Mereposisi
Hak Budget DPR
Dian
Puji N Simatupang ; Doktor Hukum Keuangan Publik;
Ketua
Bidang Studi Hukum Administrasi Negara FHUI
|
KOMPAS,
18 Juni 2014
PUTUSAN
MK Nomor 35/PUU-XI/2013 yang mengurangi persetujuan DPR terhadap APBN hanya
sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program merupakan putusan logis
guna mengakhiri dominasi rasionalitas politis dalam persetujuan RAPBN yang
mengesampingkan rasionalitas teknokratis. Ada banyak faktor yang menyebabkan
persetujuan DPR terhadap APBN perlu dibatasi. Pertama, DPR memiliki hak
budget sebagai hak yang mutlak dalam bentuk menerima atau menolak RAPBN yang
diajukan pemerintah. Kedua, DPR juga memiliki fungsi pengawasan yang
sebaiknya lebih diperkuat kualitasnya daripada memperluas tingkat persetujuan
anggaran.
Reposisi hak budget
Pasal
23 UUD 1945 sebagai dasar
konstitusional hak budget DPR sebenarnya secara harfiah telah membatasinya
pada menerima atau menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Pembatasan hak
budget tersebut intinya terletak pada fokus DPR untuk menilai dengan alasan
legitimitas atau kemanfaatan publik terhadap APBN dibandingkan penilaian
teknis. Jadi, DPR memfokuskan pada strategi anggaran negara yang sesuai
dengan kebutuhan rakyat, bukan pada teknis angka-angka anggaran.
Oleh
karena itu, politik hukum yang memosisikan DPR menyetujui APBN pada unit
organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja pada UU No 17/2003
dan UU No 27/2009 merupakan kekeliruan politik hukum keuangan negara yang
fatal. Posisi tersebut menyebabkan DPR seakan-akan jadi otorisator sekaligus
inisiator, baik dalam perencanaan maupun penganggaran. Adanya duplikasi
posisi tersebut jelas tidak sehat dan tidak akuntabel dipandang dari
perspektif asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Oleh
karena itu, reposisi hak budget perlu dilakukan dengan melakukan perubahan
mendasar pada UU No 17/2003 dan UU No 27/2009 dengan memosisikan hak budget
sebatas menerima dan menolak RAPBN yang diajukan pemerintah dengan dua
alasan. Pertama, RAPBN tidak sesuai dengan prioritas fungsi dan program yang
telah direncanakan pemerintah dalam dokumen perencanaan. Kedua, RAPBN tidak
memiliki alasan kemanfaatan (legitimasi) bagi kualitas penyelenggaraan
pemerintahan secara umum dan pelayanan publik.
Adanya
reposisi hak budget tersebut akan menghindarkan penggunaan wewenang atau
mentransaksikan pengaruh DPR pada hal-hal bersifat mikroteknis atau
mikropraktis. Sebab, kondisi demikian akan menyebabkan DPR berkutat pada
perhitungan transaksi politis atas angka-angka anggaran dengan motivasi di
luar kepentingan umum yang seharusnya dilindungi dan di luar rasionalitas
dokumen perencanaan pembangunan yang ditetapkan sebelumnya.
Selain
itu, reposisi hak budget juga menghindari makna hak budget sebagai bentuk
aktif DPR dalam siklus anggaran negara. Padahal, secara konstitusional, DPR
tidak dimintakan pembahasan/persetujuan atas keseluruhan siklus anggaran,
mulai dari perencanaan sampai pertanggungjawaban, tetapi dimulai saat
presiden mengajukan rancangan APBN kepada DPR dan kemudian saat presiden
mengajukan pertanggungjawaban anggaran.
Perkuat pengawasan
Jika
kemudian reposisi hak budget dilakukan, pemerintah dan DPR perlu memiliki
sistem pengawasan yang terencana dan tersistem dengan menggunakan parameter
evaluasi yang jelas dan pasti. Pemerintah perlu memastikan perencanaan dan
penganggaran dilakukan secara sistematis dan konsisten sehingga perlu ada
sinergitas institusional antara kementerian perencanaan dan Kementerian
Keuangan.
DPR
perlu menguatkan pengawasan terhadap pemerintah dalam penggunaan anggaran
dengan menilai legitimasi atau kemanfaatan bagi kepentingan publik guna
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Aspek konstitusionalitas pengawasan dan
hak budget DPR jelas menguji legitimasi itu sehingga APBN dapat dimanfaatkan
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat melalui ukuran konsistensi antara
perencanaan dan penganggaran.
Adanya
sistem pengawasan secara seimbang yang dilakukan pemerintah dan DPR dalam
APBN hakikatnya menjaga kepastian hukum dalam rangka menjaga kedudukan
pemerintah dan DPR dalam hal keuangan negara. Selain, tentu saja, mencegah
pemerintah dan DPR secara bersama-sama atau sendiri-sendiri melakukan
penyimpangan keuangan negara dalam APBN.
Pengecekan
dan penyeimbangan dalam proses APBN antara pemerintah dan DPR merupakan
syarat utama untuk mewujudkan tujuan bernegara dalam postur APBN. Dengan
demikian, upaya menjadikan APBN bermanfaat guna sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat tak sekadar utopia, tetapi juga sistem yang disadari bersama. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar