MENYAMBUT
TAHUN KEDAULATAN RAKYAT
Hilangnya
MPR
Laporan
Diskusi Panel Kompas-LMI
|
KOMPAS,
10 Juni 2014
SERING
dihubung-hubungkan absennya kedaulatan rakyat di masa era Reformasi dengan
hilangnya lembaga MPR. Kesedihan akan hilangnya MPR adalah kesedihan
institusional, seakan-akan kalau MPR ada kedaulatan lebih terjamin. Hubungan
itu sama sekali tak pasti dan mudah diterangkan dengan teori mengenai
pranata.
Di dalam
kebudayaan, perangkat nilai baru stabil dan efektif kalau dipranatakan. Cinta
di antara lelaki dan perempuan, umpamanya, dipranatakan di dalam pernikahan.
Hormat dan kerinduan orang akan Tuhan dipranatakan dalam agama. Aspirasi
rakyat dipranatakan dalam pemilihan umum. Nilai itu akan efektif kalau stabil
di dalam pranata.
Pranata
Namun,
hubungan antara nilai dan pranata bersifat asimetris. Pranata perlu untuk
nilai, tetapi pranata bisa mengkhianati nilai. Ada pemilu, tapi belum tentu
suara rakyat yang ada di sana. Orang bisa berkeluarga, tapi mungkin mereka
berantem sepanjang tahun.
Pranata
tidak dengan sendirinya mengaktifkan nilai yang dipranatakan dalam lembaga.
Lalu, ada yang menginginkan kembalinya MPR sebagai sebuah pranata.
Pertanyaannya adalah apakah pranata yang ada sekarang ini sudah cukup aktif
dan efektif? DPR, misalnya, mempunyai fungsi representasi yang penjabarannya
di dalam tiga tugas, yakni legislasi, penganggaran, dan pengawasan.
Sebetulnya kita bisa mengontrol DPR dengan tiga tugas itu. Sejauh mana DPR
kita berfungsi selaku representasi dari rakyat.
Dalam
hal legislasi, bisa dicek, apakah suatu undang-undang membela rakyat atau
justru membela pemerintah. UU mengenai organisasi masyarakat sipil, misalnya,
jelas mengungkung rakyat dan memperkuat kontrol pemerintah terhadap
organisasi-organisasi masyarakat sipil.
Dalam
hal penganggaran, bisa dicek (untuk daerah misalnya) apabila APBD 80 persen
untuk gaji dan 20 persen untuk pembangunan, maka anggaran itu tidak pro
rakyat.
Terhadap
UU organisasi masyarakat sipil, komentar dari para pejabat adalah duit LSM
harus dijaga agar jangan dipakai untuk teroris. Padahal, duit LSM
dibandingkan dengan utang negara kita dan pinjaman asing dari luar negeri
sama sekali tak ada artinya. Sebetulnya para pejabat itu yang perlu diawasi,
bukan LSM.
Duit LSM
yang dipersoalkan itu betul-betul uang receh, sementara utang kita ke luar
negeri dan pinjaman itu tidak pernah diawasi oleh UU mana pun. Perlu
diusulkan kepada DPR bahwa sebelum mereka bertugas menyusun legislasi untuk
hal-hal lain, pertama-tama yang harus diadakan adalah legislasi mengenai
legislasi. Artinya, perundang-undangan mengenai apa yang boleh diundangkan
dan apa yang tidak perlu diundangkan, serta mengenai jumlah UU minimum yang
harus diproduksi DPR setiap tahun. Apa kriteria bahwa sesuatu harus
diundangkan dan tidak perlu diundangkan harus jelas.
Legislasi
mengenai legislasi ini akan membuat DPR tidak sewenang-wenang mengarang UU
untuk pornografi atau santet. Di Jerman dipastikan bahwa UU apa pun tak boleh
mengizinkan perang setelah mereka kapok dengan dua Perang Dunia. Di Indonesia
sama sekali tak ada pembatasan mana yang boleh kita undang-undangkan dan mana
yang tidak perlu diundang-undangkan.
Jadi, kalau fungsi representasi rakyat ini dihidupkan di dalam DPR,
mungkin kita tidak terlalu memerlukan MPR lagi karena penganggaran sudah
jelas akan memihak rakyat. UU yang disusun akan memihak rakyat dan pengawasan
kekuasaan akan diawasi supaya jangan terlalu menyusahkan rakyat. Kalau kita
bicara tentang pranata, jangan terpesona dengan adanya pranata. Hal yang
lebih penting, apakah itu berfungsi atau tidak dan bagaimana agar didorong
untuk berfungsi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar