Pembatalan
Perjanjian Perdagangan
Huala
Adolf ; Guru Besar pada FH Unpad Bandung
|
KOMPAS,
18 Juni 2014
PEMERINTAH
sudah cukup banyak masuk dan ikut dalam perjanjian perdagangan internasional.
Tahun 1994, pemerintah ikut mengesahkan perjanjian WTO. Tahun 2007,
pemerintah mengesahkan Piagam ASEAN yang menyepakati pada akhir 2015
Masyarakat Ekonomi ASEAN berdiri. Apabila kemudian ternyata perjanjian itu
merugikan kepentingan nasional, apa yang dapat kita lakukan?
Jawabannya
termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan. UU ini
disahkan pada Maret 2014.
Menurut
Pasal 85 UU Perdagangan, pemerintah dengan persetujuan DPR dapat meninjau
kembali dan membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang
persetujuannya dilakukan dengan UU. Pemerintah mengambil langkah ini apabila
perjanjian perdagangan merugikan kepentingan nasional.
Pemerintah
dapat pula membatalkan perjanjian perdagangan internasional yang dilakukan
dengan peraturan presiden.
Apa yang
dimaksud dengan ”pembatalan” dan ”kepentingan nasional”? Penjelasan Pasal 85
tidak menjelaskannya. Penjelasan pasal ini hanya menyatakan cukup jelas. Kata
”pembatalan” merupakan pernyataan yang menyatakan suatu hubungan hukum,
misalnya perjanjian, menjadi tidak berlaku.
Arti
kata ”kepentingan nasional” dapat kita temukan dalam UU No 24/2000 tentang
Perjanjian Internasional. Pasal 18 UU ini menyatakan, pengakhiran perjanjian
internasional dapat dilakukan apabila antara lain terdapat hal-hal yang
merugikan kepentingan nasional.
Penjelasan
Pasal 18 UU Perjanjian Internasional mengemukakan, kepentingan nasional
adalah kepentingan umum, perlindungan subyek hukum RI, dan yurisdiksi
kedaulatan RI. Arti kepentingan umum, perlindungan subyek hukum dan
yurisdiksi kedaulatan RI adalah rumusan yang luas. Keluasan pengertian
kepentingan nasional menurut penulis seyogianya tidak digunakan secara bebas
sebagai alasan untuk pengakhiran atau pembatalan perjanjian. Memang
pembatalan perjanjian sudah menjadi norma dalam UU kita. Akan tetapi,
pembatalan perlu pertimbangan yang mendalam.
Pembatalan
suatu perjanjian internasional, termasuk di bidang perdagangan internasional,
perlu dilakukan dengan hati-hati. Masalahnya, pembatalan perjanjian
perdagangan internasional terkait dengan kepentingan perdagangan (masyarakat)
internasional secara luas, yaitu negara-negara lain yang juga terikat pada
perjanjian.
Prinsip perjanjian
Sebelum
pembatalan perjanjian ini ditempuh di masa datang, perlu dipertimbangkan
pentingnya prinsip perjanjian. Prinsip pengaturan mengenai perjanjian
internasional diatur dalam Konvensi Wina tahun 1969.
Ada tiga
prinsip utama yang menegaskan kekuatan mengikat perjanjian yang telah
disepakati oleh suatu negara. Pertama, prinsip kesepakatan. Prinsip ini
menegaskan bahwa dalam membuat suatu perjanjian internasional harus
didasarkan pada kesepakatan (Mukadimah Konvensi Wina 1969). Kesepakatan ini
tidak boleh dipengaruhi atau ditekan oleh pihak lain.
Kedua,
prinsip pacta sunt servanda. Prinsip ini menyatakan bahwa suatu perjanjian
yang sudah berlaku mengikat para pihak. Ketiga, prinsip yang mensyaratkan
para pihak harus melaksanakan perjanjian dengan itikad baik (Mukadimah dan
Pasal 26 Konvensi Wina).
Keempat,
suatu negara tidak dapat menggunakan alasan hukum nasionalnya untuk tidak
melaksanakan suatu perjanjian (Pasal 26 Konvensi Wina).
Implikasi pembatalan
Pembatalan
perjanjian internasional menurut hukum internasional tidaklah dilarang
sepanjang prinsip-prinsip perjanjian di atas, terutama prinsip kesepakatan,
terpenuhi. Prinsip kesepakatan bebas itu mensyaratkan kesepakatan para
pihaklah yang membuat perjanjian. Termasuk di dalamnya adalah kesepakatan
para pihak pula yang (akan) membatalkannya.
Prinsip
kesepakatan ini mensyaratkan kesepakatan bersama. Bukan hanya kesepakatan
suatu pihak. Suatu negara karena kepentingan nasional, kemudian menyatakan
suatu perjanjian internasional menjadi batal, adalah tindakan yang tidak
mengubah atau membatalkan status perjanjian internasional.
Kemungkinan
yang dapat terjadi adalah pengakhiran perjanjian. Ini pun hanya dapat
dilakukan dengan kesepakatan bersama. Perjanjian disahkan dengan kesepakatan
bersama. Konsekuensinya, pengakhiran perjanjian juga dilakukan dengan
kesepakatan bersama.
Jika
pengakhiran tidak bisa, misalnya kesepakatan tidak tercapai, langkah yang
dapat dilakukan adalah pengunduran diri dari perjanjian. Tetapi, langkah ini
tidak terlepas dari adanya keberatan dari negara lain bila kepentingannya
ternyata dirugikan.
Alternatif
Langkah
yang lebih simpatik tampaknya adalah, pertama, peninjauan kembali. Peninjauan
kembali dalam arti renegosiasi perjanjian dengan pihak lain apabila misalnya
perjanjian merugikan kepentingan nasional.
Renegosiasi
lebih simpatik karena kita menunjukkan penghormatan terhadap prinsip
perjanjian. Renegosiasi mencerminkan prinsip kesepakatan bersama.
Kedua,
langkah lainnya adalah sikap antisipatif terhadap perjanjian. Antisipatif
dalam arti langkah kehati-hatian terhadap perjanjian. Antisipatif
mensyaratkan sebelum masuk atau ikut dalam perjanjian perlu terlebih dahulu
kita mengkaji untung rugi perjanjian dagang itu.
Ada
beberapa cara mengkaji apakah suatu peraturan perundang-undangan akan
merugikan secara ekonomi atau tidak. Contohnya adalah Regulatory Impact Assessments (RIAs). Prinsip RIAs memberikan
sinyal langkah-langkah apa yang perlu dilakukan sebelum menyetujui atau
mengesahkan suatu peraturan perundang-undangan. RIAs relevan untuk juga
dipakai buat menguji perjanjian perdagangan internasional karena perjanjian
perdagangan adalah juga peraturan perundang-undangan yang berlaku dan
mengikat negara-negara di dunia yang mengikatkan dirinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar