Harapan
atau Hiburan?
Anis
Matta ; Presiden
Partai Keadilan Sejahtera
|
KORAN
SINDO, 19 Juni 2014
Pengujung
transisi menuju demokrasi adalah situasi yang khas: ekspektasi akan hidup
yang lebih baik kian membuncah tapi pada saat yang sama energi dan euforia–
bahkan kesabaran–sudah menyurut.
Fase
pungkas transisi, yaitu konsolidasi demokrasi, adalah jalan sepi yang
ditempuh dengan ketekunan, bukan panggung ingar-bingar penuh deklamasi. Dalam
tahap ini diperlukan pemimpin yang mampu menggerakkan sekaligus mendorong
rakyat, agar mau melangkah lagi agar tujuan transisi, yaitu demokrasi yang
sejati dapat tercapai. Itulah yang kini terjadi di Indonesia. Pemilu
demokratis sudah tiga kali kita lewati dan kini kita tengah melaksanakan
pemilu demokratis keempat dengan ekosistem politik yang jauh lebih stabil.
Kita
telah berusaha merumuskan arah yang ingin dituju agar transisi ini tidak
menjadi jalan berputar atau–malah lebih parah–berputar-putar tanpa arah.
Tantangan itulah yang coba dijawab dalam Sidang Umum MPR dan proses amendemen
UUD 1945 pasca-Reformasi. Kita berusaha untuk menulis kembali cetak biru dan mempertegas
alasan kehadiran (raison d(raison detre) Negara Kesatuan Republik Indonesia
bagi semua warga bangsa yang berlindung dalam naungannya.
Dalam
perjalanannya, cetak biru itu harus berdialektika dengan realitas dan
ekspektasi yang terus berubah. Kini kita harus menjaga stamina agar negara
dan warganya tidak kehabisan tenaga untuk menuntaskan transisi demokrasi
karena janji perbaikan hidup sebagian belum terwujud.
Karena
itu, kita harus bekerja bersama menuntaskan transisi demokrasi dan
menghindarkan Indonesia dari jebakan transisi berkepanjangan (prolonged transition), di mana nilai
dan sistem lama telah dihancurkan namun nilai dan sistem baru belum
terbangun, atau belum mampu menghasilkan kehidupan lebih baik sebagaimana
yang dijanjikan.
Jebakan transisi
berkepanjangan ini membutuhkan pemimpin yang mampu memecah kebuntuan situasi
sekaligus menjaga api harapan tetap menyala untuk mencapai garis tujuan.
Demokrasi “Media-Sentris”
Kita
tengah berada di era “demokrasi melalui media” di mana media memegang peran
penting dalam mentransmisikan pesan ke dan dari masyarakat. Media telah
menghablurkan batas antara realitas yang kita alami sendiri dan realitas yang
kita serap dari media. Hari ini orang yang tidak tinggal di Jakarta bisa
bercerita tentang macetnya Jakarta akibat pengetahuan yang diserapnya dari
media.
Ini juga
yang mempengaruhi ruang politik kita. Media berperan sangat penting karena
media tidak semata mempresentasi realitas, tetapi merepresentasi (mewakilkan
hadirnya) realitas ke depan khalayak. Menurut ahli kajian media David
Buckingham (2010), media tidaklah menawarkan jendela bening tembus pandang
untuk melihat “dunia”, namun menghadirkan sebuah “dunia” dalam versi yang
telah dimediasi.
Media
bukan menyediakan kacamata atau teropong, tapi menghadirkan akuarium sehingga
kita beranggapan bahwa akuarium itulah keseluruhan dunia ini. Yang terserak
di luar akuarium dianggap tidak penting dan bermakna. Logika media (terutama
televisi/tv) adalah “menonton dan ditonton” dengan dikotomi peran pasif-aktif
yang semakin kabur, terutama dalam konteks pemilihan umum.
Penonton
yang selama ini dinilai pasif dan tidak berdaya, dalam politik menjadi
berdaya karena dialah pemilik suara yang diperebutkan. Sementara, para tokoh
politik yang diimajikan berkuasa, sebenarnya sedang memainkan pertunjukan
yang naskahnya didiktekan oleh massa rakyat melalui survei opini publik.
Dalam situasi “media-sentris” seperti ini, sangat mudah orang terjebak untuk
menjadi penghibur bagi penonton.
Tokoh-tokoh
politik menyajikan tontonan yang menyenangkan hati penontonnya, melalui suatu
pertunjukan buatan. Apa yang dipertontonkan belakangan ini tentu berbeda
makna dan motivasinya dengan, misalnya, kebiasaan Sri Sultan Hamengkubuwono
IX keliling Yogyakarta pada malam hingga subuh. Pada suatu kesempatan beliau
memberi tumpangan kepada seorang mbok pasar.
Ketika
sampai di pasar, orang-orang memberi tahu mbok bahwa yang memberinya
tumpangan adalah Ngarsa Dalem. Langsung mbok itu pingsan! Tidak ada media
yang meliput, tapi cerita itu hidup sampai sekarang. Cerita yang otentik,
nyata, bukan pertunjukan. Masyarakat umum mengetahuinya belasan tahun
kemudian melalui buku Takhta Untuk Rakyat.
Karena
dikendalikan dengan logika hiburan, bukan otentisitas, tokoh politik terjebak
untuk menyederhanakan masalah dan cara penyelesaian masalah. Ini tak
terelakkan karena dalam demokrasi media-sentris, durasi, jam tayang, prime time, sound byte menjadi
indikator utama. Pesan pemimpin dikemas mirip iklan yang renyah dan berdimensi
tunggal agar mudah diingat tanpa elaborasi yang mendalam.
Gagasan Pemimpin
Di
tengah arus media-sentris itu, kita kekurangan kesempatan menelaah gagasan
pemimpin secara mendalam. Ruang-ruang publik yang didominasi logika media dan
budaya instan berpotensi melahirkan figur pemimpin penghibur yang membuat
kita tertawa sejenak meskipun masalah tetap menggunung.
Pemimpin
penghibur tidak mengajak penontonnya berkerut kening karena yang ditawarkan
adalah keceriaan sesaat tanpa memikirkan bagaimana besok atau lusa. Pemimpin
penghibur tidak menawarkan masa depan karena yang penting baginya adalah hari
ini. Pemimpin penghibur juga kerap khawatir penontonnya berpaling mencari
tontonan lain yang lebih menghibur.
Mirip
logika rating dalam industri sinetron.
Indonesia tidak membutuhkan pemimpin penghibur atau pemimpin sinetron. Kita
sudah melewati sejumlah krisis dan kini tengah bersiap untuk naik kelas dari
negara skala menengah menjadi negara kuat dalam ukuran ekonomi dan pengaruh
geopolitik.
Kondisi
itu akan tercapai jika kita berhasil menuntaskan transisi demokrasi dan
menghasilkan negara bangsa yang kuat dan demokratis. Yang dibutuhkan adalah
pemimpin penyala harapan, bukan penyaji hiburan, bahwa hari esok yang lebih
baik akan datang jika kita mau bekerja keras, bukan dengan tertawa-tawa
sejenak.
Peran
penting pemimpin adalah menciptakan “state
of mind” atau situasi psikologis di dalam masyarakatnya dengan cara
melahirkan dan mengartikulasikan tujuan yang menggerakkan orang dari
kepentingan mereka sendiri menuju kepentingan bersama yang lebih tinggi. (JW Gardner, 1988).Kita membutuhkan
lebih banyak ruang lagi untuk mendengarkan gagasan pemimpin untuk mendapat
harapan, bukan hiburan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar