Tuan
Rumah di Negeri Sendiri
Gempur
Santoso ; Sekretaris Dewan Pendidikan Jawa Timur,
Guru Besar
Universitas PGRI Adi Buana Surabaya
|
JAWA
POS, 23 Mei 2014
SETIAP
rakyat pasti ingin menjadi tuan rumah di negerinya. Mereka membutuhkan
pemimpin (=presiden) dan perangkat pemerintahan yang berasal dari bangsanya
sendiri. Pemimpin merupakan tumpuan harapan untuk mengelola negara, rakyat,
dan sumber alamnya secara adil, makmur, aman, nyaman, serta menyejahterakan
rakyat.
Rakyat
tidak ingin negerinya dikuasai negara asing atau bangsa asing. Segala sektor
milik negara dan kebijakan tidak ingin dikuasai bangsa lain. Jika kebijakan
presiden dan pemerintahnya dikuasai bangsa asing, pemimpin itu sekadar
''boneka'' negara lain. Jika semua rakyat tahu bahwa pemimpinnya hanyalah
''boneka'' asing, pastilah mereka akan marah dan berontak. Tetapi, tidak
semua rakyat bisa tahu.
Saat ini
kita membutuhkan presiden yang berani mengelola sumber daya alam negeri ini.
Seperti keberanian BUMN mengelola kilang minyak sendiri yang selama ini
dikuasai pihak asing. Itu harus diapresiasi. Pemimpin yang berpihak kepada
kepentingan nasional (prorakyat) itu merupakan pemimpin yang nasionalis.
Permasalahannya,
betapa sulitnya memilih pemimpin saat ini. Pada masa-masa pemilihan presiden
(pilpres) seperti saat ini, kita sulit menjelaskan kepada khalayak masyarakat
tentang sesuatu di balik calon pemimpin. Isu agama atau isu etnis menjadi
tabu untuk diembuskan pada zaman pluralis ini. Isu kapitalis serta
neo-imperialis juga sulit dipahamkan kepada rakyat. Sebab, mereka tidak punya
informasi pengetahuan yang memadai.
Betapa
sulitnya menemukan presiden yang prorakyat saat ini. Janji-janji kampanye
mereka seolah-olah prorakyat, tetapi setelah menjabat justru pro yang
membiayai saat pencalonan pemimpin (prokapitalis atau procukong, atau
probroker dan sebutan lainnya).
Politik
transaksi jabatan atau transaksi uang menjadi fenomena saat ini. Itu
merupakan tren saat ini sehingga menjadi budaya pragmatisme. Budaya
pragmatisme merupakan kebiasaan mengambil jalan pintas dengan menghalalkan
segala cara untuk mencapai tujuan. Berpolitik pragmatis dengan transaksi
jabatan, uang, dan lain-lain dengan menghalalkan segala cara sudah
mengabaikan norma (nilai) budaya dan norma agama. Politik yang sebetulnya
merupakan seni kehidupan tidak indah lagi.
Perbuatan
dengan menghalalkan segala cara bukanlah seni, tetapi angkara murka. Sifat
kesatria idealisme saat ini terkikis. Ajaran agama untuk saling bersinergi
sesama manusia (hablumminannas) terpinggir oleh manusia saat ini yang saling
menyerakahi. Semoga kondisi seperti itu segera berakhir dengan kesadaran kita
masing-masing untuk tetap pada koridor meyakini dan menjalankan nilai-nilai
agama.
Para
pahlawan dan pejuang kemerdekaan telah berhasil mengusir imperialisme. Pada
saat itu, model imperialisme menjadi alat para kapitalis asing yang mengeruk
kekayaan dari bumi Indonesia. Presiden Permata Republik Indonesia Ir Soekarno
berhasil memimpin pengusiran kapitalis asing dari bumi pertiwi. Pada zaman
presiden pertama itulah Indonesia pernah menjadi tuan rumah di negeri
sendiri.
Pada
periode presiden berikutnya, mulailah kapitalis asing merapat kembali ke
negeri kita. Lambat laun kapitalisme menguasai Indonesia. Bahkan, sampai
sekarang kapitalisme semakin mengakar di bumi pertiwi. Praktik kapitalisme
berupa neo-capitalism saat ini membuat rakyat tertindas dari segi ekonomi.
Kini
kapitalisme telah menguasai negeri ini. Bahkan diprediksi menguasai bidang
kekuasaan (pemerintahan). Bangsa Indonesia semakin tidak menjadi tuan rumah.
Bangsa kita akan tetap menjadi bangsa buruh. Itu harus dihentikan.
Marilah
kita menata jiwa kita masing-masing, tidak berjiwa buruh, yakni dengan dapat
berdikari secara ekonomi. Menjadi manusia bermartabat, punya harga diri, dan
bisa memenuhi kebutuhan sendiri dengan berusaha secara halal adalah lebih
mulia. Berusahalah tidak bergantung pada orang lain, termasuk kapitalisme
asing. Dengan berdikari, kita bisa mengaktualisasikan diri kita untuk
kemaslahatan bagi sesama.
Sebagaimana
secara psikologis teori kebutuhan (Maslow) menyatakan, aktualisasi merupakan
tingkat kebutuhan tertinggi. Jika bisa beraktualisasi, manusia akan mendapat
kepuasan tersendiri sebagai manusia. Jika kita dapat beraktualisasi
mencerahkan hidup orang lain, kita pun akan semakin hidup.
Saat ini
bangsa Indonesia sedang menjalankan pemilihan presiden (pilpres). Janganlah
saling bertengkar antar sesama teman saat musim pilpres ini. Hindari fanatisme
pada seorang capres yang kita sendiri tidak tahu persis siapa dia. Tetapi,
janganlah pesimistis bila tidak bisa berbuat banyak. Berdoa sajalah semoga
bangsa Indonesia kembali menjadi tuan rumah di negeri sendiri. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar