sendiri tidak mengira, kami akan menang dengan
demikian banyak gol,” kata Louis van Gaal dengan penuh percaya diri. Van Gaal
sangat bahagia karena dengan kemenangan yang spektakuler itu, ia sekaligus
telah membungkam para pengkritiknya selama ini.
Dengan
berani, Van Gaal meninggalkan permainan klasik Belanda yang 4-3-3. Ini
berarti, ia tidak lagi bertumpu pada sistem sepak bola yang total menyerang.
Sistem yang khas Belanda itu digantinya dengan sistem 5-3-2 yang
mengunggulkan pertahanan dan membangun serangan secara bertahap.
Seperti
ditulis oleh kolumnis Christian Eichler, putusan Van Gaal ini dikecam keras,
misalnya oleh Ronald Koeman, libero Belanda yang meraih Piala Eropa 1988, dan
Arie Haan, gelandang tim legendaris Belanda di Piala Dunia 1974. Van Gaal
dianggap telah melakukan ”dosa asal”, kesalahan yang tak terampuni, karena
melanggar dogma sepak bola Belanda. Haan menuntut Van Gaal untuk kembali
kepada sistem 4-3-3 dan mempertahankan total football-nya.
”Dengan
memainkan sistem itu, kami kembali pada identitas kami. Sejak 1974, sepak
bola Belanda dikenal dengan tata sistemnya yang ofensif, dan sungguh suatu
dosa asal, bahwa 40 tahun kemudian sistem yang khas kami itu dibuang begitu
saja ke luar jendela,” kata Haan.
Kendati
muncul pelbagai kritik, Van Gaal bergeming pada keputusannya. ”Sistem yang
saya ambil adalah sistem yang memperhitungkan kekuatan dan kelemahan para
pemain saya,” katanya. Menurut dia, sistem itu cocok untuk kesebelasannya
karena secara faktual, dalam beberapa dekade ini, para pemain Belanda hanya
rata-rata kemampuannya.
Melawan
Spanyol di Piala Dunia 2014, kesebelasan Belanda memang memperlihatkan watak
berbeda. Pertahanan mereka sangat kokoh, dan kelihatan bagaimana Robben dan
Sneijder dengan cepat berbalik ke belakang begitu pertahanan mereka digedor
oleh Iniesta dan kawan-kawannya. ”Saya tidak tergoda oleh kritik yang
menantang kami untuk bermain ofensif. Saya ingin agar kesebelasan saya
bermain kompak. Bagi saya, soalnya tidak terletak pada sistem, tapi pada
pemberian diri setiap pemain, yang menjalankan sistem yang telah kami pilih,”
kata Van Gaal.
Van Gaal
sangat kukuh pendiriannya. Pantas jika pers mengatakan Van Gaal telah
mendengarkan opini banyak pakar bola, tapi baginya hanya ada satu pakar bola
yang harus ia patuhi, dan pakar bola itu tak lain adalah Louis van Gaal.
Sampai saat ini Van Gaal hanya bisa dibenarkan. Pantas jika karena
kemenangannya yang gemilang atas Spanyol, fans Belanda menggambarkan dirinya
dan memberinya nama: Jesus van Gaal. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar