Kampanye
Kreatif
Ali
Rif’an ; Peneliti Poltracking
|
TEMPO.CO,
16 Juni 2014
Menyaksikan
model kampanye hari-hari ini, saya merasa ada sesuatu yang unik. Salah
satunya adalah munculnya beragam kampanye kreatif. Misalnya, pendukung
Prabowo-Hatta yang mengatasnamakan Sahabat
Prabowo membuat video berjudul Happy
yang diunggah di YouTube. Begitu pula pendukung pasangan Jokowi-Jusuf Kalla
yang tergabung dalam Jogja Hip-Hop Foundation menciptakan sebuah lagu
berjudul Bersatu Padu Coblos Nomor 2
yang bisa didengarkan di situs www.soundcloud.com dan dapat diunduh secara
gratis melalui situs www.mediafire.com.
Memang
harus diakui, dalam literatur ilmu politik, istilah kampanye kreatif masih
terasa asing karena jenis kampanye yang kita kenal selama ini ada tiga:
kampanye positif, kampanye negatif, dan kampanye hitam.
Dalam
kampanye positif, masyarakat biasanya disuguhi "narasi-narasi ala malaikat" dengan tujuan untuk
mempengaruhi persepsi dan preferensi pemilih. Tak jarang, kampanye model ini
kerap menampilkan narsisisme politik yang kadang justru membuat publik jenuh.
Sedangkan dalam kampanye negatif, masyarakat dicekoki berita atau informasi
miring ihwal pasangan capres-cawapres.
Kampanye
hitam tentu lebih parah lagi. Dalam kampanye ini, masyarakat disuguhi berita
yang berisi isu dan fitnah. Orientasi kampanye hitam adalah menghasut masyarakat
dengan cara-cara yang menabrak aturan sekaligus etika.
Karena
itu, hadirnya kampanye kreatif bisa menjadi oase di tengah kepenatan
masyarakat menyaksikan tiga model kampanye di atas. Sebab, salah satu ciri
kampanye kreatif adalah dapat menghibur. Kampanye kreatif menjadi penting
karena di dalamnya mengandung dua unsur sekaligus: gagasan dan hiburan. Lock
dan Harris (1996) pernah mengatakan, di dalam kampanye, ada dua hubungan yang
harus dibangun: hubungan internal dan eksternal. Hubungan internal adalah
hubungan yang berkaitan dengan kader partai, organisasi-organisasi sayap
partai, ataupun lembaga-lembaga pendukung partai. Sedangkan hubungan
eksternal adalah hubungan yang berkaitan dengan masyarakat luas-di luar kader
dan simpatisan.
Jika
mengacu pada dua bangunan kampanye tersebut, dalam prakteknya, model kampanye
kreatif biasanya lebih efektif digunakan untuk menarik simpati pemilih
non-kader dan non-partisan (eksternal). Sebagai contoh, saat Jokowi maju
sebagai calon Gubernur DKI Jakarta pada 2012, nyaris bahwa dukungan pasangan
Jokowi-Ahok saat itu sangat sedikit dibanding pesaingnya, Foke-Nara, yang
didukung banyak partai koalisi.
Waktu
itu, Jokowi-Ahok hanya didukung dua partai (PDI Perjuangan dan Partai
Gerindra), sementara Foke-Nara didukung Partai Demokrat, Partai Golkar, PKS,
PKB, PAN, dan PPP. Namun menariknya, yang unggul justru pasangan yang
didukung partai sedikit, yakni Jokowi-Ahok. Usut punya usut, salah satu
faktor yang tak boleh dilupakan adalah pengaruh kampanye kreatif saat itu. Video-video
dan lagu-lagu yang berisi tentang dukungan terhadap Jokowi-Ahok ketika itu
banyak beredar di berbagai media sosial, bahkan menyelusup ke berbagai kampus
dan kantor.
Karena
itu, munculnya beragam kampanye kreatif ini tak boleh dianggap sepele.
Apalagi dalam studi Gelman dan King (1993) disebutkan bahwa preferensi
pemilih terhadap kontestan telah ada jauh hari sebelum kampanye dimulai.
Artinya, kampanye yang biasa-biasa saja akan sulit mempengaruhi preferensi
pemilih. Sebaliknya, kampanye kreatif-selain berfungsi menghibur-bisa
digunakan sebagai strategi untuk membidik pemilih yang masih ragu-ragu atau swing voter. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar