Psikopatik
= Narsistik = Totaliter
Seno
Gumira Ajidarma ; Wartawan
|
TEMPO.CO,
17 Juni 2014
Benarkah
Adolf Hitler (1889-1945) itu psikopat? Sejarah mencatat, sebetulnya Hitler ingin
menjadi seniman, mendaftar ke Akademi Seni Murni di Wina, pada 1907 dan 1908,
tapi tidak diterima karena "tidak layak melukis". Jika diterima,
pembersihan kaum Yahudi itu mungkin bisa di-gambar-kan saja, tidak usah
diwujudkan secara konkret dan efisien: masukkan kamar gas.
Hitler
hanya bisa menggertakkan geraham ketika dalam Olympiade Berlin 1936 pemenang
lari 100 meter bukan dari ras Arya, melainkan Jesse Owens dari Amerika
Serikat, yang berkulit hitam. Alih-alih sadar atas kepicikan rasis, semakin kuat
tercatat dalam agenda tersembunyinya: keunggulan ras Arya harus dibuktikan
dengan segala cara, termasuk membasmi kaum yang-waktu itu-tak bertanah air
dan tak bernegara tapi menguasai perekonomian, seperti Yahudi.
Pertanyaannya:
mengapa ada juga, bahkan banyak, yang mendukung dia, sehingga orang seperti
Hitler bisa jadi Kanselir Jerman? Pemimpin psikopatik (psychopathic leader) ternyata ditempatkan dalam perbincangan narcissistic personality disorder
(NPD). Disebutkan, pemimpin semacam itu adalah kulminasi dan perwujudan dari
peradaban pada masanya: memang akan
menonjol dalam khalayak narsisistik.
Narsisis
akan menemukan, membentuk, dan memandang dirinya sendiri dengan keliru,
sebagai bagian dari dongeng yang berada dalam pilihan untuk ditakuti atau dikagumi.
Semula menjaga jarak ketika menggenggam realitas, dirinya menjadi lebih buruk
dalam jebakan kekuasaan. Delusi diri dan fantasinya atas kebesaran, didukung
otoritasnya sendiri dalam kenyataan, serta kegemaran narsisis untuk
mengelilingi diri dengan para penjilat, hanya akan menguburnya (Vaknin, 2013: 47). Dalam dunia wayang,
raja raksasa memang didukung raksasa, raja monyet didukung monyet, dan raja
manusia didukung manusia. Bukankah tokoh-tokoh pendukung tertentu, terhadap
seorang pemimpin tertentu, tampak "sejenis" alias karakternya
"mirip-mirip" pemimpin tersebut?
Perbincangan
tentang Stalin dalam buku karya Robert Conquest, The Great Terror: A Reassessment (1968), menempatkan psikopati
seorang pemimpin sebagai penyebab langsung totaliterisme (Moscovici: 2011/06/29). Adapun dalam
totaliterisme, ideologi menjelaskan segalanya berdasarkan tujuan, melakukan
rasionalisasi atas segala halangan yang mungkin muncul ataupun segala daya
yang mungkin merupakan tantangan terhadap negara. Dukungan rakyat mengizinkan
negara memperluas wilayah tindakan dalam berbagai bentuk pemerintahan. Segala
perbedaan pendapat dicap sebagai kejahatan dan perbedaan politik internal
tidak diizinkan (www.britannica.com:
2014/6/9).
Terdapatnya
lebih dari satu partai dan diselenggarakannya pemilu bukanlah jaminan suatu
negeri tak jadi-dan tak akan menjadi-totaliter. Jangan kaget jika sejumlah
pemikir memasukkan pula Amerika Serikat, setelah menyebut Nasional-sosialisme
Jerman, Uni Soviet, dan Kuba, seperti dilakukan Marcuse (1964) dan Reich
(1971), meski ada juga yang membatasi diri hanya pada Italia-nya Mussolini
(Orr dalam DeCrespigny & Cronin,
1975: 134). Ideologi yang begitu populer seperti nasionalisme bahkan tak
kurang-kurangnya menjadi contoh kasus bagi praktek totaliterisme [Ward, 1982 (1966): 37-41]. Begitu juga
tentunya dengan ideologi bernuansa keagamaan yang tampak
"antihama", suci-murni, bersih, dan tanpa noda.
Bagaimana
khalayak terkibuli? Dengan mesin propaganda yang efisien, totalitarisme
berhasil memberlangsungkan transformasi kelas-kelas sosial menjadi massa,
sehingga partai-partai bukan dilebur ke dalam partai tunggal, melainkan
dijadikan gerakan massa. Seorang pemimpin fanatik akan menciptakan massa yang
merasa selalu dibohongi, diperlakukan tidak adil, dan berada di dalam sistem
sosial-politik yang keliru.
Hal ini
membuat pemimpin macam apa pun yang berjanji menggantikan sistem lama-yang
telah membuat nasib mereka sungguh malang-akan didukung. Pendukung seperti
ini lantas menjadi fanatik juga, sehingga ketika mengetahui betapa segenap
retorika hanyalah semu, justru semakin bangga, karena tahu segalanya memang
adalah kebohongan sahaja. Massa ini akan dibuat berdaya melalui suatu tujuan
agresif, antara lain dengan memberinya musuh obyektif, yakni berciri
tertentu: dari cara rasis sampai sentimen kelas. Sentimen keagamaan jelas
bukan pengecualian.
Rezim
totaliter dalam sejarah tidak ada yang bertahan, tapi saat itu korban sudah
terlalu besar dan berlebihan, karena segenap tujuan ideologis yang
mengingkari kehidupan nyata jelas melemahkan keberdayaan sosial. Di atas
semua itu, pemusatan ekonomi yang didukung teror hanya akan membawa dirinya
sendiri menuju kebangkrutan, ketika kesadaran sudah sangat terlambat [Magnis-Suseno dalam Arendt,1995 (1979):
viii-xxii].
Sejarah
selalu berulang? Yang satu ini jangan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar