Sabtu, 14 Juni 2014

Menutup Lokalisasi Dolly

Menutup Lokalisasi Dolly

Yuyung Abdi  ;   Fotografer Jawa Pos, Mahasiswa S-3 Sosiologi Unair,
Peneliti Prostitusi Indonesia
JAWA POS,  10 Juni 2014
                                                
                                                                                         
                                                      
SEMULA, identitas Dolly sebagai lokalisasi pelacuran menempatkan ikonnya melebihi nama kota. Meski, ikon itu telah meredup begitu Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya berhasil meraih sederet predikat kota tebersih, city of future, ternyaman, maupun terindah. Setelah pencapaian tersebut, tentu ikonitas Dolly menjadi noda dari seluruh predikat yang disandang. Karena itulah, Dolly perlu dihapus. Namun, menghapus Dolly memang sebuah prestasi untuk sebuah citra, tapi belum tentu prostitusinya juga terhapus.

Prostitusi bukan hanya lokalisasi. Prostitusi punya bermacam media/sarana transaksi untuk penyaluran hasrat seksual. Di mana pun bisa terjadi transaksi. Lokalisasi hanyalah salah satu tempat dalam media transaksi.

Di kota besar, afiliasi tempat hiburan dan prostitusi menggeser peran lokalisasi. Integrasi tempat hiburan dengan pelacuran menjadi metamorfosis konsep prostitusi. Panti pijat, spa, karaoke, kelab, pub, kafe, diskotek, hotel short time, atau mega-entertainment bisa menjadi pengalihan fungsi tempat hiburan sebagai transaksi prostitusi total atau parsial.

Pemkot memiliki alasan kuat untuk menutup lokalisasi setelah banyak korban anak-anak laki yang mengonsumsi seks pada usia dini. Begitu pula anak perempuan belia yang dijual lewat teman sebaya mereka. Sebelum 2009, prostitusi di Surabaya tidak terkontrol. Penjaja seks menghiasi 21 titik di pinggir jalan besar Surabaya. Pada 2010 pemkot Surabaya berhasil menghilangkan street prostitution. Diungkapnya 14 kasus transaksi seks lewat ponsel oleh Polrestabes Surabaya pada 2011 menjadi langkah maju dalam memberantas prostitusi. Langkah maju berikutnya adalah penutupan prostitusi Kremil, Bangunsari, dan Sememi.

Penutupan lokalisasi biasanya hanya bersifat metaforis, tidak memberikan manfaat apa pun, kecuali pengeluaran dana besar. Setelah ditutup, aktivitas lokalisasi tetap berjalan.

Sejumlah penutupan, misalnya lokalisasi Saritem di Bandung, April 2007, juga tidak berhasil mematikan aktivitas transaksi seksual di sana. Lokalisasi Sumber Loh atau Padang Bulan di Banyuwangi tetap buka setelah sebulan ditutup secara resmi. Eks lokalisasi Besini, Puger, Jember, yang ditutup pada 2007 juga kembali buka secara ilegal. Kasus penutupan lokalisasi di Kediri pada 1998, yakni Semampir dan Gedang Sewu, serta tujuh lokalisasi kecil lainnya juga bernasib sama. Di lokalisasi Teratai Putih, Palembang, di pintu masuk sudah tertulis resmi ditutup, tapi aktivitas transaksi tetap berlangsung di dalamnya.

Di Kabupaten Berau, Kalimantan Utara, pernah dilakukan penutupan lokalisasi km 5 yang dikenal dengan sebutan Teluk Bayur. Seluruh pekerja seks dikembalikan ke Jawa Timur dengan mendapat kompensasi Rp 5 juta. Kini mereka mendirikan lokalisasi baru lagi di km 15. Berbeda dengan kompleks lokalisasi Teleju yang merupakan singkatan Teluk Lembu Ujung, Pekanbaru, Riau. Pemerintah berhasil menutup lokalisasi itu disertai pembangunan rusunawa lima lantai. Penanganan konkret oleh pemerintah telah berhasil. Tapi, dampak yang tidak diduga, berdiri tempat prostitusi baru yang berkolaborasi dengan tempat hiburan.

Tahap Pra-Aksi

Pemkot telah melakukan segala upaya untuk membuat lokalisasi Dolly sepi. Misalnya, tidak ada penambahan wisma baru, menutup aktivitas pada hari besar keagamaan, razia, tidak ada penambahan PSK baru, tidak ada anak di bawah umur, menutup wisma bermasalah, memasang CCTV, hingga melempar isu HIV/AIDS. Aksi baru lainnya dilakukan pemkot dengan melarang masuk warga dari luar kawasan Girilaya. Mereka dicegat di depan pintu masuk Girilaya-Banyu Urip. Tapi, kebijakan itu akhirnya gagal karena sejumlah pekerja lokalisasi mendatangi satpol PP itu.

Pemasangan enam CCTV di setiap perempatan dan di ujung Gang Dolly sebagai shock therapy bagi konsumen seksual sangat berguna. Meski, bagi pekerja di Dolly, hal itu dianggap sekadar menakut-nakuti. Hanya, sejumlah aksi pemerintah dilanggar sendiri oleh petugas nakal. Aturan tidak boleh menerima pekerja seks baru ternyata dapat disiasati dengan memberikan uang pelicin sehingga wisma tetap bisa memasukkan pekerja seks baru. Dari sekian cara, yang paling efektif membuat Dolly sepi adalah berita tentang HIV/AIDS. Setiap ada berita tentang PSK yang terinfeksi HIV/AIDS, keesokannya Dolly terlihat sepi.

Sebenarnya, penyebab sepinya Dolly telah dirasakan pengelola wisma. Tahun 1990–1997 merupakan masa kejayaan Dolly. Setiap wisma memperoleh lebih dari 100 transaksi kamar. Satu kamar waktu itu Rp 75 ribu. Sekarang rata-rata setiap wisma sangat berat untuk mendapat 40–50 transaksi kamar, meski weekend.

Apa yang membuat Dolly sepi? Banyak mucikari yang akhirnya menyadari bahwa sepinya Dolly disebabkan adanya persoalan internal di Dolly. Pertama, beberapa kali terjadi pengeroyokan konsumen seksual oleh anak buah mucikari gara-gara perselisihan kecil. Hal itu membuat pengunjung jera datang ke Dolly.

Kedua, perlakuan pekerja seks yang tidak simpatik dalam melayani tamu. Hampir 80 persen pekerja seks di Dolly memiliki pacar (laki-laki piaraan). Nah, pacar itu sangat mengganggu pelayanan sekaligus pendapatan wisma. Para pekerja seks meninggalkan wisma demi pacarnya. Melayani tamu, tapi masih menerima sambungan telepon pacarnya.

Ketiga, nilai jual pekerja seks di Dolly menurun. Nilai jual itu terdiri atas berbagai faktor. Antara lain, kebaruan pekerja seks, umur yang belia, kecantikan, keindahan fisik, warna kulit, asal daerah, dan attitude. Mereka yang memiliki kelebihan fisik tentu meninggalkan Dolly dan bermigrasi ke prostitusi konsep pertokoan di Surabaya dengan pendapatan yang lebih besar. Atau, menjadi call girl berbekal ponsel guna meningkatkan perolehan. Penjaja seks di Dolly secara kualitas sudah menurun. Mereka pindah ke tempat seperti Darmo Park yang sebenarnya sebagian berasal dari Dolly. Kalau biasanya di Dolly dihargai Rp 100 ribu–Rp 300 ribu sekali kencan, di pertokoan Kedungdoro harga mereka menjadi Rp 550 ribu.

Keempat, mucikari di Dolly tidak bisa bersatu. Mereka bersaing untuk meramaikan jaringan wisma. Kurangnya kekompakan empat kelompok besar di Dolly membuat persaingan tidak sehat. Saling melaporkan ketika terlibat dalam persoalan hukum. Tidak ada lagi orang yang dituakan di lokalisasi Dolly seperti almarhum Dirja, Ali Kasim, dan Margono yang mendamaikan pertengkaran antarpemilik wisma pada masa lalu.

Membuat Dolly Bangkrut

Cara membuat Dolly tutup tidak sepenuhnya harus dilakukan dengan menutup paksa Dolly. Ikatan ekonomi warga sekitar dengan wisma di Dolly masih sangat kuat. Masyarakat sekitar masih menerima keberadaan prostitusi. Ikatan itulah yang harus diputus.

Akses mata rantai mucikari yang membawa pekerja seks dari daerah harus ditutup. Mereka sangat aktif melakukan itu karena mendapat komisi Rp 1 juta bila mengantarkan seorang pekerja seks. Petugas yang menerima suap untuk meloloskan PSK baru juga harus dipindah.

Cara efisien mengurangi pengunjung di Dolly adalah mencatat identitas pengunjung. Cara tersebut dapat dilakukan setelah konsumen seksual yang bertransaksi seks menunjukkan KTP di wisma. Bila metode itu tidak diterima wisma, cara berikutnya adalah menempatkan petugas di ujung Gang Girilaya untuk mencatat KTP pengguna jasa seks dan memberikan pertanyaan singkat. Data konsumen seks yang telah bertransaksi dapat dilihat dari CCTV, lalu dicocokkan ketika dia meninggalkan lokasi. Jadi, sasaran yang dituju bukan hanya pekerja seks maupun mucikari, tapi juga pengunjung. Cara itu dijamin ampuh membuat Dolly sepi.

Cara lain adalah memberikan kompensasi pekerjaan terhadap mucikari sekitar 200 orang. Selain itu, memberikan kompensasi tempat bagi pedagang sekitar lokalisasi untuk berjualan di sentra PKL yang telah dibangun pemkot.

Yang tidak kalah penting, harus ada antisipasi ke mana perginya pekerja seks, pengelola wisma, dan mucikari pasca penutupan. Alternatif lain, membeli rumah pemilik wisma, tapi tidak perlu memberikan dana kompensasi penutupan. Atau, merobohkan wisma untuk pelebaran jalan atau untuk fasilitas lain.

Mantan Bupati Lamongan Mohammad Faried pernah menggunakan cara tersebut. Begitu pula dengan konsep penutupan lokalisasi Kramat Tunggak di Jakarta. Cara membeli wisma dan dirobohkan lebih efektif, namun memerlukan dana besar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar