Jumat, 13 Juni 2014

Hilangnya MPR

MENYAMBUT TAHUN KEDAULATAN RAKYAT

Hilangnya MPR

Laporan Diskusi Panel Kompas-LMI
KOMPAS,  10 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SERING dihubung-hubungkan absennya kedaulatan rakyat di masa era Reformasi dengan hilangnya lembaga MPR. Kesedihan akan hilangnya MPR adalah kesedihan institusional, seakan-akan kalau MPR ada kedaulatan lebih terjamin. Hubungan itu sama sekali tak pasti dan mudah diterangkan dengan teori mengenai pranata.

Di dalam kebudayaan, perangkat nilai baru stabil dan efektif kalau dipranatakan. Cinta di antara lelaki dan perempuan, umpamanya, dipranatakan di dalam pernikahan. Hormat dan kerinduan orang akan Tuhan dipranatakan dalam agama. Aspirasi rakyat dipranatakan dalam pemilihan umum. Nilai itu akan efektif kalau stabil di dalam pranata.

Pranata     

Namun, hubungan antara nilai dan pranata bersifat asimetris. Pranata perlu untuk nilai, tetapi pranata bisa mengkhianati nilai. Ada pemilu, tapi belum tentu suara rakyat yang ada di sana. Orang bisa berkeluarga, tapi mungkin mereka berantem sepanjang tahun.

Pranata tidak dengan sendirinya mengaktifkan nilai yang dipranatakan dalam lembaga. Lalu, ada yang menginginkan kembalinya MPR sebagai sebuah pranata. Pertanyaannya adalah apakah pranata yang ada sekarang ini sudah cukup aktif dan efektif? DPR, misalnya, mempunyai fungsi representasi yang penjabarannya di dalam tiga tugas, yakni legislasi, penganggaran, dan pengawasan. Sebetulnya kita bisa mengontrol DPR dengan tiga tugas itu. Sejauh mana DPR kita berfungsi selaku representasi dari rakyat.

Dalam hal legislasi, bisa dicek, apakah suatu undang-undang membela rakyat atau justru membela pemerintah. UU mengenai organisasi masyarakat sipil, misalnya, jelas mengungkung rakyat dan memperkuat kontrol pemerintah terhadap organisasi-organisasi masyarakat sipil.

Dalam hal penganggaran, bisa dicek (untuk daerah misalnya) apabila APBD 80 persen untuk gaji dan 20 persen untuk pembangunan, maka anggaran itu tidak pro rakyat.

Terhadap UU organisasi masyarakat sipil, komentar dari para pejabat adalah duit LSM harus dijaga agar jangan dipakai untuk teroris. Padahal, duit LSM dibandingkan dengan utang negara kita dan pinjaman asing dari luar negeri sama sekali tak ada artinya. Sebetulnya para pejabat itu yang perlu diawasi, bukan LSM.

Duit LSM yang dipersoalkan itu betul-betul uang receh, sementara utang kita ke luar negeri dan pinjaman itu tidak pernah diawasi oleh UU mana pun. Perlu diusulkan kepada DPR bahwa sebelum mereka bertugas menyusun legislasi untuk hal-hal lain, pertama-tama yang harus diadakan adalah legislasi mengenai legislasi. Artinya, perundang-undangan mengenai apa yang boleh diundangkan dan apa yang tidak perlu diundangkan, serta mengenai jumlah UU minimum yang harus diproduksi DPR setiap tahun. Apa kriteria bahwa sesuatu harus diundangkan dan tidak perlu diundangkan harus jelas.

Legislasi mengenai legislasi ini akan membuat DPR tidak sewenang-wenang mengarang UU untuk pornografi atau santet. Di Jerman dipastikan bahwa UU apa pun tak boleh mengizinkan perang setelah mereka kapok dengan dua Perang Dunia. Di Indonesia sama sekali tak ada pembatasan mana yang boleh kita undang-undangkan dan mana yang tidak perlu diundang-undangkan.

Jadi, kalau fungsi representasi rakyat ini dihidupkan di dalam DPR, mungkin kita tidak terlalu memerlukan MPR lagi karena penganggaran sudah jelas akan memihak rakyat. UU yang disusun akan memihak rakyat dan pengawasan kekuasaan akan diawasi supaya jangan terlalu menyusahkan rakyat. Kalau kita bicara tentang pranata, jangan terpesona dengan adanya pranata. Hal yang lebih penting, apakah itu berfungsi atau tidak dan bagaimana agar didorong untuk berfungsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar