Minggu, 22 Juni 2014

Semiotika Politik Pilpres

Semiotika Politik Pilpres

Acep Iwan Saidi  ;   Ketua Forum Studi Kebudayaan ITB;
Komisaris Warung Narasi Bandung
KOMPAS, 21 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pemilu Presiden 2014 terasa meniupkan aura lain. Mengasyikkan sekaligus  mencemaskan. Mengasyikkan karena kita dapat menyaksikan tontonan gratis tingkah para politisi yang dalam banyak hal tampak kekanak-kanakan: ada yang mutung, yang menawar-nawarkan diri berkoalisi tapi tidak laku, yang bicara netral tapi suara akan diberikan kepada pihak tertentu. Mencemaskan karena laku kanak-kanak sering lepas kontrol. ”Ini Perang Badar,” demikian lebih kurang Amien Rais. Tanpa keterangan ”badar” pun, perang merupakan metafora mengerikan. Dalam perang, apa pun sah dilakukan. Perang hanya punya satu kebijakan, yakni menghancurkan lawan.

Situasi demikian dimotivasi beberapa hal. Pertama, secara semiotik capres  sekarang memiliki gestur yang bertolak belakang. Kedua, setiap kubu memiliki media (stasiun televisi) yang lebih kurang berkekuatan seimbang. Dalam ”jurnalisme capres” kali ini, dua televisi tersebut lebih tepat disebut ”media sukses” capres masing-masing. Ketiga, tak adanya petahana dalam kompetisi menyebabkan persaingan bisa lebih terbuka; sejatinya melahirkan kompetisi yang lebih sehat.

Ideologi gambar

Lantas, di manakah ideologi? Mungkin Anda akan bilang ketinggalan zaman kalau kita masih bicara ideologi. Faktanya, ideologi memang sudah tidak ada lagi pada zaman ini di sini. Dalam konteks partai politik, ideologi lenyap manakala mereka berkoalisi. Koalisi, bagaimanapun, adalah nama lain dari kompromi. Kompromi, mau tidak mau, mengubah ”definisi diri” dan cara melihat pihak lain yang telah dibingkai oleh ideologi.

Matinya ideologi sedemikian rupanya melahirkan ”ideologi” dalam bentuk baru. Di sinilah ditemukan definisi lain tentang ideologi, yakni sebagai produksi tanda dan makna. Sebagaimana kita saksikan, yang terjadi dalam kompetisi pilpres kali ini adalah pengidealan hal-hal parsial yang satu sama lain bisa jadi tak saling berhubungan. Gestur tokoh, warna baju, dan tempat deklarasi adalah beberapa contoh yang dengan mudah bisa diamati. Inilah ideologi gambar. Ideologi ini rapuh karena relasinya dengan realitas memang ringkih. Ideologi gambar adalah politisasi realitas.

Mari kita uji secara obyektif kesahihan ideologi demikian dalam kaitannya dengan realitas. Calon presiden Prabowo, misalnya. Ia adalah sosok bertubuh kekar,  jarang tersenyum, dan selalu berbicara dengan tekanan nada yang kuat. Dalam iklan di televisi, Prabowo selalu memulai dengan menegaskan eksistensi dirinya, ”Saya Prabowo Subianto….” Dari gestur ini, beberapa pihak menilai Prabowo sebagai sosok tanpa kompromi, tegas, bahkan ada juga yang menilainya keras. Inilah sosok ideal sebagai presiden sekarang.

Namun, gestur tersebut ternyata tidak sepenuhnya berelasi dengan strategi dan tindakan politiknya. Koalisi yang dibangun Prabowo, suka tidak suka, dapat dikatakan sebagai koalisi yang mengendurkan ketegasan sikap yang tecermin pada gestur di atas. Tawaran sebagai menteri utama kepada Aburizal Bakrie menegaskan hal ini. Di samping itu, jika diperiksa visi dan misinya, kata yang paling keras diungkapkan adalah ”reformasi” (misi nomor 4: ”Meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan melaksanakan REFORMASI pendidikan”). Kata-kata lain merupakan diksi yang sudah sangat umum, seperti ”membangun perekonomian yang kuat, melaksanakan ekonomi rakyat, dan menjaga kelestarian alam.”

Sementara itu, Jokowi adalah capres yang gesturnya berkebalikan dengan Prabowo. Ia kerempeng, bicaranya datar, murah senyum (juga tertawa), dan karena itu terkesan tidak tegas. Sebagian menilai ia cenderung kompromistis dan bahkan bisa menjadi ”boneka”. Tentu para pendukungnya menilai bahwa sosok ini justru yang tepat untuk memimpin. Tubuh kerempengnya adalah representasi dari ”tubuh rakyat”  kebanyakan yang memang juga ”kerempeng”, bahkan kerontang.

Namun, seperti halnya Prabowo, gestur Jokowi tak berelasi dengan tindakan politiknya. Koalisinya tanpa syarat. Ini jelas sebuah ketegasan, bahkan bisa dibilang keras. Kepada calon koalisinya ia bilang, mau begitu silakan, tak mau tidak apa-apa. Lantas, mari periksa visi dan misinya. Melampaui kata reformasi dari Prabowo, Jokowi memilih kata revolusi (misi nomor 8: ”Melakukan REVOLUSI karakter bangsa).” Perhatikan juga idiom lain yang dipilihnya, yang terkesan menunjukkan perlawanan, seperti ”menghadirkan kembali negara, membuat pemerintah tidak absen, membangun Indonesia dari pinggiran, dan menolak negara lemah”.

Politik ”½ x” Soekarno

Uraian di atas tak bertendensi menempatkan yang satu lebih baik daripada yang lain atau sebaliknya. Semua yang dilakukan capres tentu pilihan yang konsekuensinya telah mereka pertimbangkan dengan mengukur sebatas mana keinginan rakyat. Alih-alih membandingkan, analisis di atas dilakukan  untuk menegaskan bahwa relasi antara ideologi gambar dan realitas yang dibayangkan khalayak tentangnya sangat rapuh. Politik kita hari ini penuh dengan permainan tanda. Ideologi gambar tidak lain adalah produksi makna dengan modal kecakapan mendesain tanda. Makna yang dimaksud adalah hal yang berkaitan dengan penampakan tanda itu sendiri, sesuatu yang bermain di permukaan. Ia bermain dalam estetika bentuk, bukan esensi.

Pada situasi demikian, ideologi gambar tak merumuskan prinsip yang harus diperjuangkan. Alih-alih memperjuangkan prinsip, ideologi gambar melakukan kamuflase. Ia tidak peduli dengan perbedaan atau persamaan. Yang dikedepankan adalah tujuan praktis meraih khalayak sebanyak-banyaknya melalui cara berkompromi dengan khalayak bersangkutan, bukan menggoda khalayak untuk masuk ke dalam keyakinannya.

Hal ini tampak jelas pada bagaimana mekanisme pencitraan yang dipilih oleh kedua kubu. Baik kubu Jokowi maupun Prabowo, keduanya memilih kostum putih dan situs sejarah yang mengacu ke tokoh yang sama dalam deklarasi, yakni Soekarno. Pilihan yang sama ini menyebabkan mereka terjebak dalam politik populer yang terstandardisasi. Desain baju putihnya memang berbeda, situs deklarasi yang dipilih juga berbeda. Namun, perbedaan ini seolah-olah saja karena faktanya keduanya putih dan keduanya mengacu kepada Soekarno. Dalam kajian budaya populer, cara ini melahirkan apa yang disebut Strinati (2004) sebagai subyek palsu.

Kesamaan dan keseolah-olahan berbeda sedemikian terjadi karena ideologi gambar bersifat saling mengintip tentang bagaimana kehadiran lawan di tengah khalayak. Hal ini persis seperti politik tayang program sinetron pada stasiun televisi populer. Jika sebuah stasiun menyiarkan sinetron tertentu dan ternyata penontonnya banyak, stasiun yang lain segera meniru. Ideologi gambar, dengan demikian, adalah ideologi rating. Di dalam ideologi ini, fokusnya khalayak, bukan paham atau ideologi yang diyakininya itu sendiri.

Dalam konteks peminjaman sosok Soekarno sebagai referensi ideologi gambar, subyek Soekarno ”dibelah” jadi beberapa bagian. Kedua kubu hanya mengambil sebagian kecil. Satu kubu mengambil citra kerakyatan, kubu lain mengadopsi gaya dan retorika lapis luar. Ini yang saya sebut ”politik ½ x Soekarno”. Bagaimana Soekarno memperjuangkan ideologi hingga dikucilkan pada akhir hayatnya jelas tak masuk ke dalam rumusan ideologi gambar. Kedua kubu lupa, ajaran Soekarno yang terpenting terkait soal ideologi adalah tak adanya celah bagi ideologi untuk dikompromikan. Kemenangan ideologi adalah saat ia ditegakkan dalam situasi apa pun, tanpa syarat. Dengan cara demikianlah hingga sekarang Soekarno tetap jadi pemenang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar