The
Tank Man
Goenawan
Mohamad ; Esais, Mantan Pemred Majalah TEMPO
|
TEMPO.CO,
16 Juni 2014
Ia disebut "The Tank
Man": seorang berbaju putih yang berdiri sendirian di tengah jalan,
menghadang empat tank yang bergerak ke Tiananmen, Beijing.
Hari itu 5 Juni 1989.
Siapa dia? Tak ada yang tahu.
Bisa jadi ia warga biasa yang tiba-tiba tak bisa menahan marah melihat
tentara datang lagi setelah membunuh puluhan demonstran di Lapangan Tiananmen
40 jam sebelumnya. Mungkin ia hendak berseru: "Kembalilah kalian! Korban
sudah cukup!"
Kita tak tahu itukah yang
dikatakannya. Tapi sejak itu, dunia mengenangnya: sosok pemberani yang
diabadikan kamera dari jauh, tubuh yang bagaikan sebatang tiang yang
tegak-tiang putih yang menyangga hal-hal yang tak kasatmata: keinginan bebas
dari takut dan kekerasan, keberanian bersikap, dan tekad yang mempercayai
dialog, bahkan dialog dengan pasukan infanteri yang siap tempur.
Orang bisa mengatakan, "The
Tank Man" menghendaki apa yang mustahil. Sebab, Pemerintah begitu kuat.
Penguasa di Beijing itu bisa dengan mudah mematikan suara yang menuntut
kemerdekaan bersuara dan mematikan mereka yang tak disukai bersuara.
Juga: mematikan ingatan tentang
semua kematian itu.
Ada seorang ibu bernama Xu Jue.
Dalam sebuah tulisan di The New York Review of Books, 5 Juni lalu, Ian
Johnson menulis tentang wanita ini, yang anaknya mati ditembak tentara dan
suaminya meninggal dirundung sedih. Tiap musim semi, di hari raya Qingming,
Xu Jue bermaksud mengunjungi makam anak dan suaminya.
Tapi polisi mencegahnya
datang tepat 5 April, ketika festival menghormati para mendiang itu
dirayakan. Ibu itu boleh datang ke makam anaknya, tapi beberapa hari sebelum
itu. Dan polisi akan menyertainya-meskipun harus membaca tulisan di nisan
itu: "4 Juni, 1989".
Seorang ibu lain, Ding Zilin,
ingat tanggal yang agak berbeda: 3 Juni, 1989. Hari itu anaknya juga ditembak
tentara yang memadamkan demonstrasi di Tiananmen. Dalam perkabungannya, ibu
ini menghubungi keluarga yang juga kehilangan anak mereka di Juni yang
berdarah itu. Ding Zilin membentuk satu jaringan ("Para Ibu
Tiananmen") yang mencoba menemukan informasi tentang mereka yang tak
pulang. Ia beberapa kali menjadi tahanan rumah, tapi ia tak menyerah. Sampai
Agustus 2011, jaringan ini mencatat 202 korban.
Tangan yang berdarah (dan
berkuasa) harus mematikan ingatan seperti itu. Yang dihadapi bukan sekadar
catatan tentang masa lalu. Ingatan itu juga sebuah tuntutan keras ke masa
depan. Membungkam kenangan tentang kekejaman penting, sebab berkuasa harus
siap dengan alasan bagi kekejaman baru.
Sejarah politik Tiongkok penuh
dengan kekejaman itu. Juga ingatan dan represi atas ingatan. Penyair dan
penulis prosa dokumenter, Liao Yiwu, punya masa lalu yang terapung-apung
antara hidup dan mati. Di pertengahan 1960-an, ayahnya, seorang guru, dituduh
"kontrarevolusioner" oleh Pengawal Merah selama Revolusi Kebudayaan
yang digerakkan Mao Zedong. Si ayah dipecat dan dikucilkan masyarakat. Si ibu
terpaksa menceraikannya agar bisa hidup dengan anaknya.
Tapi, pada suatu
hari, untuk dapat membeli makanan, perempuan itu menjual kupon jatah pakaian
yang dibagikan Negara. Si ibu ditangkap dan diarak bersama sejumlah penjahat
di panggung Gedung Opera Kota Sichuan, kota kelahirannya.
Liao Yiwu, yang beberapa kali
disekap dan sajaknya diharamkan, memandang dengan pahit masa lalu yang
dibangun dan dihancurkan Mao. Seperti ditulisnya dalam The New York Review of
Books, Mao tak pernah minta maaf.
Mao tak minta maaf dan kekerasan
dilakukan kembali. "Revolusi bukan jamuan makan malam," itu
ucapannya yang termasyhur. Harus ada pengorbanan untuk kemenangan Revolusi
buruh dan tani, harus dibenarkan tindakan yang brutal jika hanya itu yang
mungkin.
Tiap laku politik, juga yang
revolusioner, tampaknya mengamini dalil Bismarck di Jerman di abad ke-19,
yang mengembangkan kekuasaan dengan "darah dan besi": Die Politik
ist die Lehre vom Möglichen. Politik hanya bisa bertolak dari apa yang
mungkin, dan sebab itu ia kiat memainkan apa yang mungkin.
Berdiri di tengah Avenue
Chang'an, "The Tank Man" tak mengikuti dalil itu. Hari itu ia
contoh aksi politik yang digerakkan apa yang tak mungkin. Ia tak mengatakan,
"Karena aku mustahil menang, aku lebih baik diam; kalaupun keadaan tak
bisa hapuskan kekejaman, biarlah, tak ada rotan akar pun jadi."
"The
Tank Man" adalah isyarat: mereka yang mengatakan "tak ada rotan,
akar pun jadi" lama-kelamaan bisa lupa bahwa rotan ada, tak mustahil,
meskipun bukan di hari ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar