Semiotika
Politik Pilpres
Acep
Iwan Saidi ; Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB;
Komisaris Warung Narasi Bandung
|
KOMPAS,
21 Juni 2014
Pemilu
Presiden 2014 terasa meniupkan aura lain. Mengasyikkan sekaligus mencemaskan. Mengasyikkan karena kita dapat
menyaksikan tontonan gratis tingkah para politisi yang dalam banyak hal
tampak kekanak-kanakan: ada yang mutung, yang menawar-nawarkan diri
berkoalisi tapi tidak laku, yang bicara netral tapi suara akan diberikan
kepada pihak tertentu. Mencemaskan karena laku kanak-kanak sering lepas
kontrol. ”Ini Perang Badar,” demikian lebih kurang Amien Rais. Tanpa
keterangan ”badar” pun, perang merupakan metafora mengerikan. Dalam perang,
apa pun sah dilakukan. Perang hanya punya satu kebijakan, yakni menghancurkan
lawan.
Situasi
demikian dimotivasi beberapa hal. Pertama, secara semiotik capres sekarang memiliki gestur yang bertolak
belakang. Kedua, setiap kubu memiliki media (stasiun televisi) yang lebih
kurang berkekuatan seimbang. Dalam ”jurnalisme capres” kali ini, dua televisi
tersebut lebih tepat disebut ”media sukses” capres masing-masing. Ketiga, tak
adanya petahana dalam kompetisi menyebabkan persaingan bisa lebih terbuka;
sejatinya melahirkan kompetisi yang lebih sehat.
Ideologi gambar
Lantas,
di manakah ideologi? Mungkin Anda akan bilang ketinggalan zaman kalau kita
masih bicara ideologi. Faktanya, ideologi memang sudah tidak ada lagi pada
zaman ini di sini. Dalam konteks partai politik, ideologi lenyap manakala
mereka berkoalisi. Koalisi, bagaimanapun, adalah nama lain dari kompromi.
Kompromi, mau tidak mau, mengubah ”definisi diri” dan cara melihat pihak lain
yang telah dibingkai oleh ideologi.
Matinya
ideologi sedemikian rupanya melahirkan ”ideologi” dalam bentuk baru. Di
sinilah ditemukan definisi lain tentang ideologi, yakni sebagai produksi
tanda dan makna. Sebagaimana kita saksikan, yang terjadi dalam kompetisi
pilpres kali ini adalah pengidealan hal-hal parsial yang satu sama lain bisa
jadi tak saling berhubungan. Gestur tokoh, warna baju, dan tempat deklarasi
adalah beberapa contoh yang dengan mudah bisa diamati. Inilah ideologi
gambar. Ideologi ini rapuh karena relasinya dengan realitas memang ringkih.
Ideologi gambar adalah politisasi realitas.
Mari
kita uji secara obyektif kesahihan ideologi demikian dalam kaitannya dengan
realitas. Calon presiden Prabowo, misalnya. Ia adalah sosok bertubuh
kekar, jarang tersenyum, dan selalu
berbicara dengan tekanan nada yang kuat. Dalam iklan di televisi, Prabowo
selalu memulai dengan menegaskan eksistensi dirinya, ”Saya Prabowo
Subianto….” Dari gestur ini, beberapa pihak menilai Prabowo sebagai sosok
tanpa kompromi, tegas, bahkan ada juga yang menilainya keras. Inilah sosok
ideal sebagai presiden sekarang.
Namun,
gestur tersebut ternyata tidak sepenuhnya berelasi dengan strategi dan
tindakan politiknya. Koalisi yang dibangun Prabowo, suka tidak suka, dapat
dikatakan sebagai koalisi yang mengendurkan ketegasan sikap yang tecermin
pada gestur di atas. Tawaran sebagai menteri utama kepada Aburizal Bakrie
menegaskan hal ini. Di samping itu, jika diperiksa visi dan misinya, kata
yang paling keras diungkapkan adalah ”reformasi” (misi nomor 4: ”Meningkatkan
kualitas sumber daya manusia dengan melaksanakan REFORMASI pendidikan”).
Kata-kata lain merupakan diksi yang sudah sangat umum, seperti ”membangun
perekonomian yang kuat, melaksanakan ekonomi rakyat, dan menjaga kelestarian
alam.”
Sementara
itu, Jokowi adalah capres yang gesturnya berkebalikan dengan Prabowo. Ia kerempeng,
bicaranya datar, murah senyum (juga tertawa), dan karena itu terkesan tidak
tegas. Sebagian menilai ia cenderung kompromistis dan bahkan bisa menjadi
”boneka”. Tentu para pendukungnya menilai bahwa sosok ini justru yang tepat
untuk memimpin. Tubuh kerempengnya adalah representasi dari ”tubuh
rakyat” kebanyakan yang memang juga
”kerempeng”, bahkan kerontang.
Namun,
seperti halnya Prabowo, gestur Jokowi tak berelasi dengan tindakan
politiknya. Koalisinya tanpa syarat. Ini jelas sebuah ketegasan, bahkan bisa
dibilang keras. Kepada calon koalisinya ia bilang, mau begitu silakan, tak
mau tidak apa-apa. Lantas, mari periksa visi dan misinya. Melampaui kata
reformasi dari Prabowo, Jokowi memilih kata revolusi (misi nomor 8:
”Melakukan REVOLUSI karakter bangsa).” Perhatikan juga idiom lain yang
dipilihnya, yang terkesan menunjukkan perlawanan, seperti ”menghadirkan
kembali negara, membuat pemerintah tidak absen, membangun Indonesia dari
pinggiran, dan menolak negara lemah”.
Politik ”½ x” Soekarno
Uraian
di atas tak bertendensi menempatkan yang satu lebih baik daripada yang lain
atau sebaliknya. Semua yang dilakukan capres tentu pilihan yang
konsekuensinya telah mereka pertimbangkan dengan mengukur sebatas mana
keinginan rakyat. Alih-alih membandingkan, analisis di atas dilakukan untuk menegaskan bahwa relasi antara
ideologi gambar dan realitas yang dibayangkan khalayak tentangnya sangat
rapuh. Politik kita hari ini penuh dengan permainan tanda. Ideologi gambar
tidak lain adalah produksi makna dengan modal kecakapan mendesain tanda.
Makna yang dimaksud adalah hal yang berkaitan dengan penampakan tanda itu
sendiri, sesuatu yang bermain di permukaan. Ia bermain dalam estetika bentuk,
bukan esensi.
Pada
situasi demikian, ideologi gambar tak merumuskan prinsip yang harus
diperjuangkan. Alih-alih memperjuangkan prinsip, ideologi gambar melakukan
kamuflase. Ia tidak peduli dengan perbedaan atau persamaan. Yang dikedepankan
adalah tujuan praktis meraih khalayak sebanyak-banyaknya melalui cara
berkompromi dengan khalayak bersangkutan, bukan menggoda khalayak untuk masuk
ke dalam keyakinannya.
Hal ini
tampak jelas pada bagaimana mekanisme pencitraan yang dipilih oleh kedua
kubu. Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, keduanya memilih kostum putih dan
situs sejarah yang mengacu ke tokoh yang sama dalam deklarasi, yakni
Soekarno. Pilihan yang sama ini menyebabkan mereka terjebak dalam politik
populer yang terstandardisasi. Desain baju putihnya memang berbeda, situs
deklarasi yang dipilih juga berbeda. Namun, perbedaan ini seolah-olah saja
karena faktanya keduanya putih dan keduanya mengacu kepada Soekarno. Dalam
kajian budaya populer, cara ini melahirkan apa yang disebut Strinati (2004)
sebagai subyek palsu.
Kesamaan
dan keseolah-olahan berbeda sedemikian terjadi karena ideologi gambar
bersifat saling mengintip tentang bagaimana kehadiran lawan di tengah
khalayak. Hal ini persis seperti politik tayang program sinetron pada stasiun
televisi populer. Jika sebuah stasiun menyiarkan sinetron tertentu dan
ternyata penontonnya banyak, stasiun yang lain segera meniru. Ideologi
gambar, dengan demikian, adalah ideologi rating. Di dalam ideologi ini,
fokusnya khalayak, bukan paham atau ideologi yang diyakininya itu sendiri.
Dalam
konteks peminjaman sosok Soekarno sebagai referensi ideologi gambar, subyek
Soekarno ”dibelah” jadi beberapa bagian. Kedua kubu hanya mengambil sebagian
kecil. Satu kubu mengambil citra kerakyatan, kubu lain mengadopsi gaya dan
retorika lapis luar. Ini yang saya sebut ”politik
½ x Soekarno”. Bagaimana Soekarno memperjuangkan ideologi hingga
dikucilkan pada akhir hayatnya jelas tak masuk ke dalam rumusan ideologi
gambar. Kedua kubu lupa, ajaran Soekarno yang terpenting terkait soal
ideologi adalah tak adanya celah bagi ideologi untuk dikompromikan. Kemenangan
ideologi adalah saat ia ditegakkan dalam situasi apa pun, tanpa syarat.
Dengan cara demikianlah hingga sekarang Soekarno tetap jadi pemenang. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar