Rabu, 18 Juni 2014

JKN Menafikan Misi Puskesmas?

JKN Menafikan Misi Puskesmas?

Agus Widjanarko  ;   Alumnus FKM Unair dan Sekolah Pascasarjana (Kesehatan Masyarakat) UGM; Gelar profesi “Ahli Asuransi Kesehatan” diperoleh dari PAMJAKI;
Penanggung Jawab pada organisasi Perhimpunan Sarjana Kesehatan Masyarakat Indonesia (Persakmi) Kota Pasuruan
OKEZONENEWS,  17 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang diimplementasikan dalam bentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial bidang Kesehatan (BPJS) akan memasuki semester pertama. Berbagai produk hukum telah diterbitkan sepanjang enam bulan ini sebagai upaya menjawab kendala-kendala yang timbul maupun keluhan-keluhan yang muncul dari para penyelenggara dan pengguna layanan.

Salah satu di antaranya terkait dengan pengaturan Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) milik daerah. FKTP sebagaimana ketentuan umum dalam Peraturan Presiden RI Nomor 32 tahun 2014 (tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Dana Kapitasi Jaminan Kesehatan Nasional Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Milik Pemerintah Daerah) adalah fasilitas kesehatan yang melakukan pelayanan kesehatan perorangan, bersifat non-spesialistik untuk keperluan observasi, diagnosis, perawatan, pengobatan, dan/atau pelayanan kesehatan lainnya. Menilik batasan ini maka FKTP sesungguhnya adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas).

Konsep dasar Puskesmas sejatinya telah diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 128/Menkes/SK/II/2004. Dari keputusan ini dapat disimak misi dari pendirian sebuah Puskesmas. Misinya adalah menggerakkan pembangunan berwawasan kesehatan di wilayah kerjanya. Puskesmas diharapkan dapat senantiasa menggerakkan pembangunan sektor lain agar memerhatikan aspek kesehatan, yaitu pembangunan yang tidak berdampak negatif pada kesehatan, setidaknya terhadap lingkungan dan perilaku masyarakat.

Misi berikutnya mendorong kemandirian hidup sehat bagi keluarga dan masyarakat di wilayah kerjanya. Puskesmas ditekankan untuk selalu berupaya agar keluarga dan masyarakat makin berdaya di bidang kesehatan, melalui peningkatan pengetahuan dan kemampuan menuju kemandirian untuk hidup sehat.

Misi terakhir berupa upaya memelihara dan meningkatkan mutu, pemerataan dan keterjangkauan pelayanan kesehatan yang diselenggarakan Puskesmas. Puskesmas diarahkan untuk menyediakan pelayanan yang sesuai dengan standard serta dapat memuaskan masyarakat, mengupayakan pemerataan pelayanan dan meningkatkan efisiensi pengelolaan dana sehingga dapat dijangkau oleh seluruh anggota masyarakat.

Secara garis besar penjabaran misi ini dituangkan dalam bentuk upaya kesehatan yang dikelompokkan menjadi dua kriteria, yaitu upaya kesehatan wajib dan upaya kesehatan pengembangan, yang merupakan program selain upaya kesehatan wajib. Terdapat enam upaya wajib, lima di antaranya berbasis pada kesehatan masyarakat dan satu upaya lainnya berorientasi pada kesehatan perorangan. Yang berbasis kesehatan masyarakat diwujudkan dalam program promosi kesehatan, kesehatan lingkungan, kesehatan ibu anak termasuk keluarga berencana, perbaikan gizi masyarakat serta pencegahan dan pemberantasan penyakit. Sedangkan yang berorientasi kesehatan perorangan adalah program pengobatan.

Lingkup kerja Puskesmas yang cukup luas dalam rangka mengawal pembangunan kesehatan di daerah ini tampaknya mendapatkan pengerdilan fungsi dalam konteks BPJS. Sejak diberlakukannya pada 2014, BPJS telah menyita waktu kerja dan energi pemberi layanan di Puskesmas. BPJS menempatkan Puskesmas pada posisi memaksimalkan upaya kesehatan wajib “minoritas” (pengobatan) serta meminimalkan upaya kesehatan wajib “mayoritas (lima program selain pengobatan). Tak pelak BPJS kian memberi warna kuratif rehabilitatif pada kinerja Puskesmas.

Definisi FKTP pada Peraturan Presiden (Perpres) maupun Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2014 yang merupakan penjabaran dari Perpres (Permenkes) jelas membatasi ruang gerak Puskesmas dalam kaitannya dengan BPJS hanya pada pelayanan kesehatan “perorangan”. Bahkan dalam pemanfaatan dana kapitasi untuk dukungan operasional pelayanan kesehatan lainnya sebagaimana diatur dalam Permenkes, dicantumkan bahwa kegiatan promotif preventif yang dilakukan harus berorientasi pada upaya kesehatan perorangan, bukan kesehatan masyarakat.

Padahal sangat disadari kalau program-program promotif preventif akan lebih efektif dan berdampak luas jika dilaksanakan pada sasaran khalayak komunitas bukan orang-perorang. Memang ada penafsiran bila dana kapitasi merupakan hak mutlak peserta pemegang kartu BPJS, bukan masyarakat umum. Hanya dalam prakteknya di lapangan apakah bisa dilaksanakan secara efisien.

Penafikan misi Puskesmas semakin tampak pada pengalokasian jasa pelayanan kesehatan yang diformulasikan dalam Permenkes. Jasa pelayanan cenderung dimaksimalkan untuk upaya pengobatan, satu-satunya kegiatan kuratif rehabilitatif di antara enam upaya kesehatan wajib Puskesmas. Dengan asumsi bahwa peserta BPJS itu membayar atau dibayari pemerintah untuk mengantisipasi risiko menderita sakit, maka tidak dapat dihindari bila bagian terbesar dana kapitasi diperuntukkan bagi tenaga kesehatan yang melayani pengobatan di dalam gedung Puskesmas. Sementara tenaga kesehatan yang menjalankan program-program promotif preventif di luar gedung memeroleh penghargaan yang belum setara.

Adalah benar sumber daya manusia kesehatan seperti tenaga medis dan apoteker dalam tatanan birokrasi kepegawaian dinilai sebagai sarjana strata dua. Bersama perawat profesional (ners), ketiga profesi ini mengambil peranan yang penting pada pemberian pelayanan pengobatan, sehingga sudah sepatutnya porsi pembagian jasa mereka tergolong paling tinggi.

Tetapi disayangkan, tenaga-tenaga kesehatan lainnya, semisal yang melaksanakan pendampingan terhadap balita gizi buruk, inspeksi sanitasi, kunjungan keluarga risiko tinggi, sweeping imunisasi, menggelar posyandu dan lain-lain masih dipandang bukan sebagai kegiatan utama. Ini bisa dicermati dari variabel nilai jasa pelayanan yang belum menunjukkan kesetaraan dan kesetimbangan. Jeri payah berpanas-panas di lapangan dihargai cukup rendah dibandingkan pada mereka yang melayani pengobatan.

Yang lebih mengkhawatirkan tentu manakala sudah sampai pada titik pemahaman jika melaksanakan program-program di luar gedung Puskesmas menjadi tidak penting lagi karena hampir tidak berdaya ungkit terhadap penerimaan jasa pelayanan. Oleh sebab keterbatasan sumber daya manusianya, sebagian Puskesmas memberikan tugas rangkap kepada beberapa tenaga kesehatan untuk mengupayakan program kesehatan perorangan sekaligus kesehatan masyarakat. Namun menyikapi aturan pengelolaan jasa BPJS yang hanya memformulasikan tambahan bobot nilai pada perangkapan tugas administratif sebagai Kepala Puskesmas, Kepala Tata Usaha dan Bendahara dana kapitasi JKN, tidak mustahil bila timbul keengganan untuk berangkat menunaikan tugas-tugas rangkap program kesehatan di luar gedung.

Walaupun bisa saja pimpinan memberikan penekanan terkait dengan adanya rambu-rambu “kehadiran  kerja” sebagai salah satu variabel yang diperhitungkan dalam pemberian jasa, namun bila tidak diantisipasi sejak dini, tidak menutup kemungkinan pada gilirannya Puskesmas berubah menjadi hanya sebagai “poliklinik pengobatan”. Puskesmas akan kehilangan marwah misi utamanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar