Rabu, 04 Juni 2014

Sengketa Pilkada

Sengketa Pilkada

Harifin A Tumpa  ;   Mantan Ketua Mahkamah Agung
KOMPAS,  03 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
PUTUSAN Mahkamah Konstitusi, beberapa hari yang lalu, telah menimbulkan banyak komentar dan pendapat, terutama siapa yang  akan menyelesaikan apabila terjadi sengketa hasil pemilu kelak. Ada yang berpendapat sebaiknya dibentuk lembaga baru. Ada pula yang berpendapat bahwa harus dikembalikan lagi ke Mahkamah Agung.

Namun, menurut berita media massa, Mahkamah Agung menolak menangani. Artinya, Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sebagai pemegang kekuasaan kehakiman (yudikatif) menolak. Orang tua bilang, ia tidak diterima oleh bumi dan langit.

Pada 2008,  desakan publik begitu deras meminta agar kewenangan sengketa pilkada diserahkan dari Mahkamah Agung (MA) kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan penanganan oleh MA menimbulkan banyak masalah. Alasan lain, pilkada masuk rezim pemilu sehingga merupakan kewenangan MK. Menurut pendapat saya, sengketa pilkada memang seharusnya ke MK karena persoalan pilkada dan pemilu menu utamanya sama, dua-duanya ada persoalan hukum dan politik bercampur baur. Jadi, jika sengketa pemilu masuk ke MK, kenapa sengketa pilkada tidak.

Sewaktu pilkada ditangani oleh MA dan jajarannya ada tiga masalah yang muncul. Pertama, kasus pilkada Depok, yang menurut hasil perhitungan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Depok, pemenangnya adalah Nur Mahmudi. Karena pihak lawannya merasa ada kecurangan, mereka mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Bandung yang kemudian mengabulkan gugatan tersebut. Alasan pengabulan gugatan adalah adanya kecurangan, antara lain penggelembungan suara, tetapi anehnya suara yang diperoleh dengan cara curang tersebut ditambahkan kepada suara penggugat.

Putusan ini menimbulkan reaksi masyarakat. Akhirnya MA berpendapat bahwa satu-satunya cara mengoreksi putusan itu adalah melalui upaya hukum peninjauan kembali (PK). Walaupun di dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah disebutkan putusan Pengadilan Tinggi adalah bersifat final dan mengikat, MA berpendapat bahwa pengertian final dan mengikat itu adalah berkekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde). Suatu putusan yang berkekuatan hukum tetap hanya dimungkinkan untuk peninjauan kembali. MA kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Bandung dan menolak gugatan penggugat.

Kedua, kasus pilkada gubernur Maluku Utara. Kasus ini sesungguhnya bukan masalah kasus hukum pilkada, melainkan ada dugaan suap kepada  majelis hakim konstitusi. Namun, ternyata  tuduhan tersebut tidak bisa dibuktikan menurut hukum.

Ketiga, kasus pilkada gubernur Sulawesi Selatan. Pihak pemenang adalah Syahrul Yasin Limpo. Namun, lawannya tidak menerima putusan KPU tersebut dan mengajukan gugatan ke MA yang kemudian membatalkan putusan KPU itu dan memerintahkan agar di beberapa daerah tingkat II diadakan pemilihan ulang dengan alasan di daerah tersebut ditemukan adanya kecurangan, baik berupa penggelembungan suara maupun kecurangan lain. Putusan ini juga menimbulkan reaksi masyarakat. Pihak pemenang semula kemudian melakukan upaya hukum PK. MA yang mengadili kasus ini dalam peninjauan kembali membatalkan putusan MA dan kemudian menolak gugatan penggugat.

Setelah kewenangan sengketa pilkada ditangani MK, reaksi masyarakat bukannya berkurang atas putusan sengketa pilkada, melainkan malah meningkat. Kita ingat, misalnya, sengketa pilkada di Sumatera Utara yang menimbulkan polemik berkepanjangan antara Ketua MK pada waktu itu, Mahfud  MD, dan Refly Harun sampai dibentuk tim pencari fakta. Sayang sekali kasus ini bak ditelan bumi. Sesungguhnya jika kasus ini diselesaikan dengan tuntas pada waktu itu, kemungkinan kasus Akil Mochtar jilid 2 yang sekarang ini tidak ada.

Kasus lain yang juga disoroti publik adalah pilkada Kota Palembang, pilkada Jawa Timur, pilkada Bali, dan pilkada lain. Namun, yang paling disorot orang adalah pilkada Kotawaringin Barat. Pihak yang menang, berdasarkan penetapan KPU, oleh MK dinyatakan kalah dan kemudian MK sendiri langsung menetapkan siapa yang menjadi pemenangnya.

Kisruhnya penyelesaian sengketa

Ada beberapa penyebab terjadinya kisruh. Pertama, kadang-kadang hakim yang menangani sengketa terperangkap pada dalil-dalil para pihak sehingga mereka keluar dari kompetensi atau kewenangan mereka. Misalnya, jika penggugat mendalilkan ada kecurangan, penggelembungan suara, pemalsuan berita acara penghitungan suara, dan lain-lain, para hakim, baik di MA/Pengadilan Tinggi maupun MK, memeriksa secara detail dan bahkan kemudian muncul istilah adanya kecurangan yang masif (istilah hakim konstitusi) yang bisa menjadi alasan pembatalan suatu penetapan pemenang pilkada. Padahal sesungguhnya kewenangan MK dan MA dulu hanya terbatas pada perselisihan jumlah suara.

Apabila ada kecurangan, penggelembungan suara, dan kecurangan lain, hal ini harus diselesaikan lebih dahulu oleh panitia pengawas (panwas) ataupun penegak hukum lainnya. Apabila apa yang didalilkan para pihak tentang kecurangan-kecurangan sudah diperiksa oleh panwas, hal itu tidak perlu lagi diperiksa oleh hakim sengketa pilkada. Apabila belum pernah diajukan ke panwas, hakim harus berani menyatakan ia tidak berwenang memeriksa hal tersebut. Inilah yang terjadi di pilkada Depok, pilkada Sulawesi Selatan, pilkada Kotawaringin Barat, dan lain-lain sehingga terjadi kekeliruan yang menimbulkan tanggapan negatif dari publik.

MK yang membatalkan kemenangan calon bupati yang ditetapkan oleh KPU dan langsung menetapkan pemenangnya menimbulkan tanda tanya orang: sejak kapan MK mempunyai kewenangan menetapkan seseorang sebagai calon bupati? Bukankah kewenangan itu ada di tangan KPU? Tidaklah heran jika kemudian Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang menolak untuk melantik calon yang ditetapkan oleh MK. Suatu sikap yang patut didukung karena memang suatu putusan pengadilan tidak bisa dilaksanakan apabila berada di luar kewenangannnya.

Kekeliruan yang terjadi sesungguhnya harus bisa dikoreksi. Namun, nasi sudah jadi bubur, putusan MK final dan mengikat dan tidak ada institusi lain yang bisa mengoreksi MK. Hal ini berbeda dengan MA apabila ada kekeliruan, yang walaupun juga dikatakan final dan mengikat, masih ada upaya hukum lain yang bisa dibuka dengan melakukan rechtsvinding.

Kedua, ranah sengketa pilkada banyak dipengaruhi oleh suasana politik. Seharusnya hakim sengketa pilkada tidak boleh terseret arus politik. Oleh karena itu, seorang hakim sengketa pilkada hanya boleh mempersoalkan hasil akhir perhitungan suara, apakah ada kekeliruan atau tidak. Hakim tidak perlu mempersoalkan terjadinya jumlah itu. Sebab, hal-hal yang memengaruhi terjadinya suatu jumlah adalah tugas instansi lain, yakni panwas, KPU, polisi, dan lain-lain.

Ketiga, dimungkinkan hakim sengketa pilkada keluar dari kewenangannya karena adanya intervensi, baik uang (suap) maupun lainnya, karena yang dipersoalkan adalah sesuatu yang tidak pasti. Hakim yang integritasnya rendah akan dapat dengan mudah ”dimasuki”, terutama oleh hal-hal yang tidak pasti itu.

Di mana sengketa harus diselesaikan

Pada waktu sengketa pilkada diserahkan ke MK, saya waktu itu sebagai Wakil Ketua MA betul-betul bergembira dan bersyukur persoalan tersebut lepas dari MA. Persoalan ini memang persoalan yang berat bagi hakim karena yang harus dihadapi adalah persoalan hukum yang bercampur baur dengan persoalan politik (orang ikut pilkada hanya siap untuk menang dan tidak siap untuk kalah). Jika hakim tidak bisa memisahkan persoalan-persoalan hukum dan terseret pada persoalan berbau politik, pasti ia akan menuai badai.

Oleh karena itu, sesungguhnya lembaga peradilan (MA ataupun MK) tidak perlu galau menghadapi persoalan sengketa pilkada asalkan mampu menahan diri tidak mengambil kewenangan instansi lain serta memilah mana persoalan hukum dan mana persoalan berbau politik. Jika MK ataupun MA menolak untuk menerima beban itu, publik akan bertanya apa boleh pelayanan publik dapat dipilih berdasarkan asumsi suka atau tidak suka. Seharusnya mereka menyatakan siap menerima tugas yang dibebankan bagaimanapun risikonya.

Sengketa pilkada sesungguhnya sengketa keperdataan. Suatu sengketa perdata apa pun hanya dapat diselesaikan oleh pihak ketiga yang tidak memihak. Di dalam praktiknya, pihak ketiga yang dapat menyelesaikan suatu sengketa adalah, pertama, lembaga yudikatif yang merupakan organ negara dan kedua, lembaga perwasitan atau arbitrase yang merupakan badan swasta. Lembaga yudikatif (MA dan jajarannya serta MK) bertugas menyelesaikan suatu sengketa karena diberikan wewenang oleh UU, sedangkan badan perwasitan atau arbitrase baru dapat bertindak untuk menyelesaikan suatu sengketa apabila ditunjuk atau disetujui oleh para pihak yang bersengketa.

Biasanya persetujuan untuk menggunakan wasit atau arbiter lebih dahulu dibuat dalam suatu perjanjian. Namun, bagi Indonesia yang mungkin menjadi kendala adalah sampai saat ini di Indonesia belum ada lembaga perwasitan atau arbitrase yang bergerak dalam bidang sengketa politik dan tidak ada UU yang mengaturnya. Yang ada barulah arbitrase yang bergerak dalam bidang perdagangan, misalnya BANI, Arbitrase Syariah, dan Arbitrase Pasar Modal.

Namun, hal ini tidaklah menghalangi kita apabila pihak-pihak yang terlibat dalam suatu pilkada bersepakat (sebelum pilkada dilaksanakan atau sesudah terjadinya sengketa) bahwa jika terjadi sengketa mereka akan memilih wasit atau arbiter yang mereka setujui bersama, bisa satu orang atau tiga orang atau lebih asalkan jumlah ganjil. Saya kira model ini bisa dicoba oleh KPU pelaksana pilkada. Keuntungan dari cara ini, putusan wasit atau arbiter bersifat final dan mengikat.

Meski demikian, lembaga yudikatif (MA) harus siap menerima tugas itu jika UU menentukan demikian karena lembaga perwasitan atau arbitrase hanya bersifat kasuistis, tidak bisa diperlakukan secara umum. Apabila para pihak tidak mau atau tidak memilih wasit/arbitrase, mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, lembaga peradilan harus siap. Akan tetapi, apabila para pihak sudah menentukan pilihannya memilih wasit atau arbitrase, badan peradilan tidak berhak lagi memeriksa sengketa pilkada yang bersangkutan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar