Menutup
Lokalisasi Dolly
Yuyung
Abdi ; Fotografer Jawa Pos, Mahasiswa S-3 Sosiologi
Unair,
Peneliti
Prostitusi Indonesia
|
JAWA
POS, 10 Juni 2014
SEMULA,
identitas Dolly sebagai lokalisasi pelacuran menempatkan ikonnya melebihi
nama kota. Meski, ikon itu telah meredup begitu Pemerintah Kota (Pemkot)
Surabaya berhasil meraih sederet predikat kota tebersih, city of future, ternyaman, maupun terindah. Setelah pencapaian
tersebut, tentu ikonitas Dolly menjadi noda dari seluruh predikat yang
disandang. Karena itulah, Dolly perlu dihapus. Namun, menghapus Dolly memang
sebuah prestasi untuk sebuah citra, tapi belum tentu prostitusinya juga
terhapus.
Prostitusi
bukan hanya lokalisasi. Prostitusi punya bermacam media/sarana transaksi
untuk penyaluran hasrat seksual. Di mana pun bisa terjadi transaksi.
Lokalisasi hanyalah salah satu tempat dalam media transaksi.
Di kota
besar, afiliasi tempat hiburan dan prostitusi menggeser peran lokalisasi.
Integrasi tempat hiburan dengan pelacuran menjadi metamorfosis konsep
prostitusi. Panti pijat, spa, karaoke, kelab, pub, kafe, diskotek, hotel
short time, atau mega-entertainment bisa menjadi pengalihan fungsi tempat hiburan
sebagai transaksi prostitusi total atau parsial.
Pemkot
memiliki alasan kuat untuk menutup lokalisasi setelah banyak korban anak-anak
laki yang mengonsumsi seks pada usia dini. Begitu pula anak perempuan belia
yang dijual lewat teman sebaya mereka. Sebelum 2009, prostitusi di Surabaya
tidak terkontrol. Penjaja seks menghiasi 21 titik di pinggir jalan besar
Surabaya. Pada 2010 pemkot Surabaya berhasil menghilangkan street
prostitution. Diungkapnya 14 kasus transaksi seks lewat ponsel oleh
Polrestabes Surabaya pada 2011 menjadi langkah maju dalam memberantas
prostitusi. Langkah maju berikutnya adalah penutupan prostitusi Kremil,
Bangunsari, dan Sememi.
Penutupan
lokalisasi biasanya hanya bersifat metaforis, tidak memberikan manfaat apa
pun, kecuali pengeluaran dana besar. Setelah ditutup, aktivitas lokalisasi
tetap berjalan.
Sejumlah
penutupan, misalnya lokalisasi Saritem di Bandung, April 2007, juga tidak
berhasil mematikan aktivitas transaksi seksual di sana. Lokalisasi Sumber Loh
atau Padang Bulan di Banyuwangi tetap buka setelah sebulan ditutup secara
resmi. Eks lokalisasi Besini, Puger, Jember, yang ditutup pada 2007 juga
kembali buka secara ilegal. Kasus penutupan lokalisasi di Kediri pada 1998,
yakni Semampir dan Gedang Sewu, serta tujuh lokalisasi kecil lainnya juga
bernasib sama. Di lokalisasi Teratai Putih, Palembang, di pintu masuk sudah
tertulis resmi ditutup, tapi aktivitas transaksi tetap berlangsung di
dalamnya.
Di
Kabupaten Berau, Kalimantan Utara, pernah dilakukan penutupan lokalisasi km 5
yang dikenal dengan sebutan Teluk Bayur. Seluruh pekerja seks dikembalikan ke
Jawa Timur dengan mendapat kompensasi Rp 5 juta. Kini mereka mendirikan
lokalisasi baru lagi di km 15. Berbeda dengan kompleks lokalisasi Teleju yang
merupakan singkatan Teluk Lembu Ujung, Pekanbaru, Riau. Pemerintah berhasil
menutup lokalisasi itu disertai pembangunan rusunawa lima lantai. Penanganan
konkret oleh pemerintah telah berhasil. Tapi, dampak yang tidak diduga,
berdiri tempat prostitusi baru yang berkolaborasi dengan tempat hiburan.
Tahap Pra-Aksi
Pemkot
telah melakukan segala upaya untuk membuat lokalisasi Dolly sepi. Misalnya,
tidak ada penambahan wisma baru, menutup aktivitas pada hari besar keagamaan,
razia, tidak ada penambahan PSK baru, tidak ada anak di bawah umur, menutup
wisma bermasalah, memasang CCTV, hingga melempar isu HIV/AIDS. Aksi baru
lainnya dilakukan pemkot dengan melarang masuk warga dari luar kawasan
Girilaya. Mereka dicegat di depan pintu masuk Girilaya-Banyu Urip. Tapi,
kebijakan itu akhirnya gagal karena sejumlah pekerja lokalisasi mendatangi
satpol PP itu.
Pemasangan
enam CCTV di setiap perempatan dan di ujung Gang Dolly sebagai shock therapy bagi konsumen seksual
sangat berguna. Meski, bagi pekerja di Dolly, hal itu dianggap sekadar
menakut-nakuti. Hanya, sejumlah aksi pemerintah dilanggar sendiri oleh
petugas nakal. Aturan tidak boleh menerima pekerja seks baru ternyata dapat
disiasati dengan memberikan uang pelicin sehingga wisma tetap bisa memasukkan
pekerja seks baru. Dari sekian cara, yang paling efektif membuat Dolly sepi
adalah berita tentang HIV/AIDS. Setiap ada berita tentang PSK yang terinfeksi
HIV/AIDS, keesokannya Dolly terlihat sepi.
Sebenarnya,
penyebab sepinya Dolly telah dirasakan pengelola wisma. Tahun 1990–1997
merupakan masa kejayaan Dolly. Setiap wisma memperoleh lebih dari 100
transaksi kamar. Satu kamar waktu itu Rp 75 ribu. Sekarang rata-rata setiap
wisma sangat berat untuk mendapat 40–50 transaksi kamar, meski weekend.
Apa yang
membuat Dolly sepi? Banyak mucikari yang akhirnya menyadari bahwa sepinya
Dolly disebabkan adanya persoalan internal di Dolly. Pertama, beberapa kali
terjadi pengeroyokan konsumen seksual oleh anak buah mucikari gara-gara
perselisihan kecil. Hal itu membuat pengunjung jera datang ke Dolly.
Kedua,
perlakuan pekerja seks yang tidak simpatik dalam melayani tamu. Hampir 80
persen pekerja seks di Dolly memiliki pacar (laki-laki piaraan). Nah, pacar
itu sangat mengganggu pelayanan sekaligus pendapatan wisma. Para pekerja seks
meninggalkan wisma demi pacarnya. Melayani tamu, tapi masih menerima
sambungan telepon pacarnya.
Ketiga,
nilai jual pekerja seks di Dolly menurun. Nilai jual itu terdiri atas berbagai
faktor. Antara lain, kebaruan pekerja seks, umur yang belia, kecantikan,
keindahan fisik, warna kulit, asal daerah, dan attitude. Mereka yang memiliki kelebihan fisik tentu meninggalkan
Dolly dan bermigrasi ke prostitusi konsep pertokoan di Surabaya dengan
pendapatan yang lebih besar. Atau, menjadi call girl berbekal ponsel guna meningkatkan perolehan. Penjaja
seks di Dolly secara kualitas sudah menurun. Mereka pindah ke tempat seperti Darmo Park yang sebenarnya sebagian
berasal dari Dolly. Kalau biasanya di Dolly dihargai Rp 100 ribu–Rp 300 ribu
sekali kencan, di pertokoan Kedungdoro
harga mereka menjadi Rp 550 ribu.
Keempat,
mucikari di Dolly tidak bisa bersatu. Mereka bersaing untuk meramaikan
jaringan wisma. Kurangnya kekompakan empat kelompok besar di Dolly membuat
persaingan tidak sehat. Saling melaporkan ketika terlibat dalam persoalan
hukum. Tidak ada lagi orang yang dituakan di lokalisasi Dolly seperti
almarhum Dirja, Ali Kasim, dan Margono yang mendamaikan pertengkaran
antarpemilik wisma pada masa lalu.
Membuat Dolly Bangkrut
Cara
membuat Dolly tutup tidak sepenuhnya harus dilakukan dengan menutup paksa
Dolly. Ikatan ekonomi warga sekitar dengan wisma di Dolly masih sangat kuat.
Masyarakat sekitar masih menerima keberadaan prostitusi. Ikatan itulah yang
harus diputus.
Akses
mata rantai mucikari yang membawa pekerja seks dari daerah harus ditutup.
Mereka sangat aktif melakukan itu karena mendapat komisi Rp 1 juta bila
mengantarkan seorang pekerja seks. Petugas yang menerima suap untuk meloloskan
PSK baru juga harus dipindah.
Cara
efisien mengurangi pengunjung di Dolly adalah mencatat identitas pengunjung.
Cara tersebut dapat dilakukan setelah konsumen seksual yang bertransaksi seks
menunjukkan KTP di wisma. Bila metode itu tidak diterima wisma, cara
berikutnya adalah menempatkan petugas di ujung Gang Girilaya untuk mencatat
KTP pengguna jasa seks dan memberikan pertanyaan singkat. Data konsumen seks
yang telah bertransaksi dapat dilihat dari CCTV, lalu dicocokkan ketika dia
meninggalkan lokasi. Jadi, sasaran yang dituju bukan hanya pekerja seks
maupun mucikari, tapi juga pengunjung. Cara itu dijamin ampuh membuat Dolly
sepi.
Cara
lain adalah memberikan kompensasi pekerjaan terhadap mucikari sekitar 200
orang. Selain itu, memberikan kompensasi tempat bagi pedagang sekitar
lokalisasi untuk berjualan di sentra PKL yang telah dibangun pemkot.
Yang
tidak kalah penting, harus ada antisipasi ke mana perginya pekerja seks,
pengelola wisma, dan mucikari pasca penutupan. Alternatif lain, membeli rumah
pemilik wisma, tapi tidak perlu memberikan dana kompensasi penutupan. Atau,
merobohkan wisma untuk pelebaran jalan atau untuk fasilitas lain.
Mantan
Bupati Lamongan Mohammad Faried pernah menggunakan cara tersebut. Begitu pula
dengan konsep penutupan lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta. Cara membeli
wisma dan dirobohkan lebih efektif, namun memerlukan dana besar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar