Menguji
Rasionalitas Publik
Masdar
Hilmy ; Dosen UIN Sunan Ampel, Surabaya
|
KOMPAS,
18 Juni 2014
KUALITAS
demokrasi ditentukan, salah satunya, oleh kualitas pilihan warga negara dalam
mengartikulasikan preferensi dan kepentingannya dalam sebuah diskursus publik
yang sehat, adil, dan dinamis-dialektis. Adapun kualitas pilihan warga
ditentukan oleh, salah satunya, sejauh mana setiap warga memiliki kematangan,
kedalaman, dan kebijaksanaan dalam mencerna semua kebijakan publik melalui
apa yang oleh John Rawls (1997) disebut kecerdasan atau rasionalitas publik (public reason).
Dalam
konteks demokrasi, terutama pilpres di Indonesia, kecerdasan publik merupakan
katalisator terakhir bagi pilihan-pilihan politik warga melalui aspirasi dan
preferensi publik yang diuji secara terbuka, obyektif, dan terus-menerus.
Rasionalitas jenis ini akan menguji apakah sebuah pilihan warga merefleksikan
preferensi yang penuh kedalaman analisis, pertimbangan hati-hati (considerate), ataukah sebaliknya hanya
pilihan dangkal, pragmatis, dan kebetulan belaka.
Orientasi tindakan
Weber,
dalam karyanya yang sudah menjadi klasik, Theory
of Social and Economic Organization (1964: 115), menegaskan bahwa
orientasi tindakan sosial bertumpu pada empat jenis rasionalitas. Pertama, zweckrational (rasionalitas
instrumental). Dalam kecerdasan semacam ini, tindakan seseorang hanya
didorong oleh keinginan-keinginan subyektif-instrumental untuk menggapai
tujuan pragmatis belaka. Tindakan seseorang dalam kategori ini hanya didorong
oleh kalkulasi untung-rugi atau apa yang oleh Weber disebut marginal utility.
Bekerjanya politik uang dalam pemilu barangkali dapat menjelaskan rasionalitas
jenis ini.
Kedua,
wertrational (rasionalitas nilai). Tindakan seseorang didorong oleh keyakinan
akan kandungan nilai (value) yang
ada di balik tindakan itu. Sama seperti rasionalitas pertama, rasionalitas
jenis ini dihasilkan oleh sebuah proses intelektual-kognitif warga dalam
mengambil sebuah keputusan. Pilihan tindakannya sama-sama rasional, tetapi
cakupannya melampaui batas-batas pragmatisme sempit. Memang di sini ada unsur
pragmatis, tetapi cakupannya lebih luas ketimbang rasionalitas pertama.
Barangkali inilah rasionalitas publik paling ideal.
Ketiga,
rasionalitas tradisional. Dalam rasionalitas jenis ini, pilihan seseorang
hanya dibimbing oleh bingkai tradisi yang tidak tunduk pada prinsip-prinsip
kemasukakalan rasional. Tindakan seseorang dilakukan semata-mata karena
tradisi mengajarkan demikian. Dengan kata lain, tidak ada mekanisme intellectual exercises yang
mengantarkan seseorang pada pilihan tindakannya. Pilihan tindakan seseorang
terjadi akibat adanya intervensi tradisi dalam proses pengambilan keputusan.
Persis seperti jargon populer dalam sebuah iklan: ”sudah menjadi tradisi!”
Terakhir,
keempat, rasionalitas afektual. Dalam rasionalitas jenis ini, pilihan
tindakan seseorang hanya didorong oleh aspek perasan semata, bukan hasil olah
kognisi pikirannya. Rasionalitas terakhir ini memiliki mekanisme atau modus
yang hampir sama dengan rasionalitas tradisional: tidak ada signifikansi olah
pikir manusia dalam menghasilkan sebuah pilihan atau keputusan. Pilihan
diambil karena perasaan suka atau tidak suka. Tidak lebih dari itu.
Keempat
rasionalitas di atas tentu saja bukanlah tipologi paling memuaskan untuk
menjelaskan fenomena pilihan atau tindakan. Tidak ada rasionalitas tunggal
yang dapat menjelaskan semuanya. Bisa jadi terdapat overlapping antara satu
dan lainnya. Bahkan, bisa saja terdapat keempatnya di balik sebuah keputusan
atau pilihan. Realitas sosial-politik memang jauh lebih kompleks ketimbang
penjelasan tipologis di atas.
Melampaui mayoritarianisme
Terpenting
dari itu semua, prinsip mayoritarianisme tidak bisa dijadikan sebagai
parameter bagi bekerjanya rasionalitas publik. Artinya, kemenangan kontestan
tertentu dalam proses pemilu tidak bisa diatribusikan pada faktor kecerdasan
publik semata. Hal ini karena ada banyak faktor yang bekerja di balik proses
pengambilan keputusan warga, seperti faktor popularitas dan primordialitas.
Sebaliknya, kontestan yang berkualitas, berintegritas, dan berkompeten tidak
dijamin dapat memenangi proses kontestasi politik. Intinya, pilihan politik
warga tidak sejajar dan sebangun dengan rasionalitas publik.
Meski
demikian, iklim demokrasi yang meruangkan pertukaran gagasan yang sehat,
terbuka, dan akuntabel dapat memungkinkan terjadinya demokrasi berbasis
kecerdasan publik yang matang dan berkualitas. Kualitas kecerdasan publik
sangat dipengaruhi oleh sejauh mana setiap warga mengerahkan segenap potensi
kognitifnya dalam mengambil keputusan (decision
making process). Hal ini sejalan dengan pernyataan John Dewey bahwa yang
terpenting dalam sebuah rezim demokrasi bukanlah hasil akhir sebuah
keputusan, melainkan proses terjadinya dialektika pertukaran gagasan yang
mengantarkan pada pilihan warga yang teruji.
Inilah
sebenarnya inti persoalan demokrasi kita. Demokrasi di negeri ini baru
sebatas demokrasi mayoritarian, bukan demokrasi yang mencerminkan kecerdasan
publik dalam pengertian sesungguhnya. Dalam konstruksi demokrasi semacam ini,
pilihan warga sering kali ditentukan oleh hal-hal lain di luar aspek
rasionalitas, seperti perasaan suka atau tidak suka, favoritisme, dan
primordialisme. Dalam demokrasi berbasis kecerdasan publik, kualitas pilihan
ditentukan oleh ketundukan rasional-kognitif warga pada hal-hal yang bekerja
di atas prinsip kemasukakalan (commonsensicality).
Oleh
karena itu, penting diperhatikan oleh masing-masing kontestan capres-cawapres
yang tengah bertarung adalah bagaimana menundukkan kognisi warga pemilih
melalui sebuah skema terstruktur dan terukur tentang Indonesia yang lebih
baik berdasarkan atas ”narasi tebal” tentang berbagai persoalan yang membelit
bangsa ini. Skema semacam ini menjadi penting di tengah absennya peta jalan
menuju Indonesia sejahtera yang realistisis, terukur, dan dapat dicapai (achievable), bukan sekadar janji-janji
retoris yang lazim dijual para jurkam pemilu.
Gambaran
ketidakcerdasan rasionalitas publik kita dapat dilihat pada membanjirnya
informasi negatif tentang masing-masing pasangan dalam kampanye hitam.
Sebagai gambaran ketidakcerdasan, informasi tersebut sering kali bersifat
sepotong-sepotong, tidak utuh (fragmented),
dan mengandung bias-bias primordialitas yang kuat. Isu-isu yang dijual
melalui kampanye hitam biasanya menyangkut isu-isu SARA yang menggelikan,
tanpa bukti, sekaligus tidak mencerahkan.
Tentu
saja tujuan kampanye hitam cuma satu, yakni melemahkan elektabilitas pasangan
lawan sekaligus mendongkrak elektabilitas pasangan yang diusung. Diharapkan,
kognisi pemilih dapat digoyahkan oleh gempuran informasi yang dilancarkan
oleh pihak-pihak pengusung. Dengan begitu, pasangan yang diusung dapat menikmati
tumpahan suara dari pihak lawan.
Persoalannya,
sesederhana itukah mekanisme kecerdasan publik bekerja? Biarlah itu semua
menjadi domain rasionalitas publik untuk menghakiminya. Terpenting lagi,
biarlah rasionalitas publik menjadi tulang punggung bagi semakin matang dan
dewasanya demokrasi kita. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar