Menanti
Pemimpin Produktif
Ibnu
Anshori ; Mahasiswa
IAIN Walisongo Semarang,
Ketua
Umum Komunitas Mahasiswa Madura (KoMMa) Semarang
|
HALUAN,
17 Juni 2014
“Enam Puluh tahun dengan pemimpin yang zalim
(masih) lebih baik daripada semalam tanpa penguasa”.(Taqiyuddin
Ibn Taimiyah)
Menelisik
lebih dalam pernyataan di atas, cukup mengindikasikan bahwa eksistensi
pemimpin sangatlah urgen bagi sebuah negara. Pasalnya, pemimpin merupakan
ujung tombak pemerintahan yang dapat menjalankan, mengatur, mengayomi, melindungi,
serta memberikan kesejahteraan rakyat. Bahkan, maju tidaknya negara dan
tinggi rendah harkat martabat rakyat ditentukan oleh pemimpin.
Namun,
yang harus disoroti adalah, bukan berarti pemimpin zalim dibolehkan memimpin
negara, terlebih dengan durasi enam puluh tahun. Melainkan, mewajibkan kita
untuk benar-benar lebih selektif mencari pemimpin. Tentunya, pemimpin yang
mampu menyongsong Indonesia ke arah yang lebih menjanjikan. Sebagai contoh
dengan kriteria jujur, adil, cerdas, tegas, bijak, asketis, dan produktif.
Jika
dikontekskan dengan dilema Indonesia yang tengah mengalami krisis kepemimpinan
saat ini, tentu kita sepakat bahwa kriteria pemimpin tersebut sangat cocok
dan patut didambakan oleh segenap bangsa Indonesia. Pasalnya, mengingat
istilah dari Ibnu Khaldun, yang mengatakan bahwa hancurnya peradaban sebuah
negara salah satunya dikarenakan oleh kezaliman penguasa (pemimpin).
Karena
itu, penghelatan hajatan demokrasi lima tahunan (Pemilu) merupakan momentum
untuk menyingsingkan lengan baju menuju Indonesia baru, yakni dengan memberikan
kepercayaan (amanat) kepada pemimpin berkualitas, berintegritas, dan
berkredibilitas tinggi. Selain itu, momentum tersebut dapat dijadikan sebagai
wadah semangat baru untuk bersama-sama merajut masa depan Indonesia yang
lebih cerah nan cemerlang.
Butuh Pemimpin Produktif
Pemimpin
produktif adalah pemimpin yang mampu menciptakan nuansa baru, bangkit dari
keterpurukan, dan menjadikan perjalanan sejarah sebagai cermin masa depan.
Sederhananya, pemimpin produktif adalah berusaha seoptimal mungkin mewujudkan
cita-cita rakyat mencapai kesejahteraan, yakni meneruskan semangat juang
impian Indonesia dengan disertai usaha dan kerja keras.
Semangat
juang meneruskan cita-cita rakyat merupakan hal vital yang harus dimiliki
oleh segenap bangsa, khususnya seorang pemimpin. Hal yang paling mendasar
dalam konteks ini adalah kesejahteraan rakyat. Pasalnya, hingga saat ini bisa
dibilang kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya dapat dirasakan, sekalipun
ada, pastilah berlaku kepada kalangan berdarah biru (bangsawan), bak pisau
yang tajam di genggaman.
Kesenjangan
ini, tentu merupakan masalah yang mengungkung Indonesia, bak merdeka dalam
gua, namun diperbudak gelap akibat tidak ada celah cahaya. Karena itu,
pemimpin yang dibutuhkan Indonesia saat ini adalah pemimpin yang bisa
mengentaskan bangsa dari neraka kebiadaban menuju surga peradaban. Paling
tidak, dalam jangka lima tahun ke depan.
Selain
itu, pemimpin produktif adalah pemimpin yang mampu memberikan keteladan, baik
ucapan maupun perbuatan. Artinya, pemimpin harus memberikan contoh yang baik
dalam segala bidang. Pasalnya, pemimpin merupakan panutan rakyat. Bagaimana
rakyat bisa melakukan apa yang diperintah oleh pemimpin, jika pemimpin
tersebut tidak memberikan teladan?
Sebagai
contoh dalam aspek ucapan (lisan). Pemimpin dituntut bertutur kata sopan dan
santun. Tanpa strars pembeda (diskriminasi) antara rakyat satu dengan yang
lain. Semua dinilai setara, dan berhak mendapat perlakuan sama. Mengutip
Immanuel Kant, yang mengatakan bahwa (human
dignity) atau hak sebagai manusia yang menjadi dasar dari hak asasi
lainnya. Artinya, fitrah manusia berarti kebebasan individu dan kesetaraan.
Sedangkan
dari aspek perbuatan. Pemimpin harus membekaskan jejak kaki positif. Idealnya
dalam Islam mencontoh kepemimpinan Rasulullah SAW. Selain menjadi pemimpin (leader), beliau juga merupakan
politikus, saudagar, bahkan pengembala. Artinya, beliau tidak memandang
status, yang terpenting baginya adalah keteladanan. Dan tentunya, tindak
tanduk beliau tidak lain memberi pencerahan untuk kemaslahatan umat.
Misalnya,
saat menjadi kepala Negara, beliau mampu menyatukan banyak kabilah dengan
satu perundang-undangan tertulis, yaitu “Piagam
Madinah”. Saat menjadi politikus, beliau mampu mempengaruhi kehidupan
masyarakat dengan kepribadian beliau yang tegas dan bijaksana. Saat menjadi
saudagar beliau bersikap jujur, dan membagi-bagikan segala hartanya kepada
fakir miskin. Dan saat beliau menjadi pengembala, beliau tidak pernah merasa
malu.
Dalam
konteks ini, dapat ditarik benang merahnya, bahwa pemimpin tidak harus hidup
bermewahan-mewahan dengan dimanjakan oleh segenap fasilitas negara.
Melainkan, pemimpin haruslah menderita. Sebagaimana ungkapan Mr. Kasman
Singodimejo untuk mengenang kepemimpinan H. Agus Salim “Leiden is Ujden” (Memimpin
adalah Menderita).
Pernyataan
tersebut tentu mengajarkan kita, bahwa pemimpin harus rela berkorban. Baik
berupa tenaga, usaha, kerja, bahkan doa. Paling tidak, menciptakan
kesejahteraan, kemaslahatan, keselamatan, keamanan, dan kenyamanan rakyat.
Sebagaimana gagasan Prof. Dr. Matthias Lutz Bachmann, yang menegaskan bahwa
pemimpin harus menuangkan keramahtamahan universal (cosmopolitan right) agar tercipta kedamaian abadi antara individu
satu dengan individu lain, kelompok satu dengan kelompok lain dalam naungan
negara.
Pemimpin
seperti inilah yang pantas memimpin Indonesia. Paling tidak, gerak
kepemimpinannya dapat direplikasi oleh capres dan cawapres terpilih tahun
2014 ini, baik pasangan (Prabowo
Subianto-Hatta Rajasa dan Joko
widodo-Jusuf Kalla). Dengan demikian tidak
ayal, walau secara perlahan tapi pasti, Indonesia akan menjadi negara yang
disegani oleh negara tetangga, bahkan Indonesia siap bersaingan di dunia
Internasional. Wallahu a’lam bi
as-shawab. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar