Sengketa
Pilkada
Harifin
A Tumpa ; Mantan Ketua Mahkamah Agung
|
KOMPAS,
03 Juni 2014
PUTUSAN
Mahkamah Konstitusi, beberapa hari yang lalu, telah menimbulkan banyak
komentar dan pendapat, terutama siapa yang
akan menyelesaikan apabila terjadi sengketa hasil pemilu kelak. Ada
yang berpendapat sebaiknya dibentuk lembaga baru. Ada pula yang berpendapat
bahwa harus dikembalikan lagi ke Mahkamah Agung.
Namun,
menurut berita media massa, Mahkamah Agung menolak menangani. Artinya,
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman
(yudikatif) menolak. Orang tua bilang, ia tidak diterima oleh bumi dan
langit.
Pada
2008, desakan publik begitu deras
meminta agar kewenangan sengketa pilkada diserahkan dari Mahkamah Agung (MA)
kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan penanganan oleh MA menimbulkan
banyak masalah. Alasan lain, pilkada masuk rezim pemilu sehingga merupakan
kewenangan MK. Menurut pendapat saya, sengketa pilkada memang seharusnya ke
MK karena persoalan pilkada dan pemilu menu utamanya sama, dua-duanya ada
persoalan hukum dan politik bercampur baur. Jadi, jika sengketa pemilu masuk
ke MK, kenapa sengketa pilkada tidak.
Sewaktu
pilkada ditangani oleh MA dan jajarannya ada tiga masalah yang muncul.
Pertama, kasus pilkada Depok, yang menurut hasil perhitungan Komisi Pemilihan
Umum (KPU) Depok, pemenangnya adalah Nur Mahmudi. Karena pihak lawannya
merasa ada kecurangan, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Bandung
yang kemudian mengabulkan gugatan tersebut. Alasan pengabulan gugatan adalah
adanya kecurangan, antara lain penggelembungan suara, tetapi anehnya suara
yang diperoleh dengan cara curang tersebut ditambahkan kepada suara penggugat.
Putusan
ini menimbulkan reaksi masyarakat. Akhirnya MA berpendapat bahwa satu-satunya
cara mengoreksi putusan itu adalah melalui upaya hukum peninjauan kembali
(PK). Walaupun di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan putusan
Pengadilan Tinggi adalah bersifat final dan mengikat, MA berpendapat bahwa
pengertian final dan mengikat itu adalah berkekuatan hukum tetap (incracht
van gewijsde). Suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap hanya dimungkinkan
untuk peninjauan kembali. MA kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi
Bandung dan menolak gugatan penggugat.
Kedua,
kasus pilkada gubernur Maluku Utara. Kasus ini sesungguhnya bukan masalah
kasus hukum pilkada, melainkan ada dugaan suap kepada majelis hakim konstitusi. Namun,
ternyata tuduhan tersebut tidak bisa
dibuktikan menurut hukum.
Ketiga,
kasus pilkada gubernur Sulawesi Selatan. Pihak pemenang adalah Syahrul Yasin
Limpo. Namun, lawannya tidak menerima putusan KPU tersebut dan mengajukan
gugatan ke MA yang kemudian membatalkan putusan KPU itu dan memerintahkan
agar di beberapa daerah tingkat II diadakan pemilihan ulang dengan alasan di
daerah tersebut ditemukan adanya kecurangan, baik berupa penggelembungan
suara maupun kecurangan lain. Putusan ini juga menimbulkan reaksi masyarakat.
Pihak pemenang semula kemudian melakukan upaya hukum PK. MA yang mengadili
kasus ini dalam peninjauan kembali membatalkan putusan MA dan kemudian
menolak gugatan penggugat.
Setelah
kewenangan sengketa pilkada ditangani MK, reaksi masyarakat bukannya
berkurang atas putusan sengketa pilkada, melainkan malah meningkat. Kita
ingat, misalnya, sengketa pilkada di Sumatera Utara yang menimbulkan polemik
berkepanjangan antara Ketua MK pada waktu itu, Mahfud MD, dan Refly Harun sampai dibentuk tim
pencari fakta. Sayang sekali kasus ini bak ditelan bumi. Sesungguhnya jika
kasus ini diselesaikan dengan tuntas pada waktu itu, kemungkinan kasus Akil
Mochtar jilid 2 yang sekarang ini tidak ada.
Kasus
lain yang juga disoroti publik adalah pilkada Kota Palembang, pilkada Jawa
Timur, pilkada Bali, dan pilkada lain. Namun, yang paling disorot orang
adalah pilkada Kotawaringin Barat. Pihak yang menang, berdasarkan penetapan
KPU, oleh MK dinyatakan kalah dan kemudian MK sendiri langsung menetapkan
siapa yang menjadi pemenangnya.
Kisruhnya penyelesaian sengketa
Ada
beberapa penyebab terjadinya kisruh. Pertama, kadang-kadang hakim yang
menangani sengketa terperangkap pada dalil-dalil para pihak sehingga mereka
keluar dari kompetensi atau kewenangan mereka. Misalnya, jika penggugat
mendalilkan ada kecurangan, penggelembungan suara, pemalsuan berita acara
penghitungan suara, dan lain-lain, para hakim, baik di MA/Pengadilan Tinggi
maupun MK, memeriksa secara detail dan bahkan kemudian muncul istilah adanya
kecurangan yang masif (istilah hakim konstitusi) yang bisa menjadi alasan
pembatalan suatu penetapan pemenang pilkada. Padahal sesungguhnya kewenangan
MK dan MA dulu hanya terbatas pada perselisihan jumlah suara.
Apabila
ada kecurangan, penggelembungan suara, dan kecurangan lain, hal ini harus
diselesaikan lebih dahulu oleh panitia pengawas (panwas) ataupun penegak
hukum lainnya. Apabila apa yang didalilkan para pihak tentang
kecurangan-kecurangan sudah diperiksa oleh panwas, hal itu tidak perlu lagi
diperiksa oleh hakim sengketa pilkada. Apabila belum pernah diajukan ke
panwas, hakim harus berani menyatakan ia tidak berwenang memeriksa hal
tersebut. Inilah yang terjadi di pilkada Depok, pilkada Sulawesi Selatan,
pilkada Kotawaringin Barat, dan lain-lain sehingga terjadi kekeliruan yang
menimbulkan tanggapan negatif dari publik.
MK yang
membatalkan kemenangan calon bupati yang ditetapkan oleh KPU dan langsung
menetapkan pemenangnya menimbulkan tanda tanya orang: sejak kapan MK
mempunyai kewenangan menetapkan seseorang sebagai calon bupati? Bukankah
kewenangan itu ada di tangan KPU? Tidaklah heran jika kemudian Gubernur
Kalimantan Tengah Teras Narang menolak untuk melantik calon yang ditetapkan
oleh MK. Suatu sikap yang patut didukung karena memang suatu putusan
pengadilan tidak bisa dilaksanakan apabila berada di luar kewenangannnya.
Kekeliruan
yang terjadi sesungguhnya harus bisa dikoreksi. Namun, nasi sudah jadi bubur,
putusan MK final dan mengikat dan tidak ada institusi lain yang bisa
mengoreksi MK. Hal ini berbeda dengan MA apabila ada kekeliruan, yang
walaupun juga dikatakan final dan mengikat, masih ada upaya hukum lain yang
bisa dibuka dengan melakukan rechtsvinding.
Kedua,
ranah sengketa pilkada banyak dipengaruhi oleh suasana politik. Seharusnya
hakim sengketa pilkada tidak boleh terseret arus politik. Oleh karena itu,
seorang hakim sengketa pilkada hanya boleh mempersoalkan hasil akhir
perhitungan suara, apakah ada kekeliruan atau tidak. Hakim tidak perlu
mempersoalkan terjadinya jumlah itu. Sebab, hal-hal yang memengaruhi
terjadinya suatu jumlah adalah tugas instansi lain, yakni panwas, KPU,
polisi, dan lain-lain.
Ketiga,
dimungkinkan hakim sengketa pilkada keluar dari kewenangannya karena adanya
intervensi, baik uang (suap) maupun lainnya, karena yang dipersoalkan adalah
sesuatu yang tidak pasti. Hakim yang integritasnya rendah akan dapat dengan
mudah ”dimasuki”, terutama oleh hal-hal yang tidak pasti itu.
Di mana sengketa harus
diselesaikan
Pada
waktu sengketa pilkada diserahkan ke MK, saya waktu itu sebagai Wakil Ketua
MA betul-betul bergembira dan bersyukur persoalan tersebut lepas dari MA.
Persoalan ini memang persoalan yang berat bagi hakim karena yang harus dihadapi
adalah persoalan hukum yang bercampur baur dengan persoalan politik (orang
ikut pilkada hanya siap untuk menang dan tidak siap untuk kalah). Jika hakim
tidak bisa memisahkan persoalan-persoalan hukum dan terseret pada persoalan
berbau politik, pasti ia akan menuai badai.
Oleh
karena itu, sesungguhnya lembaga peradilan (MA ataupun MK) tidak perlu galau
menghadapi persoalan sengketa pilkada asalkan mampu menahan diri tidak
mengambil kewenangan instansi lain serta memilah mana persoalan hukum dan mana
persoalan berbau politik. Jika MK ataupun MA menolak untuk menerima beban
itu, publik akan bertanya apa boleh pelayanan publik dapat dipilih
berdasarkan asumsi suka atau tidak suka. Seharusnya mereka menyatakan siap
menerima tugas yang dibebankan bagaimanapun risikonya.
Sengketa
pilkada sesungguhnya sengketa keperdataan. Suatu sengketa perdata apa pun
hanya dapat diselesaikan oleh pihak ketiga yang tidak memihak. Di dalam
praktiknya, pihak ketiga yang dapat menyelesaikan suatu sengketa adalah,
pertama, lembaga yudikatif yang merupakan organ negara dan kedua, lembaga
perwasitan atau arbitrase yang merupakan badan swasta. Lembaga yudikatif (MA
dan jajarannya serta MK) bertugas menyelesaikan suatu sengketa karena
diberikan wewenang oleh UU, sedangkan badan perwasitan atau arbitrase baru
dapat bertindak untuk menyelesaikan suatu sengketa apabila ditunjuk atau
disetujui oleh para pihak yang bersengketa.
Biasanya
persetujuan untuk menggunakan wasit atau arbiter lebih dahulu dibuat dalam
suatu perjanjian. Namun, bagi Indonesia yang mungkin menjadi kendala adalah
sampai saat ini di Indonesia belum ada lembaga perwasitan atau arbitrase yang
bergerak dalam bidang sengketa politik dan tidak ada UU yang mengaturnya.
Yang ada barulah arbitrase yang bergerak dalam bidang perdagangan, misalnya
BANI, Arbitrase Syariah, dan Arbitrase Pasar Modal.
Namun,
hal ini tidaklah menghalangi kita apabila pihak-pihak yang terlibat dalam
suatu pilkada bersepakat (sebelum pilkada dilaksanakan atau sesudah
terjadinya sengketa) bahwa jika terjadi sengketa mereka akan memilih wasit
atau arbiter yang mereka setujui bersama, bisa satu orang atau tiga orang
atau lebih asalkan jumlah ganjil. Saya kira model ini bisa dicoba oleh KPU
pelaksana pilkada. Keuntungan dari cara ini, putusan wasit atau arbiter
bersifat final dan mengikat.
Meski demikian, lembaga yudikatif (MA) harus siap menerima tugas itu
jika UU menentukan demikian karena lembaga perwasitan atau arbitrase hanya
bersifat kasuistis, tidak bisa diperlakukan secara umum. Apabila para pihak
tidak mau atau tidak memilih wasit/arbitrase, mau atau tidak mau, suka atau
tidak suka, lembaga peradilan harus siap. Akan tetapi, apabila para pihak
sudah menentukan pilihannya memilih wasit atau arbitrase, badan peradilan
tidak berhak lagi memeriksa sengketa pilkada yang bersangkutan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar