Senin, 23 Juni 2014

Indonesia Bukan Kandang Kuda

Indonesia Bukan Kandang Kuda

Max Regus  ;   Studi Doktoral di Belanda
MEDIA INDONESIA, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
BEBERAPA waktu lalu, dalam salah satu sesi Mata Najwa, yang menampilkan perdebatan blok Jokowi versus kubu Prabowo, publik Indonesia merasa tergelitik dengan jawaban ringan Adian Napitupulu yang menyebut sisi baik capres Prabowo sebagai pengurus kuda yang baik. Begitu cepat, ucapan mantan aktivis 1998 itu segera terhubungkan dengan kebiasaan Prabowo mengoleksi kuda, yang sebelumnya tidak banyak diketahui masyarakat. Sentilan politikus PDIP itu langsung mengingatkan publik ketika Prabowo memamerkan gayanya dalam menunggang kuda beberapa waktu lalu dalam hajatan politik Partai Gerindra. Tentu, soal kuda itu lebih daripada sekadar lelucon di panggung debat politik. Kuda, seperti juga boneka yang disematkan kepada capres Jokowi beberapa waktu sebelumnya, menjadi simbolisme kuasa.

Komitmen

Sebetulnya, tidak ada yang aneh dengan simbolisme kuda. Sejak lama, kuda dijadikan sebagai ukuran kekuatan. Misalkan, sebuah mobil yang disamakan dengan sekian banyak tenaga kuda. Atau, kekuatan kendaraan yang dikonversikan ke dalam tenaga kuda.

Mungkin Prabowo ingin meminjam simbolisme politik kuda untuk membahasakan kegagahan dan kekuatan dalam kancah Pilpres 2014. Namun, soal sederhana itu dapat pula dibahas dari sisi yang lain. Dalam konteks politik, tidak terhindarkan, sesederhana apa pun kebiasaan hidup calon pemimpin, sebetulnya hal itu mencerminkan apa yang mengendap di kedalaman kesadaran personal dan jiwa politik.

Selalu menjadi hal yang menarik untuk mengupas pola hidup para calon pemimpin dengan titik berangkat pada sejumlah hal sederhana dengan menabrakkannya pada substansi komitmen politik kekuasaan mereka bagi kebaikan rakyat. Di saat-saat tertentu, mereka secara tidak sengaja memperlihatkan sesuatu yang dapat menjadi alasan bagi publik untuk mencocokkan arus keprihatinan politik mereka, atau sekadar meraba sebetulnya seserius apa mereka ingin menjadi jembatan harapan rakyat.

Publik, misalnya, mesti berani melemparkan pertanyaan, apakah calon pemimpin, katakanlah Prabowo, yang telaten mengurus kuda, dapat memperhatikan kehidupan rakyat dan keindonesiaan dengan ketelatenan politik pada tingkat yang jauh lebih serius ketika dia mengurus kuda peliharaan? Benarkah ada kesungguhan ketika orang-orang yang mengumandangkan diri sebagai calon pemimpin menghabiskan harta mereka dengan cara semacam itu di tengah sekian juta anak-anak Indonesia yang tidak dapat menikmati makanan yang layak dan pendidikan yang baik? Kebiasaan hidup yang berjarak dengan kegelisahan pokok rakyat kalangan bawah justru mengunci dan mematikan komitmen politik demokratik.

Kepatutan

Ketika audiens Mata Najwa terbahak mendengar sentilan Adian Napitupulu tentang sosok Prabowo, sebetulnya itu mencuat dari refleksi publik tentang seperti apa sosok pemimpin yang dapat menangkap hasrat politik mereka. Di situ, bukan lagi kecanggihan metode kampanye politik yang amat menentukan pilihan politik publik, melainkan kadar kepatutan politik yang dipunyai calon pemimpin. Kepatutan politik membahasakan koneksitas antara kata dan persaksian politik. Ketika calon pemimpin politik memuncratkan kata-kata populis, tetapi pilihan tindakan sosial melenceng jauh dari kegelisahan publik, ketidakpatutan politik akan memborgol opsi fundamental kekuasaan yang mampu mengabdi kepentingan rakyat.

Perilaku sosial para calon pemimpin harus bebas tafsir politik publik. Anda tidak bisa marah kepada publik yang bisa menjatuhkan pilihan politik berdasarkan pertimbangan pada sejumlah aspek yang mungkin dianggap sepele. Begitu pun, tatkala simbolisme kuda diangkat dalam kerangka diskursus politik publik, soal itu segera berada di level yang substansial. Itu sama seperti ketika orang menyamakan Jokowi seperti boneka.

Prabowo teruji amat telaten mengurus kuda peliharaannya. Namun, rakyat tidak seperti kuda peliharaan, yang saban hari diberi gizi, lalu pada suatu ketika akan ditunggangi sekadar untuk memamerkan kekuasaan. Sesuatu yang sebetulnya datang dari rakyat. Para elite politik seharusnya menajamkan kesadaran bahwa kelaziman meminjam punggung rakyat untuk mempertontonkan kepongahan ialah kezaliman yang harus segera diakhiri. Di titik ini, semua kekejian politik semacam itu harus bisa diakhiri. Penguasa tidak bisa menyogok rakyat dengan janji-janji politik tanpa bukti konkret di level pengabdian sosial, lalu menindas mereka dengan seonggok kuasa yang datang dari rakyat.

Transaksional

Komitmen politik untuk memperjuangkan kepentingan rakyat akan runtuh ketika kerangka kekuasaan disesaki dengan perkoncoan transaksional. Dalam bahasa sederhananya, para elite politik saling `menunggang' untuk memuluskan kepentingan politik faksional. Tragisnya, rakyat yang akan menanggung akibat destruktif dari tata laku kekuasaan semacam ini. Tidak mustahil, rumusan kebijakan politik yang diamankan dengan balutan regulasi hanya akan menjadi kuda tunggangan penguasa untuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik tanpa batas.

Kita berada di area permenungan politik yang tidak remeh bahwa Indonesia niscaya menjadi ruang pemekaran kesejahteraan dan pemerkayaan keadilan sosial. Indonesia tidak seperti kandang kuda, tempat tuannya menyehatkan kuda piaraan agar bisa kuat untuk ditunggangi. Rakyat bukan kuda tunggangan para penguasa di bumi Nusantara ini. Sebaliknya, pemimpin politik adalah sosok yang rela menyentuh kesulitan masyarakat bawah dan meraih tangan mereka, lalu berjalan bersama untuk menemukan arah yang tepat menuju Indonesia yang lebih baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar